Audiobook Library Twenty One
SMPN 21 Purworejo

Lebih Kuat dari Mati

Akhirnya, aku memang percaya, jika antara sakit dan mati tak ada hubungannya...
play Mardi Luhung 7 menit, 33 detik

Sepatu

Hujan pertama akhirnya jatuh juga...
play Eep Saefulloh Fatah 11 menit, 38 detik

Kirimi Aku Makanan

Aku lupa, kapan aku kenal temanku yang satu ini...
play GM Sudarta 5 menit, 34 detik

Di Balik Jendela

Hal yang paling kutakuti ialah sakit. Berulang-ulang istriku menganjurkan supaya aku memeriksakan diri ke dokter...
play Wilson Nadeak 7 menit, 6 detik

Ia Ingin Mati di Bulan Ramadhan Ini

Betapa menyenangkan bila ia mati di bulan Ramadhan ini. Ia tak ingin kecewa lagi...
play Agus Noor 7 menit, 39 detik

Indrakila

Pensiun dari pekerjaannya di perusahaan surat kabar, lelaki itu pindah ke desa di ketinggian...
play Bre Redana 6 menit, 1 detik

Pisau

Rumah baru kami menghadap ke timur. Ketika pintu dibuka...
play Yusrizal KW 8 menit, 34 detik

Ajaran Kehidupan Seorang Nenek

Jauh-jauh aku datang, dimulai hari pertama aku sudah mendapat kekecewaan...
play Nh Dini 9 menit, 49 detik

Hari Baik

Pendeta itu ringkih dan renta, jalannya perlahan, terbungkuk-bungkuk, kadang beberapa langkah ia berhenti mengatur napas...
play Gde Aryantha Soethama 7 menit, 52 detik

Gadis Kecil dan Perempuan yang Terluka

Aku terjaga lagi, Bunda, tubuhku terasa sangat dingin seperti patung marmer putih yang senantiasa Bunda cuci dengan hati-hati...
play Puthut EA 9 menit, 27 detik

Saya di Mata Sebagian Orang

Sebagian orang menganggap saya munafik. Sebagian lagi menganggap saya...
play Djenar Maesa Ayu 8 menit, 27 detik

Sepasang Kera yang Berjalan dari Pura ke Pura

Sudahkah kau dengar kisah tentang sepasang kera yang berjalan kaki dari pura ke pura untuk...
play Sunaryono Basuki Ks 7 menit, 57 detik

Juru Rias dan Seorang Pesolek

Setelah menggunting rapi alis lelaki gagah yang terbaring dalam tidur abadi itu, ia akan merias wajah dinginnya agar terlihat segar...
play Kurnia Effendi 8 menit, 19 detik

Salawat untuk Pendakwah Kami

Rumahtoko bercat merah di kedai panjang itu dikenal penduduk kota kecil kami sebagai satu-satunya penjual kopiah...
play Martin Aleida 9 menit, 49 detik

Surat Undangan

Sekitar jam empat sore mereka mengetuk pintu...
play Putu Oka Sukanta 7 menit, 25 detik

Tarian Terang Bulan

Tubuh Ratri bergetar turun dari taksi, mengenakan kruk di bawah ketiak tangan kanan. Memandang sejenak bias purnama...
play S Prasetyo Utomo 6 menit, 54 detik

Sesuatu Telah Pecah di Senja Itu

Mendadak semuanya menjadi begitu penting. Caranya menyingkirkan dengan sabar duri-duri ikan di piringku...
play Puthut EA 11 menit, 33 detik

Warga Kota Kacang Goreng

Kota kami terletak di dataran tinggi di lereng Gunung Singgalang...
play Adek Alwi 7 menit, 59 detik

Kulihat Eyang Menangis

Sudah hampir seminggu Eyang Putri mengurung diri di kamar. Kecemasan pun tergambar pada wajah bapak-ibu dan para cucu...
play Indra Tranggono 9 menit, 49 detik

Kematian Gumortap (Ombak dan Belati Tanpa Sarung)

Sembilan belas hari sebelum kematian Gumortap. ”Tangkap!”...
play Arie MP Tamba 9 menit, 36 detik

Anjing yang Masuk Surga

Usamah adalah seorang keturunan Arab Pakalongan, tapi kawin dengan seorang keturunan Arab juga asal Solo...
play M Dawam Rahardjo 6 menit, 45 detik

Rokok Mbah Gimun

Ke mana-mana Mbah Gimun selalu tampak dengan rokok lintingan, yang terus menempel di antara dua bibirnya yang tebal dan hitam...
play F Rahardi 8 menit, 12 detik

Vampir

Bacalah ia dari belakang dan kau akan menemukan aku...
play Intan Paramaditha 5 menit, 52 detik

Langit Malam

Detak yang lamban. Seperti kemarin juga. Serupa sebelum-sebelumnya jua...
play Iyut Fitra 7 menit, 4 detik
Dibuat dengan ❤ di Perpustakaan
SMPN 21 Purworejo
Audiobook

Lebih Kuat dari Mati

21 Library Twenty One
SMPN 21 Purworejo
Mardi Luhung 7 menit, 33 detik

Akhirnya, aku memang percaya, jika antara sakit dan mati tak ada hubungannya. Dengan kata lain, ada orang yang sakit, bahkan yang parah sekalipun, tetapi tak mati-mati. Dan sebaliknya, ada yang kelihatannya sehat, segar dan lincah, tetapi tiba-tiba kleplek-kleplek mati. Mati tanpa pesan. Tanpa amanat. Apalagi tanpa tanda-tanda awal yang dapat dibaca oleh yang ada di sekitarnya. Tanda-tanda awal yang bergerak seperti kelebat burung gagak di malam hari. Kelebat bagi siapa saja yang akan dijemput oleh mati.

Jadinya, segalanya seperti memang alamiah. Dan sepertinya memang sudah digariskan dari sono-nya. Tak ada yang bisa menerka. Apalagi meramalkan. Karenanya, terus terang, aku lebih percaya jika urusan mati ya urusan mati sendiri. Dan sakit ya urusan sakit sendiri. Dan meski ada yang bilang: ”Jika sakit adalah bagian dari pembuka jalan bagi mati, aku tetap saja merasa itu bukan hal yang benar. Tapi hal yang kebetulan benar saja. Jadi bisa benar bisa tidak.”

”Bisa benar bisa tidak?”

”Ya, begitulah!”

Dan itu dapat dilihat dari diriku sendiri. Diri yang kini sudah berumur hampir 70 tahun ini. Diri yang tetap bisa mandi, makan, jalan-jalan, nonton TV dan sesekali membaca ini-itu yang mungkin remeh-temeh. Diri, yang waktu umur 27 tahun, telah divonis oleh si dokter cuma bisa hidup 3 bulan. Tapi nyatanya? Hmmm, masih saja bertahan sampai kini. Bahkan, masih sanggup untuk menikmati apa saja yang enak-enak. Rawon, tempe penyet, hamburger, nasi kuning, martabak. Atau menonton siaran sepak bola dini hari.

Diri yang dianggap oleh orang-orang yang ada di sekitar sebagai orang yang lebih kuat dari mati. Orang yang mungkin punya nyawa rangkap. Dan orang yang dianggap tenggorokannya buntu. Dan karena buntu itu, maka nyawanya cuma memantul-mantul di rongga dadanya. Tak bisa keluar. Atau dikeluarkan. Ha-ha-ha, anggapan yang agak aneh. Anggapan yang kerap membuat aku tersenyum simpul. Ya, barangkali aku memang lebih kuat dari mati. Dan barangkali pula itu yang membuat aku ingin menulis cerita ini.


II


Seperti yang aku katakan, ketika umurku 27 tahun, aku telah divonis oleh si dokter cuma bisa hidup 3 bulan. Katanya, aku mengidap penyakit ganas. Penyakit yang sudah menjalar ke seluruh tubuh. Bahkan, kata si dokter lagi, mulai hari itu juga apa yang menjadi keinginan dan hasratku harus dituruti. Tentu saja, keluargaku menjadi sedih. Adik perempuanku menangis. Ibuku juga menangis. Dan ayahku, ya, ayahku, meski tak kelihatan menangis, tapi matanya tampak merah. Seperti menahan sesuatu. Sesuatu yang dijaga oleh karang yang kokoh. Tapi aku yakin, pasti sesekali, tanpa sepengetahuanku diambrolkannya juga.

”Istirahatlah, Nak,” begitu kata ayahku.

”Jangan terlalu berpikir yang macam-macam,” sambung ibuku.

Dan sergah adik perempuanku: ”Iya, Mas, harus istirahat. Jika sudah sembuh bisa jalan-jalan sama Mbak Ninuk lagi.”

Ninuk? Akh, Ninuk. Pacarku yang tersayang. Pacarku yang akan aku nikahi 2 tahun lagi. Pacarku yang cantik, manis dan berambut keriting. Pacarku yang telah aku cium sebanyak 4 kali. Sekali di beranda rumahku. Dua kali di alun-alun kota. Dan sekali lagi di rumahnya. Sewaktu rumahnya kosong. Ditinggal oleh keluarganya kondangan di kelurahan. Dan karena ciuman sebanyak 4 kali inilah, aku pun berbisik padanya:

”Kau harus kontrol, Nuk?”

”Kontrol?”

”Iya. Siapa tahu kau ketularan penyakitku?”

Dan deg, Ninuk pun menutup mulutnya. Wajahnya memerah. Ada ketakutan dan kegelisahan di wajah itu. Ketakutan dan kegelisahan yang tak diduga. Yang muncul ketika semuanya telah terjadi. Ya, memang, ketika kita sudah di depan pacar, kita sudah tak lagi berpikir: ”Apakah pacar kita punya penyakit dalam atau tidak. Menular atau tidak. Yang penting ciuman dan ciuman. Mumpung ada kesempatan. Kesempatan yang kelak akan mencelakakan atau tidak? Siapa yang peduli? Jiahh….”

Dan dua bulan kemudian (setelah kontrol dan ternyata tak tertular), Ninuk pun memutuskan untuk pergi dari sisiku. Sebagai pacar yang berpenyakit. Yang hidupnya sudah divonis cuma 3 bulan, tentu saja aku tak bisa berbuat apa-apa. Dan meski semangatku sedikit ambruk, tapi aku tetap bertahan. Dan tetap merasa jika kepergian Ninuk adalah hal yang baik. Sebab, apa yang bisa diharapkan dari seorang pacar yang punya kondisi seperti diriku ini. Paling-paling cuma akan merumitkan masa depannya saja.


III


Waktu berlalu. Tiga bulan dari waktu yang divonis si dokter tinggal seminggu lagi. Rasanya rumahku jadi ramai. Tetangga dan keluarga jauhku berdatangan. Menjenguk diriku. Ada yang menghibur. Ada yang basa-basi. Dan ada pula yang malah mengajari aku untuk bersabar. Sambil membocorkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan kubur. Siapa Tuhanmu? Siapa nabimu? Apa kitabmu? Yang kesemuanya selalu diakhiri dengan tangisan. Tangisan yang juga kerap membuat aku turut terharu. Dan berpikir: ”Apakah benar aku akan mati? Dan apakah semua orang yang datang ini cuma ingin mengantar diriku mati?” Aku tak bisa menjawabnya. Aku cuma merasa jika memang mati ya matilah! Mati ya matilah!

Tapi, ahai, ternyata, seperti yang terjadi aku tidak mati. Dan meski 3 bulan telah lewat. Diganti 5, 6, sampai 7 bulan. Terus setahun. Dan sekian puluh tahun (meski kerap kumat dan drop), aku tetap tak mati-mati. Tetap hidup. Bahkan, malah-malah sempat datang ke perayaan pernikahan Ninuk dengan lelaki yang punya usaha penggilingan daging. Dan itu terjadi setahun setelah Ninuk memutuskan untuk pergi dari sisiku. Juga aku pun sempat melihat bagaimana kotaku dibangun. Lalu terterjang macet. Dibangun lagi. Terterjang lagi. Dibangun lagi. Lagi. Lagi. Dan lagi. Seperti tak ada hentinya. Tak ada lelahnya. Seperti sebuah persilangan yang tak tahu mana ujungnya. Yang hasilnya tetap saja ruwet. Dan macet melulu.

Macet yang makin lama makin mengancam. Macet yang seperti hidup. Bisa berpikir. Dan bisa menentukan sikap. Jika dibuka yang sebelah sini, akan memacetkan sebelah sana. Dan jika sebelah sana yang dibuka, wah, wah, akan ngeloyor ke sebelah yang lain lagi. Yang lain lagi. Dan yang lain lagi. Dan itu membuat siapa saja saling tuding. Saling melemparkan kesalahan. Juga tanggung jawab yang tak diketahui bagaimana mesti menjawabnya. Cuma ada gontok-gontokan. Yang disertai dengan sekian ribu alasan. Dan juga sekian ribu teori. Teori yang sepertinya tulus dan ikhlas. Tapi nyatanya malah seperti permainan cilukba.

Dan yang lebih tak masuk akal, tepat 3 bulan dari vonis hidupku itu, ternyata si dokterlah yang justru mati duluan. Kabarnya, dia terjungkal di kamar mandi. Gegar otak dan tak tertolong. Dan setelah itu giliran tetangga dan keluarga jauhku (yang pernah menjengukku) yang bersusulan mati. Emak Icih yang menyusul pertama. Emak Icih mati karena kaget ketika ada suporter di kotaku ngamuk. Ngamuk gara-gara tim sepak bola kesayangan mereka kalah telak. Seluruh pot di jalanan diguling. Warung-warung disatroni. Bahkan beberapa lampu-lampu jalan yang ada dipecahi. Dan kota pun seperti dalam siaga berat.

Lalu Kang Pardi mati karena jatuh dari atap sewaktu hujan deras. Bayu tertabrak sepeda motor. Wely terpeleset di trotoar sekolahannya. Terus Joko, Mbak Sol, dan Takin yang mati tanpa sakit. Dan yang lebih menggegerkan adalah matinya Mas Karyo. Mas Karyo mati karena tabung gas di warung kopinya meledak. Banyak yang menjadi korban. Termasuk juga Suaib dan Wak Ipin yang sedang asyik main catur di warung itu. Yang setelah kejadian itu, sebagian tangan dan dada mereka berdua terbakar berat. Terbakar dengan kulit gosong. Mengeriput dan kasar. Kasar dengan bentuk-bentuk yang begitu menggiriskan. Seperti bentuk-bentuk yang kerap aku temui saat penyakitku sedang kumat atau drop. Ada yang lonjong. Ada yang bundar. Ada yang segi tak beraturan. Juga lurus lancip menukik.

Ya, ya, satu per satu hampir semuanya bersusulan mati. Juga ayah dan ibuku pun mati. Dan keduanya mati hampir berbarengan. Dan itu persis ketika aku berumur 40 tahun. Tepat ketika adikku perempuan telah menikah hampir 7 tahun dengan seorang pemilik peternakan marmut. Seorang yang biasa aku panggil dengan nama: Adik War. Dan ketika ayah dan ibuku ini mati, aku benar-benar merasa kehilangan. Dunia yang aku pijak pun seakan longsor. Dan itu cukup lama aku tanggung. Aku tanggung!


IV


”Pak De, mau ke mana?”

”Ikut?”

”Tidak. Kata ibu jangan terlalu lama. Juga jangan lupa minum obat.”

Nah, itulah percakapanku dengan Sasi, putri tunggal adik perempuanku, di suatu pagi. Memang, sejak ayah dan ibuku itu mati, aku tinggal bersama keluarga adikku. Dan semua keperluanku ditanggung oleh mereka. Keperluan seseorang yang telah berumur hampir 70 tahun dan tidak menikah ini. Seseorang yang pernah divonis cuma bisa hidup 3 bulan di umur ke-27 tahunnya. Dan seseorang yang ternyata tetap tak mati-mati. Dan tetap saja bisa mandi, makan, jalan kaki, nonton TV dan sesekali membaca ini-itu yang mungkin remeh-temeh.

Dan setiap orang yang melihatku kini, setiap orang, dari anak-anak para tetangga dan kerabat jauhku yang lebih dulu mati dibandingkan aku itu, selalu memanggilku: ”salah satu pak tua yang tersisa”, Pak tua yang punya nyawa rangkap. Pak tua yang punya tenggorokan buntu (sehingga nyawanya tak bisa keluar atau dikeluarkan). Pak tua yang setiap pagi berkeliling kampung. Pak tua yang baru semingguan ini mendapat kabar. Jika Ninuk, bekas pacarnya dulu, juga telah mati. Tanpa sebab-sebab yang jelas. Akh!

”Baiklah. Paling sebelum jam 9, Pak De sudah pulang….”


V


Nah, itulah cerita yang aku tulis. Cerita (seperti yang aku katakan), berhubungan dengan kepercayaanku. Jika antara sakit dan mati tak ada hubungannya. Melainkan berdiri sendiri-sendiri. Dan punya urusan sendiri-sendiri. Mati ya urusan mati sendiri. Sakit (separah apa pun) juga begitu. Dan setelah kepercayaanku ini terbukti, apakah lantas aku senang? Ternyata tidak. Malahan, aku merasa waswas. Sebab, bagaimana tidak waswas. Jika ternyata nanti aku benar-benar akan jadi lebih kuat dari mati. Dan umurku makin lebih panjang. Mungkin menginjak 80, 90, atau 100 tahun lebih. Tentu aku akan lebih banyak menyaksikan: ”Bagaimana orang-orang yang aku kenal, baik yang lama ataupun yang baru, selalu mati satu demi satu. Dan bagaimana pula kotaku, yang jatuh bangun melawan macet, selalu kalah. Dan kalah!”

Hmmm, siapa yang lebih kuat dari mati….


(Gresik, 2010)

Audiobook

Sepatu

21 Library Twenty One
SMPN 21 Purworejo
Eep Saefulloh Fatah 11 menit, 38 detik

Hujan pertama akhirnya jatuh juga. Selepas musim kemarau yang terlampau panjang, hujan pertama selalu disambut di kampung kami dengan pesta.

Wa Sunta terlihat melintas di jalan desa menggiring dua ekor kerbau kurusnya. Ketiganya berjalan gontai, tak terlihat tergesa, dipeluk petir dan hujan. Gambar mereka melamat ketika menjauh. Hujan dan petir dengan akrab mengantar mereka hingga lenyap diterkam belokan.

Sejak masih gerimis, Anah, istriku, sudah membopong gentong-gentong air dari dapur, dengan sigap membawanya keluar. Anah berpesta dengan caranya sendiri. Pada tiap hujan pertama, ia selalu membersihkan gentong-gentong air kami yang kerontang selama kemarau, sambil membiarkan dirinya sendiri berlama-lama dicumbu hujan. Lekuk tubuhnya segera terbentuk oleh baju dasternya yang basah, membuatku tiba-tiba menginginkan malam segera datang.

Aku sendiri, pada setiap hujan pertama seperti ini tak pernah lepas dari ritual pesta yang itu-itu juga. Duduk mencangkung di depan jendela depan. Membuka hidung lebar-lebar membaui tanah pelataran yang terperawani tetes demi tetes air hujan pembukaan. Menghanyutkan diri dalam aroma legit bau tanah tersiram air. Ah, sembilan bulan sudah kurindukan bau ini.

Datangnya musim penghujan membikin kampung kami siuman dari mati suri panjang. Sejak sungai Cipamingkis ditambang batunya, digali pasirnya, dan akhirnya mati, sawah-sawah di kampung kami kehilangan tempat menyusu di musim kering. Semua sawah menjadi tadah hujan saja.

Maka kemarau adalah bencana. Berita duka yang tak sudi kami dengar, tapi selalu saja tiba. Di setiap kemarau sawah-sawah mengering, merekah, retak terbelah-belah. Ketika kemarau berlarut-larut tak berujung, kampung kami kehilangan akal dan akhirnya hanya berpaling pada sebaris harapan: Semoga hujan bergegas datang dan membunuh kemarau laknat itu segera.

Bagi guru sepertiku, musim penghujan sebetulnya tak punya terlalu banyak arti. Bahkan, selalu saja ia menghadiahiku kerepotan-kerepotan baru. Setiap hari, pergi dari rumah ke SD Inpres di seberang bukit itu, aku mesti menggulung celana panjangku tinggi-tinggi, tak membiarkan lidah air berlumpur menjilat celanaku. Celana layak satu-satunya.

Kedua tanganku pun dibuat sibuk. Tangan kanan menjinjing tas. Tangan kiri, yang terbiasa menganggur, punya pekerjaan baru: menjinjing sandal. Aku bak pemain sirkus, mesti menjaga keseimbangan di sepanjang pematang, bersiasat untuk tak tergelincir tercebur ke sawah berair berlumpur-lumpur.

Kerepotanku tak usai di situ. Sebelum ke kelas atau ruang guru, aku tentu saja mesti ke parit di belakang gedung sekolah itu. Mencuci kaki. Menurunkan gulungan celana. Lalu menyematkan sandal ke kedua kakiku yang kuyup. Betapa merepotkannya jika aku bersepatu.

Ketika sol sepatuku, sepatu terakhirku, jebol di tengah kemarau tahun lalu, aku sempat meratapinya. Tapi, ketika musim penghujan seperti ini datang, segera kutahu bahwa barang mewah semacam itu kadang kala tak punya guna. Di pasar kecamatan, sepatu termurah saja harganya 20 ribu!

Bersepatu pergi pulang mengajar di musim penghujan seperti ini hanya membikin-bikin kerepotan yang tak perlu. Semacam kesia-siaan. Bahkan penyiksaan diri.

Tentu cerita bisa berbeda jika saja ada sepeda. Pematang penuh jebakan lumpur itu bisa kuhindari dengan sedikit memutar menyusuri jalan desa. Tapi sejak kutahu bahwa sepeda bekas yang butut saja harganya lima puluh ribu perak, aku berhenti memikirkannya.

Untungnya, kepala sekolah tak mengharuskan guru honorer, guru bantu sepertiku bersepatu. Aku pun bisa mengajak sandal lili-ku bertemu 47 murid kelas enam yang bertumpuk di kelas paling ujung kiri itu. Setiap hari. Mereka benar-benar bertumpuk di ruang kelas darurat yang sempit itu.

Tapi bagiku, pintu kelas itu adalah celah menuju kebahagiaan. Memasukinya membuatku bertemu mata-mata yang haus dan berharap, tetapi juga kuyu dihantam kemiskinan. Aku selalu bahagia setiap kali kekuyuan itu lenyap sesaat tertelan kegembiraan menemukan hal-hal baru dari pelajaran kelas. Dari hari ke hari. Dari pukul 07.15 pagi hingga zuhur lepas pergi dan asar hampir menjemput.

Selalu saja terbit rasa senang melihat mata-mata itu menjadi sedikit berkilat setiap kali kukatakan, “Negara kita Indonesia, besok akan menjadi lebih baik jika kita warganya bisa memelihara nurani kita. Begitu juga Sukamanah, desa kita.”

Kadang-kadang anak-anak itu merepotkanku dengan pertanyaan mereka. Mereka kudorong agar tak berpuas diri sekadar lulus SD dan lanjut bersekolah ke SMP di kota kecamatan. Hardi, salah seorang yang terpandai pun bertanya, mengutip kata-kata Ayahnya. “Untuk apa melanjutkan sekolah dan meninggalkan sawah-sawah kami? Bukankah sekolah tinggi hanya akan membikin kami membenci sawah tapi juga tak menyediakan pekerjaan lain, lalu membikin kita hanya bisa luntang-lantung menyusahkan orangtua seperti anak-anak kepala dusun itu?”

Maka aku pun menjawabnya. “Bersekolah bukanlah untuk mencari pekerjaan, apalagi membenci sawah. Kita bisa bersekolah tinggi sambil tetap mencintai kampung kita, sawah-sawah kita. Bersekolah itu untuk membuat kita tak jadi orang-orang yang tak mengerti keindahan walaupun memiliki mata, tak mendengarkan kebaikan walaupun memiliki telinga, tak membela kebenaran walaupun memiliki hati, tak pernah terharu dan tak bersemangat.”

“Pak Sobarudin, bisa ke kantor saya sebentar?” Suara Pak Dudung, kepala sekolah, tiba-tiba menyeruput telingaku dari arah punggung.

“Ada undangan penting dari kabupaten,” katanya lagi, sebelum sempat kukeluarkan sepatah kata pun.

“O ya…” Aku membuntutinya.

“Ini undangan untuk Pak Sobar. Semua guru honorer sekecamatan dikumpulkan bertemu Bupati minggu depan.”

Aku segera membukanya. Beberapa kata segera berpindah dari kertas itu ke kepalaku. Minggu. 15 November. Siang. Aula Kecamatan. Bupati. Realisasi Perbaikan Nasib Guru Wiyata Bakti.

Hari Minggu ini sebenarnya sama saja seperti hari-hari Minggu lainnya. Ia terasa berbeda hanya lantaran inilah hari Minggu pertama di musim penghujan. Kampung kami menjadi lebih sibuk. Hampir semua rumah memboyong seluruh isinya ke sawah, memulai upacara hidup yang itu-itu juga. Bercocok tanam. Mengutang pupuk ke koperasi desa. Memimpikan panen, padahal sawah baru saja mulai digarap. Menghitung kerugian yang pasti datang karena ongkos bersawah selalu saja lebih tinggi dari harga jual padi. Menyisakan hasil panen untuk bertahan hidup ala kadarnya selama kemarau yang belum-belum sudah mengintip mengendap hendak kembali.

Siang ini aku harus ke kecamatan, berjalan kaki tiga kilo ke arah barat daya. Sedari pagi buta, ketika matahari masih terbungkus kabut, pasti sudah banyak orang mengepung kantor kecamatan, untuk melihat wajah Pak Bupati yang katanya masih muda dan rajin membagi senyum itu.

“Kang, jangan lupa mampir ke rumah Bi Mumun,” Anah mengingatkanku ketika setengah badanku sudah tertelan pintu, hendak pergi.

“Ya.”

Sepulang dari kecamatan, aku memang harus mampir ke pabrik tempe istri almarhum pamanku itu. Menjemput kulit kacang kedelai. Anah biasa mencampurnya dengan terigu, bawang putih, garam dan sedikit merica, lalu menyulapnya menjadi makanan penganan bahkan kadang-kadang lauk-pauk utama. Dan kami menyukainya. Apalagi jika tersedia juga cobek favorit kami. Cobek bohong. Penampilannya memang seperti cobek, tapi sebetulnya bukan juga. Ia hanya kuah belaka, tanpa jengkol atau ikan lele, atau apa pun. Di sana hanya ada cabe merah yang panjang menjuntai-juntai mengundang gigitan. Orang- orang di kampung kami pun menyebutnya cobek bohong. Menu semacam itu adalah kemewahan besar di rumah kami, apalagi di masa-masa darurat.

Tapi hidup kami selalu saja darurat. Selepas SPG, lima tahun lalu, tak ada pekerjaan menjemputku. Semestinya aku jadi guru SD. Tapi itulah. Setiap tahun, selalu saja kemestian itu terganjal ujian penerimaan guru. Aku tak pernah lulus. Bukan sulitnya soal ujian yang sebenarnya menjadi masalahku, tapi selalu saja aku tak mampu menyediakan amplop, dengan isi mesti di atas satu juta rupiah, untuk Kepala Kantor Departemen. Kalau saja amplop itu tersedia, Pak Kakandep tentu akan segera mengurus kelulusanku. Tapi, dari mana kudapat uang sebanyak itu? Melihatnya saja aku tak pernah.

Untungnya, tenagaku masih terpakai di kampung. Membantu Bi Mumun di pabrik tempe. Membantu panen Kang Soleh dan tetangga-tetangga dekat lainnya. Membantu menjagal sapi menjelang Hari Raya Kurban. Membantu mencukur rumput kuburan desa setiap menjelang bulan puasa. Mengambil air dari sumur tua yang tak pernah kering di balik bukit untuk kepala dusun, tiap kali kemarau menjadi-jadi. Mengecat dan membetulkan pagar masjid menjelang lebaran.

Tenagaku tak selalu dihargai dengan uang. Kadang-kadang diganjar hasil cocok-tanam, padi, atau makanan. Tapi semuanya terasa sangat membantu. Adapun satu-satunya sumber penghasilan tetapku adalah honor sebagai guru wiyata bakti itu, guru honorer, guru bantu, sebesar 75 ribu setiap bulan.

Uang itu jauh dari cukup dan selalu habis untuk melunasi utang-utang belanja dapur kami ke warung Ceu Nenden di pertigaan jalan desa itu. Untungnya, jodohku adalah Anah yang tak pernah menuntut. Sejak kunikahi empat tahun lalu, tak sekalipun Anah mengeluhkan keadaan kami. Di tengah kesusahan yang terus menguntit kami, Anah selalu melayaniku dengan baik. Siang dan malam hari.

Anah-lah yang justru mengajariku untuk selalu bersyukur atas apa pun yang kami peroleh. Mengajari tetap bersyukur sekalipun sampai saat ini kami belum juga beroleh momongan. Kami tak pernah membebani Tuhan dengan macam-macam tuntutan. Cukup sajalah kami tahu bahwa Tuhan tak pernah tidur.

Pertemuan di aula kecamatan hari ini sebetulnya bukan yang pertama. Dua tahun lalu, semua guru honorer juga pernah dikumpulkan. Di aula sama. Hanya saja, waktu itu kami tak seberuntung sekarang. Dulu, yang yang datang bukan Bupati tetapi Kakandep dari kabupaten.

Selepas pertemuan itu, rasa syukurku bertambah-tambah. Sejumlah guru honorer tampaknya memang lebih beruntung dariku. Mereka bisa menambah penghasilan dengan menarik ojek di pasar kecamatan. Ada juga yang membuka warung atau kios koran, komik-komik agama dan teka-teki silang. Tapi jauh lebih banyak yang bernasib lebih buruk. Pak Kosim dari desa di ujung utara itu hanya digaji 25 ribu per bulan. Ibu Eti, guru sedesaku, tak punya gaji sama sekali. Ia hanya bisa menunggu hadiah hasil panen dari wali murid di kelasnya. Padahal, panen sering diganggu hama. Pak Komarudin, yang ternyata hanya terpisah tiga kampung denganku, digaji 25 ribu ditambah uang BP3 sebesar 1.500 rupiah dari murid-murid di kelasnya. Muridnya hanya ada 12 orang. Miskin semua. Mereka lebih sering menunggak ketimbang melunasinya.

Di pertemuan dua tahun lalu itu pula kukenal Pak Asep Saepudin yang kepandaian bicaranya mengingatkanku pada Kiai Ishak, khatib masjid kecamatan. Ia guru di kota kecamatan. Pendiri dan pemimpin Lembaga Swadaya Masyarakat Peduli Anak Bangsa (LSMPAB) yang katanya berusaha mengurusi nasib guru-guru bantu seperti kami. Dari Pak Asep pula aku tahu betapa pemerintah memang kekurangan guru SD dan membutuhkan kami. Propinsi kami saja, katanya, kekurangan 33.768 guru SD. Sebanyak 17.877 di antaranya adalah guru kelas. Maka, lagi-lagi menurut Pak Asep, jika guru-guru honorer di seluruh Jawa Barat berhenti, hampir 18 ribu kelas akan telantar.

“Kami para guru honorer bukanlah orang-orang yang disumbang pemerintah. Kamilah yang membantu pemerintah menyelenggarakan pendidikan di tingkat dasar. Kalau tak ada kami, pemerintah kerepotan. Jadi, bukan kami yang harus berterima kasih, tetapi pemerintahlah yang semestinya berterima kasih dan memperbaiki nasib kami,” begitulah antara lain yang dikatakan Pak Asep di pertemuan itu. Hadirin bersorak bertepuk tangan. Wajah Pak Kakandep kulihat memerah delima.

Boleh jadi, suara Pak Asep sampai juga ke telinga Pak Bupati. Buktinya hari ini Pak Bupati datang dan akan mengurus “Perbaikan Nasib Guru Wiyata Bakti.” Seperti tertulis di undangan.

Benar saja. Kantor kecamatan seperti gula dikepung semut. Halaman luarnya disesaki orang-orang. Mereka benar-benar ingin melihat wajah Pak Bupati yang murah senyum itu rupanya.

Setelah kulipat-lipat badan, menyelusup di tengah orang-orang yang berkerumun, bertukar keringat dengan mereka, akhirnya sampai juga aku di depan aula itu. Kuacungkan kertas undangan memberi tahu bahwa aku guru honorer yang memang berhak masuk aula.

“Nah… ini ada satu lagi.” Seseorang yang berseragam coklat muda tiba-tiba setengah menghardikku sambil menunjuk-nunjuk ke arah sandal dan kakiku, membuatku bingung tak mengerti.

“Mari. Saudara harus duduk di ruang terpisah. Tidak di aula. Ini instruksi Bapak-Bapak di kantor kabupaten. Yang masuk aula harus pakai sepatu. Untuk menghormati Pak Bupati!”

Aku mulai mengerti. Semacam amarah beranak-pinak di dadaku. Tak boleh masuk aula hanya karena tak bersepatu? Apa yang salah dengan sandal lili yang baru kucuci tadi pagi ini? Sepatu? Menghormati Bupati?

Tapi mata tak bersahabat orang- orang berseragam coklat muda itu dengan cepat menggugurkan anak- pinak kemarahanku. Aku pun membuntuti mereka. Masuk ke ruang di sebelah aula. Di sana sudah ada beberapa puluh orang lainnya. Semuanya tak bersepatu. Moncong pengeras suara mengintip dari jendela, memelototi kami. Aku tak sendiri. Kutemukan juga beberapa wajah tak senang. Menahan marah.

Duh Anah…. Maafkan aku. Dari sini, aku tak bisa melihat wajah Pak Bupati. Aku tak bisa menjaga janjiku untuk sepulang nanti bercerita apakah benar Pak Bupati muda itu memang selalu tersenyum.

“Syukurlah Kang. Syukur.”

Hanya itu yang keluar dari mulut kecil Anah ketika kuceritakan apa yang kudengar dari Pak Bupati di pertemuan itu. Pak Bupati berjanji memperbaiki nasib guru-guru honorer di kecamatan kami yang ternyata jumlahnya makin banyak. Ratusan. Pak Bupati akan segera melakukan sesuatu. Bertahap. Sesuai kemampuan kabupaten. Untuk memperbaiki kesejahteraan guru- guru honorer. Dimulai dari yang penting.

Hampir setiap hari kampung kami diguyur hujan. Pematang sawah menuju sekolah itu pun makin menuntut keterampilan-keterampilan sirkusku. Sudah kubatalkan pula rencana memperbaiki sepatu jebolku ke pasar kecamatan. Sepasang sepatu, barang mewah yang tak berguna dan merepotkan itu, kini tercampak bersama timbunan sampah di kebun belakang. Tali keduanya saling terikat. Teronggok. Seperti sepasang anak kembar yang mati bunuh diri.

Dua minggu sudah pertemuan dengan Pak Bupati itu lewat. Hari ini, langit di atas kampung kami bolong. Air pun jatuh tercurah deras. Petir dan angin besar mengecewakan anak-anak Kang Soleh. Rengekan mereka untuk bermain bersama hujan, bertepuk sebelah tangan. Kulihat mereka duduk-duduk di beranda, memandangi hujan dengan penuh hasrat.

Satu sosok muncul dari belokan jalan desa. Setengah berlari. Setangkai daun pisang memayungi kepalanya-kurasa, dengan percuma. Ia tetap kuyup juga. Petir dan angin seperti mendorong-dorongnya untuk bergegas. Badan kuyupnya dibungkukkan, sepertinya melindungi sesuatu di dadanya. Sosok itu mendekat. Ia tak menyusuri jalan desa yang menikung ke kiri. Tapi ke rumahku. Persis ke arahku.

Ternyata Mang Maman, penjaga SD Inpresku.

“Silakan masuk Mang. Aduh. Hujan besar begini kok memaksakan diri datang ke sini.”

“Saya diminta Pak Dudung mengantar kiriman untuk Pak Sobar. Katanya penting. Dari Pak Bupati. Ada juga suratnya.”

Kubiarkan Kang Maman berdiri di pintu. Badannya kuyup. Seperti kerupuk tercelup kuah sayur.

Kuambil kardus itu. Kubuka suratnya. Benar. Dari Pak Bupati. Pendek saja. Dari kertas, kata-kata berat itu berpindah ke kepalaku. Wujud kepedulian pemerintah. Usaha nyata membantu harkat guru honorer. Menaikkan citra, wibawa, dan martabat Guru Wiyata Bakti. Untuk masa depan dunia pendidikan yang lebih baik.

Maka, kubuka kardus itu. Isinya: sepasang sepatu.

Columbus, 2004


Keterangan:

(1) Sandal lili adalah sandal terbuat dari plastik, bukan sandal jepit, dengan model yang biasanya standar, dengan pilihan warna-warna-biru, merah, hijau, coklat, hitam-yang kusam.

(2) SPG adalah Sekolah Pendidikan Guru. Sekolah untuk menghasilkan calon guru-guru sekolah dasar ini sekarang sudah dilikuidasi pemerintah.

(3) Guru Wiyata Bakti adalah sebutan resmi yang dipakai pemerintah untuk para guru honorer yang bukan pegawai negeri. Sebelum masa otonomi daerah, sebagian dari mereka memperoleh honor ala kadarnya dari pemerintah pusat. Setelah otonomi daerah, mereka menjadi beban (yang diabaikan) dari pemerintah daerah.

(4) Pernyataan bahwa sekolah adalah tempat mendidik anak murid untuk tak menjadi “orang–orang yang tidak mengerti keindahan walaupun memiliki mata, tidak mendengarkan irama musik walaupun memiliki telinga, tidak memiliki kebenaran walaupun memiliki hati, tidak pernah terharu dan tidak bersemangat,” adalah kutipan pernyataan Mr Kuroyanagi, pengajar Sekolah Tomoe dalam buku termasyhur Tetsuko Kuroyanagi, Toto-Chan: Si Gadis Kecil di Tepi Jendela.

Audiobook

Kirimi Aku Makanan

21 Library Twenty One
SMPN 21 Purworejo
GM Sudarta 5 menit, 34 detik

Aku lupa, kapan aku kenal temanku yang satu ini. Namanya Roni. Dengan tiba-tiba aku sangat akrab dengannya. Semula pada suatu sore dia datang, tanpa mengenalkan diri, dia mengucapkan salam dengan menyebut nama panggilan akrabku: Mas Sudar. Dan kami langsung ngobrol ngalor-ngidul tentang dunia gaib. Soal tuyul, genderuwo, jin, sampai segala macam pesugihan. Seakan dia sudah tahu benar bahwa aku paling suka cerita-cerita begituan sampai paling getol nonton televisi yang menayangkan tentang dunia hantu dan alam gaib.

Di kompleks rumah Mas Sudar ini ada yang pelihara tuyul lho,” katanya.

”Ah yang benar!” sahutku.

”Benar! Mas Sudar kerap kali kehilangan uang kan?”

Memang benar. Aku kerap dan bahkan sangat kerap kehilangan uang. Uang ”laki-laki” yang aku simpan di tas kerjaku kerap berkurang. Tapi aku tak menyangka itu pekerjaan tuyul, paling-paling kerjaan istriku yang tahu nomor kode kunci tas kerjaku. Karena dia pun suka ngerjain kartu ATM saya.

”Kok tahu?” tanyaku tertawa.

Kemudian dengan serius dia mengatakan bahwa pekerjaannya adalah sebagai mediator untuk orang-orang yang perlu bantuan untuk bisa memelihara tuyul, genderuwo atau jin.

”Di kota ini sudah banyak pengusaha toko sepeda motor, mobil, atau restoran yang memerlukan penjaga usahanya dengan memelihara makhluk seperti itu berkat bantuan saya. Bahkan beberapa pejabat negara pun minta dicarikan jin.”

Saya terdiam bengong.

”Betul kok Mas, saya biasa melihat siapa saja yang memelihara tuyul atau sebangsanya. Kalau Mas Sudar mau bisa saya carikan.”

”Ah musyrik,” jawabku. ”Anda sendiri gimana. Berprofesi makelar tuyul, apa tidak dosa?”

”Ah ya tidak. Wong saya hanya perantara. Meskipun saya mendapat bayaran untuk itu, aku tidak mau dibayar dengan uang sesudah dapat tuyul. Harus dengan uang sebelumnya. Dan saya sudah serahkan tanggung jawab kepada mereka, bahwa mereka akan selamanya sampai hari kiamat menjadi budak setan.”

Beberapa hari kemudian, ada peristiwa aneh di rumahku. Kami sekeluarga sedang menghitung uang belanja dan memisah-misahkan mana untuk belanja harian, mana untuk uang sekolah anak-anak, dan lain-lain. Uang kami atur menurut nilainya, lima puluhan ribu ditumpuk jadi satu, ratusan ribu dengan ratusan ribu. Dan baru sedetik istriku menaruh selembar ratusan ribu, detik itu pula raib di depan mata kami. Kami bingung mencarinya.

”Diambil tuyul kali Yah!” kata anakku.

”Tuyul?… Tuyul kepala hitam!” jawabku. Istriku merengut, rupanya tersinggung karena saya selalu menyebut diambil oleh tuyul kepala hitam, setiap uang di tas kerjaku hilang. Lebih mengherankan lagi tak lama kemudian Roni datang.

”Betul kan Mas, ada tuyul di sekitar sini,” katanya. ”Mau tahu siapa yang punya.”

Kemudian dia minta disediakan baskom berisi air. Dia minta memerhatikan air. Nanti akan terlihat siapa orangnya. Tapi sampai mata saya hampir lepas tak kulihat siapa-siapa, kecuali bayang-bayang wajahku sendiri.

”Lihat Mas. Itu orangnya. Perempuan berambut ikal. Nah itu nomor rumahnya kelihatan.”

”Saya tidak melihat apa-apa,” jawabku.

”Ah memang, perlu tirakat dan ritus tertentu untuk bisa melihat penampakan…. Nanti kalau mau saya ajari. Tapi sekarang kalau Mas Sudar melihat seorang perempuan jalan sore dengan kedua tangan di belakang, itu dia sedang menggendong tuyul. Coba nanti dari belakang kita cibiri dia, maka dia akan menoleh karena tuyulnya memberi tahu bosnya.”

Ternyata betul dengan apa yang Roni katakan. Dan sekarang saya tidak pernah lagi kehilangan uang. Mungkin tuyulnya malu karena sudah ketahuan.

Rupanya perkenalanku dengan alam gaib semakin jauh. Kami sekeluarga baru saja menikmati honor cerpenku yang telah dimuat di sebuah majalah dengan makan-makan di warung lesehan, Roni mengunjungi kami lagi di rumah.

”Cerpenmu bagus Mas,” katanya. ”Saya dengar mau bikin novel ya?”

Aku baru saja membuat cerita pendek dengan latar belakang peristiwa G30S, dengan mengumpulkan referensi dan data dari para saksi mata dan pelaku yang masih hidup.

”Harusnya Mas Sudar melengkapinya dengan menambahkan dari narasumber yang menjadi korban pembantaian!”

Ah gila. Mana mungkin, pikirku.

”Bisa lho Mas,” ujarnya. ”Mereka ini masih penasaran jadi arwah yang masih gentayangan karena merasa tidak rela akan nasibnya. Kuburan massalnya ada di daerah Luwengombo, Pandansimping, atau di Desa Tempuran. Dengan cara tertentu kita bisa menemui mereka. Dan nanti akan membuat novel Mas benar-benar hebat.”

Benar-benar gila orang ini, pikirku.

”Benar-benar biasa lho Mas! Dengan ritual tertentu kita bisa berhadapan dengan mereka di tempat mereka dibunuh. Cuma kita harus tabah dan siap mental karena mereka akan hadir dengan bentuk keadaan terakhirnya. Saya sendiri kurang berani menghadapinya. Sungguh mengerikan mereka menampakkan diri dengan kepala terbelah atau usus terburai atau tanpa kepala.”

Bulu kudukku meremang.

”Tapi kalau Mas hanya ingin mengenal dunia alam gaib mereka, ini saya beri tahu ritualnya.”

Dia menulis kelengkapan ritual dengan laku, rapal, dan amalan di atas sesobek kertas dan diberikan kepadaku.

Ya Allah, ampunilah dosa hambamu ini…! Oleh kekuatan rasa ingin tahuku, tanpa setahu istriku aku laksanakan ritual itu. Ah, ini pasti perbuatan iseng si Roni, pikirku.

Hingga pada suatu sore, sewaktu aku mengunjungi sahabat di sebuah pesantren di Desa Tempuran, agak di luar kota. Ketika melintasi jembatan sungai berpagar tembok di ujung desa, terasa bulu kudukku meremang. Di sepanjang pinggiran sungai penuh pohon pisang sehingga memberi kesan gelap. Pulangnya sehabis magrib, menjelang melintasi jembatan, tiba-tiba saja ada seorang lelaki tua melambaikan tangannya ke arahku. Aku tidak tahu dari arah mana dia muncul. Kupinggirkan sepeda motorku di samping pagar jembatan.

”Monggo Pak,” sapaku. ”Kalau mau ke kota, saya boncengkan.”

”Tidak kok Nak Mas,” jawabnya lirih. ”Saya hanya mau minta tolong untuk menyampaikan pesan saya kepada anak saya, supaya kerap mengirimi saya makanan.”

”Alamat anak Bapak di mana?”

Dia sebutkan sebuah nama dengan alamat jalan nomor rumah di luar kota.

”Lha, Bapak tinggal di mana?”

”Tidak jauh dari sini kok, Nak,” jawabnya sambil menunjuk searah dengan rumpun pisang. Mungkin tinggal di desa seberang sawah sana, pikirku.

Saat kunyalakan sepeda motor dan berpamitan, dia mengucapkan terima kasih sambil tersenyum. Tapi… senyum itu… ya Allah, senyuman seperti orang menahan sakit itu, telah membuatku tidak bisa tidur semalaman.

Paginya kusempatkan waktuku untuk mencari alamat anaknya. Ternyata tidak mudah. Setelah bertanya kesana-kemari, kebanyakan orang mengatakan tidak tahu, bahkan ada yang kelihatan enggan menjawab. Ataupun kalau menjawab pasti ditambah kata: oooh…, eks tapol Pulau Buru itu? Akhirnya kutemukan juga. Seorang lelaki paruh baya, air mukanya nampak bagai orang yang telah mengalami tempaan hidup yang keras, menyambut kedatanganku dengan pandangan penuh curiga.

”Dari mana Bapak tahu alamat saya, dan tujuan Bapak mencari saya?” tanyanya menyelidik. Kusampaikan kepadanya bahwa aku telah bertemu ayahnya yang tinggal di Desa Tempuran, serta kusampaikan pula pesan ayahnya. Dia tertegun beberapa saat.

”Ayah saya? Seperti apa dia?”

”Rambut sudah beruban, alis tebal, berjanggut yang sudah sebagian memutih, berbaju lurik dan memakai sarung pelekat hijau,” jawabku seingatnya.

Tiba-tiba dia benamkan wajahnya di kedua telapak tangannya. Katanya di sela sedu sedannya:

”Ya Allah, dalam pakaian itulah sewaktu ayah dibantai bersama orang-orang yang dianggap melakukan gerakan makar. Ternyata benar kata orang mereka telah dikubur di bantaran sungai yang kemudian ditanami pohon pisang di atasnya.”

Jantungku serasa berhenti berdetak!

(Belakangan aku sarankan kepadanya untuk mengirim doa kepada ayahnya setiap kali dia shalat. Mungkin itu yang dipesankan ayahnya untuk dikirimi makanan. Dan selama ini aku tidak lagi berjumpa dengan Roni, kabarnya dia telah menjadi salah satu penasihat spiritual pejabat tinggi di Jakarta.)

Klaten 2004

Catatan:

Ngalor-ngidul: Utara Selatan, tak terarah

Laku: Melakukan ritual fisik, seperti puasa, tidak tidur malam, dsb.

Rapal: Mantra

Amalan: Bacaan Doa

Monggo: Mari, silakan

Audiobook

Di Balik Jendela

21 Library Twenty One
SMPN 21 Purworejo
Wilson Nadeak 7 menit, 6 detik

Hal yang paling kutakuti ialah sakit. Berulang-ulang istriku menganjurkan supaya aku memeriksakan diri ke dokter. Rasa sehat bukan berarti tidak sakit, katanya. Nah, justru itulah yang kukatakan kataku, kalau-kalau dokter mengetahui penyakitku. Lebih baik tidak usah mengada-adalah! Pernah sekali aku pergi ke rumah sakit dan memeriksakan kepalaku yang ada benjolan. Kurasa benjolan itu mengganggu, bukan karena sakit, tetapi karena kalau tidur, benjolan itu sering pindah-pindah. Segera saja dokter menyuruh perawat menggunduli separuh kepalaku dan kemudian menyuruhku berbaring di atas meja operasi. Sayatan di kulit kepala membuat darah mengalir lewat tanganku menuju baskom di bawah meja. Gumpalan lemak sebesar setengah gelas dikeluarkan dan menunjukkannya kepadaku. Ada rasa ngeri dalam diriku. Mudah-mudahan itu bukan tumor ganas, kataku dalam hati. Sebulan kemudian aku diberitahu bahwa lemak itu bukanlah tumor ganas.

Sejak itu, aku menjadi takut ke rumah sakit. Sampai akhirnya, suatu ketika aku terjatuh di kamar mandi. Entah berapa lama, aku tidak tahu. Setelah sadar, aku bangkit dengan pandangan yang berkunang-kunang. Ada rasa nyeri yang menyayat-nyayat di usus. Terpaksa kuperiksakan ke dokter, dan aku disuruh harus menginap di rumah sakit. Untuk pertama kalinya aku mengenal jarum suntik yang membuatku ngeri. Perawat tanpa perasaan kurasa menancapkan jarum ke pantatku. Setelah pulang dari rumah sakit, bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun aku tidak pernah lagi ke dokter.

Dengan mobil VW Kodok putih aku berangkat subuh ke Ibu Kota untuk menghadiri rapat dinas sekali sebulan. Biasanya aku tiba setengah delapan dan rapat di mulai pukul delapan, berakhir pukul satu siang. Seperti biasa, kalau pulang, aku selalu mencari teman untuk pulang. Supaya ada teman berbicara sepanjang jalan. Tetapi tidak ada yang kebetulan ke Bandung. Sendiri aku kembali. Panas Ibu Kota ditambah debu dan gas yang beterbangan, membuatku tidak betah. Rasanya udara dan kemacetan lalu lintas seperti mencekik leher. Berbeda dengan udara di luar kota yang terasa segar dengan pemandangan pepohonan yang hijau.

Entah berapa jam aku menyaksikan pemandangan yang indah, aku tidak tahu. Ketika aku membuka mata, orang yang berpakaian putih-putih kulihat mondar-mandir di kamar. Seorang perawat memegang pergelangan tanganku. Sebuah botol infus meneteskan cairan yang dingin ke tubuhku. Suster, di mana aku? tanyaku. Dengan tersenyum ia menjawab, Bapak perlu istirahat banyak. Jangan terlalu banyak bergerak.

Aku sadar bahwa aku terbaring di rumah sakit. Kuraba kepalaku yang nyeri, ternyata dibalut dengan perban. Ada rasa sakit di kaki dan tangan. Pasien sebelah kudengar merintih-rintih. Menjelang tengah malam aku dinaikkan ke atas tempat tidur dorong. Dengan lift aku tahu belakangan bahwa aku dibawa ke tingkat IV dan dibaringkan di atas tempat tidur yang rapat ke dinding. Nyeri di kepala dan bagian kaki. Perlahan-lahan rasa sakit merambat ke seluruh tubuh. Aku merintih-rintih. Seorang perawat datang dengan membawa obat dan alat suntik. Ia mengatakan kepadaku bahwa tablet yang di dalam kantong plastik kecil itu harus kuminum sesuai dengan petunjuk dokter. Kulihat perawat itu memasukkan kepala jarum ke tabung obat dan kemudian menyingkapkan pakaianku bagian bawah. Persis di pantat, jarum itu menancap. Aku mengaduh karena memang aku takut disuntik. Sejak lama aku menghindari suntikan, kalau boleh dengan menelan obat saja. Bekas suntikan itu kemudian dilap dengan kapas basah. Entah berapa lama aku tidur dengan lelap, rasa sakit tidak lagi terasa sampai pagi sudah tiba.

Dokter menerangkan bahwa cedera yang kualami tidaklah terlalu parah. Dibutuhkan waktu beberapa hari untuk memulihkan luka di kepala dan bagian kaki. Tidak ada tulang yang patah, hanya luka memar dan benturan di kepala. Aku bertanya kepada dokter apakah aku menderita gegar kepala? Dokter menerangkan bahwa lukaku tidak begitu serius.

Beberapa kali aku disuntik, setiap kali hendak disuntik tubuhku menegang dan perawat mengatakan kepadaku supaya santai saja agar tubuh jangan kejang. Beberapa kali ia menanamkan jarum itu, tetapi tidak berhasil. Kucoba menguasai perasaanku dan memikirkan hal-hal yang lain, sampai akhirnya perawat itu berhasil menyuntikkan obat yang membuatku tertidur beberapa jam.

Petang hari kedua aku mendapat kawan sekamar yang ditempatkan di tempat tidur yang menghadap jendela. Dengan menggeser kepala sedikit aku menoleh kepadanya. Kami saling menyapa. Rupanya ia pasien pindahan dari rumah sakit lain. Kulihat kondisinya tidak begitu parah karena ia masih dapat menggerakkan tubuhnya, menarik bantal ke bagian dinding dan menyandarkan tubuh bertopang bantal itu. Ia lancar berbicara dan bercerita panjang lebar mengenai penyakitnya bahwa ia menderita komplikasi yang mengakibatkan gagal ginjal. Setiap minggu ia harus mendapat transfusi darah. Cerita berikutnya tidak bisa lagi kutangkap karena suaranya bagaikan kata-kata yang samar-samar karena mungkin suntikan obat yang masuk ke dalam tubuhku sudah mulai bekerja.

Ketika makan siang usai, kawan yang di sebelahku, yang berbaring dekat jendela menyapaku. Kali ini kukira ia mengoceh lagi. Sambil menaruh dua bantal di belakang punggungnya yang bersandar ke dinding ia bercerita dengan lancar.

Aku sangat beruntung tidur di kamar ini, dekat jendela pula. Udara segar dan pemandangan sangat menyenangkan. Tadi malam, tengah malam, aku terbangun dan mengiraikan gorden jendela dan aku melihat ke luar. Di luar pemandangan yang amat mengasyikkan. Ada bintang-bintang yang bertebaran di langit. Aku melihat cahaya yang indah. Sepertinya aku bertemu dengan anakku yang telah lebih dahulu pergi ke surga empat tahun yang lalu. Ia menyapaku dengan lembut. Ia mengendarai selimut malam yang putih. Tangannya melambat memanggil-manggilku: Ayah, ayah! Ke marilah! Di sini hidup tenang dan sejahtera, damai. Datanglah! Tiba-tiba kulihat tubuhnya melesat ke udara, menuju bintang-bintang yang gemerlapan. Ia melayang jauh, muncul lagi, dan kemudian lenyap di dalam selimut malam. Oh, indahnya. Sungguh sangat menyenangkan tidur dekat jendela ini…

Mungkin maag-ku yang kumat sehingga cairan milanta kurang memadai untuk menenteramkan lambungku dan suntikan itu sangat efektif untuk meneduhkan rasa perih yang menyayat-nyayat ususku selain cedera yang menimpa kepalaku dan kakiku. Suara kawan di sebelah segera bagaikan suara sayup-sayup di kejauhan yang kemudian lenyap di telan angin.

Petang harinya aku membuka mata. Kawan di sebelah tersenyum dan menyapaku seperti biasa.

Tidur dekat jendela ini amat nyaman, kawan. Segala derita berlalu, apalagi kalau silir malam yang lembut mulai menyentuh tubuh dari celah-celah gorden. Seperti lembutnya belaian kasih tangan malaikat menyentuh tubuh. Alangkah indahnya pertemuan dengan anakku itu. Dan belum lama berselang, ketika Anda tertidur, seseorang menyapa aku. Melalui semilir angin yang lembut ia berbisik kepadaku, Pak, tidak usah takut. Berjalanlah bersama kami, dengan sayap kehidupan yang abadi kita menjelajahi angkasa dan tiba di sebuah tempat yang tiada lagi derita. Kawan-kawanmu seperjuangan dahulu ada bersama kami, mereka rindu bertemu dengan Anda. Lalu aku menyaksikan sebuah pertunjukkan, sebuah pesta yang meriah. Semua orang berpakaian yang indah-indah. Semua tampan dan cantik jelita. Bidadari-bidadari dari kayangan menari, ada suara menarik, ada suara musik yang mendayu-dayu dengan berbagai melodi yang menggairahkan tubuh. Lentiknya tangan mereka, ayunannya yang menggoda, hidangan anggur merah yang meriah, oh, nikmatnya.

Taman di sebelah ini memang dirancang untuk memberikan inspirasi tentang masa mendatang. Sepanjang hari penghuni taman ini mengadakan pesta yang tidak ada putus-putusnya, seolah-olah hidup ini hanya untuk pesta meriah saja. Para pelayan yang sopan, persediaan yang tidak habis-habisnya, sungguh menyejukkan hati…

Aku tidak dapat memberi komentar karena sesekali rasa nyeri di lambungku mengentak-entak. Hal itu terjadi mungkin sesudah pengaruh obat penenang itu hilang. Hanya kadang-kadang tebersit dalam benakku, apakah pemandangan kawan sekamar ini benar-benar indah, ataukah itu hanya bayang-bayang di dalam lubuk impian hatinya yang terdalam. Ketika suster menutupkan gorden pembatas karena hendak menyuntikku kembali, aku bertanya, Suster, mengapa pasien sebelah belum pulang? Kukira kesehatannya membaik karena ia lancar berbicara.

Suster itu tersenyum. Ia harus mendapat tambahan darah, tapi keluarganya belum berhasil mendapatkannya. HB-nya sedang menurun.

Tengah malam aku terbangun mendengarkan beberapa kaki yang bergegas dan tempat tidur yang didorong. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi pintu segera ditutup dan kembali senyap.

Paginya, saat matahari mulai menyusup dari celah gordenku aku menyapa suster yang membawa obat untukku. Tadi malam seperti ada sesuatu yang terjadi di kamar ini.

Ah, tidak apa-apa. Hanya teman sekamar Bapak dipindahkan ke ruang penantian di bawah.

Ruang penantian? Apa itu?

Kamar paling akhir, jawab suster itu tenang. Mungkin peristiwa seperti itu sudah terlalu sering dialaminya.

Maksud suster? tanyaku penasaran.

Ruang perjalanan akhir, katanya perlahan. Pak, minumlah obatnya! katanya sambil meninggalkan ruangan.

Setelah minum obat aku menekan bel untuk memanggil dokter.

Bapak memanggil saya? tanyanya dengan terengah-engah. Rupanya ia sedang terburu-buru.

Ya. Bolehkah suster memindahkan tempat tidur saya ke dekat jendela itu?

Mengapa? Bapak kurang enak tidur di sini?

Ingin udara yang segar.

Baiklah, katanya sambil melangkah ke pintu, Saya akan minta bantuan kawan yang lain.

Mereka menggeser tempat tidur yang dekat jendela itu dan menarik tempat tidurku ke tempat itu. Setelah suster pergi, aku mencoba menarik bantal dan menyandarkan tubuhku ke dinding, disangga bantal. Kudorong daun jendela, membukanya lebar-lebar. Aku terkejut melihat pemandangan di luar. Wou! Aku menjerit tak sengaja karena melihat di bawah pohon kamboja yang meranggas, tersebarlah nisan di atas lahan kubur yang tua.

Buru-buru kutekan bel. Suster berdatangan ke ruanganku.

Ada apa, Pak?

Suster, tolong pindahkan aku dari ruangan ini! Tolong segera…

Kurasa lebih lima belas menit kemudian, aku dipindahkan ke ruang sebelah, di bangsal yang lain.

Bandung, 19 Agustus 2005

Audiobook

Ia Ingin Mati di Bulan Ramadhan Ini

21 Library Twenty One
SMPN 21 Purworejo
Agus Noor 7 menit, 39 detik

Betapa menyenangkan bila ia mati di bulan Ramadhan ini. Ia tak ingin kecewa lagi. Ramadhan berlalu, tapi ia masih saja hidup. Rasanya seperti seorang anak yang kecewa karena ditolak permintaannya saat lebaran. Ramadhan kali ini, ia berharap maut benar-benar akan datang. Saat ia berbaring di ranjang, hingga ia bisa mati tenang…

Alangkah menenteramkan membayangkan kematian yang nyaman seperti itu. Tak ada darah membuncah dari kepala pecah. Atau erang kesakitan leher digorok. Ia memejam, mengusir bayangan buruk itu. Bayangan kematian penuh darah. Ah, ia bisa mencium bau amis darah itu, seperti lengket di hidungnya!

Segera ia mandi, keramas. Menyisir rambut dan memotong kuku, sembari bersiul-siul kecil. Rasanya segar mendapati suasana yang sudah serba bersih, rapi, dan wangi. Tak ada lagi serakan puntung rokok atau tumpukan pakaian kotor mengonggok di pojok. Setiap menjelang Ramadhan, ia selalu membersihkan kamar kontrakannya. Saat Ramadhan kemarin, ia malah mengecat ulang dinding-dindingnya. Dan tadi, ia sudah menjemur kasur bantal yang lembab apak berjamur. Melipat selimut. Merapikan pakaian. Menyemprotkan pewangi ruangan. Ia lakukan itu setiap kali menyambut Ramadhan—seakan ia menyiapkan upacara kecil menyambut kematian…

Ia berdiri di ambang pintu, memandang langit siang yang terang, sembari terus bersiul- siul ringan.

Beberapa tetangga—yang tengah duduk menggerombol— memandang ke arah laki-laki yang bersiul-siul itu, dan segera saling bisik. Anak-anak yang sedang bermain seketika berhenti, mengerut menatap laki-laki itu. Langsung, seorang perempuan tergopoh menarik anak-anak itu menjauh. Kemunculan laki-laki itu selalu menimbulkan ketidaknyamanan.

Ia jarang berada di kamarnya. Seperti selalu menghilang. Berhari-hari. Kadang berbulan-bulan. Bila pulang, ia mendekam dalam kamarnya yang selalu tertutup. Sesekali, beberapa tetangga melihatnya keluar tengah malam. Bergegas. Memakai jaket kulit hitam. Menenteng koper besar, seperti kotak tempat menyimpan gitar. Ada yang bilang ia seorang pemusik yang main di sebuah bar. Entahlah. Sebab, banyak yang sering melihatnya duduk-duduk menenggak tuak di pelacuran bawah jembatan. Mungkin ia rampok. Lihat saja tampang seramnya. Tato di lengan kanan. Parut luka seputar pundak, seperti bekas bacokan. Tapi ada yang pernah melihatnya jualan es cendol saat ada demonstrasi menentang kenaikan harga BBM—matanya jelalatan, seperti mengawasi. Mungkin intel. Dan seseorang yang sering ikut demonstrasi bayaran beberapa kali melihat laki-laki itu ikut teriak-teriak menuntut pembebasan mantan menteri yang didakwa korupsi. Tetangga yang jadi tukang ojek pernah secara tak sengaja berpapasan dengannya: rapi berdasi mirip sales obat kuat. Para tetangga penasaran menyimpan dugaan. Sikapnya yang dingin membuat para penghuni rumah petak tak pernah berani bertanya. Ia seperti tak mau dikenali. Menutup diri. Misterius. Aneh.

Seperti kebiasaannya itu: berdiri membisu, memandang entah apa. Rutin yang ganjil. Menjelang Ramadhan ia muncul. Beres-beres kamar. Pintu jendela yang biasanya tertutup dibuka lebar. Sepanjang malam mondar-mandir dalam kamar. Mungkin sedang menyiapkan makanan buat sahur.

Tapi mereka tak yakin kalau laki-laki itu puasa. Sering, ia terlihat merokok siang hari. Tiap sore ia keluar. Bukan ke masjid mendengarkan pengajian dan buka puasa bersama, tapi pergi ke kuburan. Ini yang membuat kian penasaran. Sampai kemudian beberapa orang tahu: laki- laki itu ternyata sudah membeli kapling kuburan buat dirinya! Juru kunci bercerita, betapa ia sering melihat laki-laki itu mencabuti rumput, menyapu, atau berdiri termangu memandangi kapling makam itu. Seperti seorang yang tengah menziarahi kubur sendiri. Dan orang-orang merinding mendengarnya.

Para tetangga jadi gelisah. Barangkali ia dukun. Bisa-bisa ia mencabuli gadis di sini. Atau ia lagi menyempurnakan ilmu hitam? Kuduk mereka meremang. Sering mereka mendengar erang panjang dari kamar laki-laki itu…

Mayat-mayat yang melepuh gosong terbakar itu muncul dari liang kelam. Seperti iblis yang marah karena diusir dari neraka, mereka mendengis bengis. Mengepungnya. Kulit wajah mayat- mayat itu meleleh, seperti lilin panas mencair. Ia mengerang, mengenali beberapa wajah remuk rusak itu. Wajah-wajah orang yang pernah dibunuhnya. Wajah mahasiswa yang ketakutan ketika ia pelan-pelan mengerat ibu jarinya. Wajah pucat perempuan simpanan yang lehernya ia sayat. Wajah tirus gadis kecil berpita merah yang seketika bersimbah darah ketika ia membantai keluarganya. Wajah- wajah yang membuatnya mengerang panjang.

Ia tergeragap bangun. Mimpi terkutuk! Mimpi yang membuatnya ingin mati. Mati dengan tenang, di bulan Ramadhan. Meski ia tahu, sebagai seorang pembunuh bayaran, ia bisa saja menghadapi kematian yang paling buruk. Mungkin, seorang pembunuh bayaran lain pada suatu malam akan menyergapnya—dan ia meronta melawan tapi tak berdaya. Ia terkapar, memandang pembunuh itu berdiri menyeringai menikmati saat-saat paling mengasyikkan ketika seorang korban mengejang mati pelan-pelan.

Ia pun suka menikmati saat- saat seperti itu. Itulah kenapa ia paling suka membunuh pakai pisau belati. Membuatnya bisa lebih dekat dengan wajah sekarat orang yang mesti dihabisinya. Ada kenikmatan yang membius setiap kali menyaksikan urat-urat di leher korban pelan-pelan berubah menjadi lebih lembut kehijauan. Seperti menyaksikan kematian mengecup pelan-pelan…

Sejak kecil ia suka menikmati saat-saat merasakan aroma maut seperti itu. Ia selalu ingin berada sangat dekat, setiap kali kakeknya menyembelih ayam. Ia tak suka bila ibunya bercerita putri-putri jelita dan para pangeran yang hanya sibuk berpesta. Ia lebih menyukai dongeng makhluk-makhluk seram penghuni hutan. Kisah para raksasa penyantap manusia. Ia senang membayangkan memenggal kepala para raksasa itu. Umur tujuh tahun, diam-diam ia membunuh kucing pamannya. Saat SMP ia berkali-kali berkelahi, membuat lawan-lawannya bonyok nyaris mati. Ia terkenal sebagai bocah tangguh jago kelahi. Kamu pantas jadi tentara, kata teman-temannya. Dan ia membusung bangga.

Memang, ia suka membayangkan diri jadi tentara. Di kampungnya, orang yang jadi tentara sangat ditakuti. Ia pernah melihat seorang tentara mengajar tukang parkir, saat ada keramaian pasar malam di alun-alun kecamatan. Orang- orang mengerubung, tak ada yang berani menghentikan. Alangkah hebatnya jadi tentara, bisa memukuli orang sepuasnya. Ia pun mendaftar jadi tentara. Dikirim ke medan perang. Ia paling senang ketika harus menyiksa para pemberontak. Ia melaksanakan penyiksaan dengan tenang, tertib, dan disiplin. Dan itu disukai komandannya.

”Kamu punya bakat bagus. Percuma kalo cuma jadi tentara. Paling mentok jadi sersan,” kata komandannya. Lalu sepulang perang, ia diberinya pekerjaan. Pekerjaan yang tak terlalu sulit: cuma menghabisi istri seorang pejabat, karena pejabat itu pingin kawin lagi. Lalu beberapa order ringan lainnya. Membunuh seorang pengusaha. Menghabisi seorang wartawan. Seorang hakim. Ia menikmati bayaran yang lumayan. Benar kata komandannya. Penghasilan pembunuh bayaran lebih baik ketimbang gaji sersan.

Rezekinya lancar sebagai pembunuh bayaran. Ia sudah membeli rumah buat hari tua. Tapi selama ini ia lebih memilih tinggal di sepetak kamar kontrakan. Tempat menyembunyikan diri. Sumpek bau comberan. Tapi membuatnya merasa aman. Lagi pula ia bisa mengatasi kecurigaan tetangga. Ia akan tinggal di rumahnya, nanti bila sudah berhenti.

Selalu ia mengangankan usia tua yang tenang. Ia kenal beberapa mantan pembunuh bayaran yang menderita di masa tuanya. Beberapa mati dalam penjara. Beberapa menderita sakit jiwa.

Sampai satu peristiwa membuat segalanya jadi tak seperti yang ia angankan.

Pesan itu singkat dan jelas: bunuh Kiai Karnawi. Dan ia mulai mengawasi. Beberapa kali ia menguntit ketika kiai itu memberi pengajian. Ia amati raut tua Kiai Karnawi. Kulitnya yang coklat resik. Rahang terkesan pipih, membuatnya makin terlihat tua dengan jenggot panjang putih bersih. Sorot matanya tenang. Bicaranya santun. Ia heran, kenapa orang seperti itu dianggap membahayakan negara dan mesti dilenyapkan? Dianggap memimpin para militan? Tapi itu bukan urusannya. Tugasnya hanya membunuh. Tanpa jejak. Biar nanti bisa direkayasa: Kiai Karnawi mati kecelakaan…

Ia menunggu Kiai Karnawi selesai memberi pengajian. Ia tak terlalu menyimak. Sepotong- sepotong mendengar kiai itu bicara soal kemuliaan bulan Ramadhan. Beruntunglah orang yang mati di bulan Ramadhan. Mati di bulan Ramadhan ialah mati yang mulia. Dan ia tersenyum. Mencibir. Getir. Apakah seorang pembunuh bayaran juga akan mendapatkan kemuliaan bila mati di bulan Ramadhan?

Semua sudah sesuai rencana. Ia berhasil menyamar sebagai sopir colt omprengan yang akan membawa pulang Kiai Karnawi. Ia merasa segalanya akan berjalan lebih mudah ketika Kiai Karnawi menolak tiga orang panitia pengajian yang hendak ikut mengantar Kiai Karnawi pulang. Itu lebih menggampangkan rencananya: menyekap kiai itu di tengah jalan, lalu mendorong mobil ke jurang.

Semua berjalan sebagaimana sudah ia perhitungkan. Sampai Kiai Karnawi kemudian bicara tenang, ”Aku tahu, kamu mau membunuhku. Aku ingin mempermudah pekerjaanmu. Karena itulah, aku tadi tak mau ada orang lain yang ikut mengantar. Biar tak banyak korban. Kamu cukup membunuhku, tak perlu repot-repot membunuh yang lain…”

Ia tak tahu, kenapa mobil perlahan berhenti. Ia tak mengeremnya!

”Mari kita turun,” ajak Kiai Karnawi. ”Kamu bisa membunuhku di sini. Tak usah membuangku ke jurang dengan mobil itu. Sayang kan, itu mobil mahal. Nanti bisa dipakai ngompreng bila sampeyan memang berniat pensiun jadi pembunuh bayaran.”

Baru kali ini ia gemetar. Kiai Karnawi minta izin untuk sholat terlebih dulu. ”Setelah itu kamu bisa membunuhku. Tapi tolong, yang pelan. Jangan sampai aku kesakitan ya, hehehe…” Kiai Karnawi terkekeh. Lalu menggelar sajadah. Ia meraba belati. Gemetar tak yakin. Lalu meraba pistol yang ia siapkan sebagai cadangan. Ia bisa menembaknya. Tapi sampai Kiai Karnawi selesai sholat, ia hanya berdiri gamang.

”Sekarang, lakukan tugasmu. Mungkin Allah memang memilihku mati di bulan Ramadhan. Alhamdulillah. Kalau boleh memilih, aku sih inginnya mati dengan cara enak dan nyaman di bulan Ramadhan. Enggak usah merepotkan sampeyan…,” lalu kembali Kiai Karnawi tertawa ringan.

Ia merasa senja meremang. Yang terjadi kemudian lebih serupa bayang-bayang suram. Terdengar letusan. Senyap. Kelebat bayang burung menyambar. Kemeresek daun jati jatuh. Pelan. Lengking gagak di kejauhan. Dengung jutaan serangga mengepung. Singup. Seperti ada jutaan pasang mata yang mengawasinya dari balik rembang petang. Jutaan pasang mata yang sejak itu terus mengintainya. Berpasang-pasang mata yang mengingatkan pada orang-orang yang telah dibunuhnya, dan kini memburu kematiannya.

Ia mulai diusik gelisah. Ia jadi suka membayangkan kematiannya sendiri. Membuatnya mulai menginginkan kematian yang tenang. Kematian di bulan Ramadhan. Rasanya tak ada yang lebih membahagiakan, kecuali mati di bulan Ramadhan. Ia pun kemudian selalu berharap, diperkenankan mati di bulan Ramadhan.

Dan semoga saja, ia benar-benar mati di bulan Ramadhan ini. Amin.

Yogyakarta, 2005

Audiobook

Indrakila

21 Library Twenty One
SMPN 21 Purworejo
Bre Redana 6 menit, 1 detik

Pensiun dari pekerjaannya di perusahaan surat kabar, lelaki itu pindah ke desa di ketinggian ke rumah yang dirancangnya sejak lama di antara gunung-gunung dan lembah. Didasari pertimbangan yang dibuat tak kalah lamanya, ia bersama istri ingin melewatkan hari tua usai pensiun di tempat yang tenang, mengonsumsi waktu sehari-hari dengan bebas merdeka. Pekerjaan menulis konon tak mengenal kata pensiun. Sebagai penulis, dia malah membayangkan produktivitasnya nanti, di tengah waktu yang dibayangkannya luas tak terhingga seperti samudra.

Jajaran pohon bambu di belakang rumah hanya kelihatan pucuk-pucuknya dari ruang kerja yang dibuat di lantai dua. Ini untuk melukiskan, bagaimana rumah mereka berada di atas tanah dengan tekstur berbukit, di mana beberapa sisi kemudian terlihat sebagai pemandangan yang letaknya di bawah. Di seberang sana, lembah dan gunung-gunung. Tempat tinggal mereka seolah mengapung di udara—dan memang begitulah rancangan sahabatnya, lulusan sekolah arsitektur terkemuka di Inggris. Sahabat itu sebelumnya sampai mendesak, ingin tahu lebih tegas lagi segi-segi hubungan dia dengan sang istri (karena itu segi paling penting untuk mengonfigurasi tempat tinggal katanya), kebiasaan serta irama keseharian mereka, sampai impian bahkan impian yang boleh jadi berada di balik kehidupan yang nyata, fana.

”Kamu ini psikolog, pendeta, atau arsitek?” tanya si lelaki menjelang pensiun waktu itu kepada sahabatnya tadi.

”Sudahlah, kamu jawab semua pertanyaanku. Jerussalem juga dibangun dengan gagasan spiritual, bukan teknis,” tukas sang teman.

”Wah, aku lupa, pekerjaanmu urban planner. Setahuku kamu memang belum pernah membangun rumah meski kamu arsitek, ha-ha-ha…,” sahutnya berseloroh.

Manusia menjelang pensiun malah menuliskan puisi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sahabatnya itu. Sang sahabat garuk-garuk kepala. ”Baru kali ini aku disuruh membangun rumah acuannya puisi,” ujarnya dengan tetap menggaruk-garuk kepala sehingga rambutnya yang agak kemerahan menjadi kian berantakan. ”Aku memang belum pernah membangun rumah. Kali ini aku mau, karena ini rumah wong edan…,” tambahnya getas.

Ketika hari pensiun tiba, teman-teman menyelenggarakan pesta perpisahan untuknya di kantor. Istrinya yang puluhan tahun kawin dengannya tak pernah menginjak kantor diajaknya serta.

”Masih cantik ya…,” kata beberapa teman wanita di kantor mengomentari istrinya—entah basa-basi atau sungguhan. Terus terang, ia terbiasa mendapati komentar orang seperti itu.

Dia disuruh pidato, menyatakan kesan-kesannya selama 25 tahun bekerja di situ. Beberapa teman ada yang mengusap air mata. Pimpinan perusahaan, orang sangat bijak yang telah membuatnya betah kerja di tempat tersebut, mengingatkan agar dia tetap menganggap kantor ini sebagai ”rumah kedua”.

Begitulah, sejak hari itu irama kerjanya sebagai orang kantoran berhenti. Dia menjadi navigator untuk dirinya sendiri, untuk seluruh waktu yang berada di bawah kekuasaannya sendiri, terserah mau dia manfaatkan untuk kegiatan apa.

Kebiasaannya bangun siang menjadi-jadi. Terasalah, waktu tidak seluas dibayangkannya. Setelah bangun tidur tengah hari—atau kadang lewat tengah hari—tak ada sesuatu yang menggerakkannya untuk mengerjakan sesuatu. Dia duduk bermalas-malasan minum kopi atau entah apa. Setelah itu sore tiba. Muncul alasan untuk memanjakan kemalasan yang lain, dengan menikmati matahari turun di balik lekukan gunung-gunung.

”Kalau ingin menulis, ya mustinya bangun pagi,” komentar istrinya.

Dia cuma tertawa. ”Benar juga,” ujarnya dalam hati.

Pertama berat, tapi perlahan-lahan dia mulai bisa bangun pagi. Perkembangan berikut bahkan mengagetkan sang istri. Ia mulai bangun saat subuh, sebelum matahari terbit.

”Kenapa bangun sepagi itu, Pa?” tanyanya. Dilihatnya sang suami juga tidak melakukan sesuatu di atas keyboard komputernya. Yang dilakukan adalah mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah, bersih-bersih, merapikan barang-barang, dan lain-lain. ”Ooh, barangkali memang begitu kebiasaan semua pensiunan,” pikir sang istri.

Kebiasaan itu berkembang menjadi-jadi. Pagi-pagi dia sudah memegang gunting tanaman, memangkas dan merapikan daun-daun bambu, menggunting cabang dan ranting-ranting tanaman bunga-bungaan, sesekali merawat dengan memberinya pupuk, memindahkan dan menata ulang tanam-tanaman, sampai-sampai, dia seolah seperti landscaper. Buku-buku filsafat politik sastra contemporary studies ditinggalkannya. Dia lebih tertarik pada tanaman. Kepada semua temannya ia hanya memesan buku yang berkisar soal tanaman, gardening, lanscaping, space planning, dan semacamnya.

Dari silaturahmi dengan teman-teman lama yang masih terjaga, orang-orang di kantor hampir semua tahu bahwa ia kini menjadi petani.

”Mas Daru kini jadi petani lho…,” celoteh orang di kantor.

”Ah masak?” yang lain menimpali tidak percaya. ”Apa dia bisa pegang cangkul?”

”Hu… kalian tidak tahu. Coba tanya beberapa teman. Tanah di sebelah yang kosong dia tanami singkong. Waktu saya ke sana, kebun singkongnya itu sudah seperti hutan. Katanya dia sampai diprotes tetangga, takut kebun singkongnya untuk sembunyi maling….”

Begitulah kehidupan pensiunan ini. Dia menjadi petani. Soal menulis, jangan-jangan dia bahkan sudah lupa….

Sampai suatu ketika berita mengejutkan tiba (hal seperti ini sebenarnya seperti pengulangan, selalu terjadi pada para pensiunan. Hanya saja, ketika kejadian yang tampaknya bisa menimpa siapa saja itu terjadi, kaget juga banyak orang). Apa yang terjadi di tempat tinggalnya di desa menyebar: dia ditemukan pingsan di kebun singkong.

Ia dilarikan ke rumah sakit. Beberapa teman lama berbondong-bondong datang membesuk selama dia dalam perawatan.

”Stroke ya?”

”Jantung ya? Bagaimana keadaannya?”

”Stres karena pensiun, kali….”

Beberapa orang menyimpulkan sendiri apa penyakitnya. Hanya istrinya—orang terdekatnya—yang benar-benar tahu apa yang menimpanya. Sang istri percaya, tidak ada sesuatu yang terlalu perlu dikhawatirkan. Selain sikap berserah kepada Yang Kuasa, dari berbagai penjelasan dokter, si istri ini percaya suaminya akan segera pulih. Memang kekurangan oksigen beberapa saat waktu itu sempat memengaruhi ingatan atau memorinya. Ada beberapa hal menjadi tidak bisa diingat lagi oleh suaminya. Akan tetapi, ia percaya, kemukjizatan akan mengembalikan segala-galanya kalau Yang Kuasa menghendaki.

Yang dijalani di rumah sekarang adalah proses pemulihan. Kegembiraan sang istri berangsung-angsur timbul kembali, melihat kemajuan suaminya. Ia merasa benar dengan feeling-nya. Sudah beberapa pagi dia melihat suaminya melakukan stretching di taman belakang rumah di dekat kolam. Bukan hanya stretching, tetapi bahkan mulai gerakan-gerakan lembut yang dia kenal sangat diakrabi suaminya. ”Liong bun…,” ucap sang istri dalam hati sambil menarik napas gembira. ”Dia bisa mengingat rangkaian gerakan Pintu Naga….”

Perkembangan berikutnya lagi, sang suami terlihat selalu nyenyak tidurnya, dan bangun dalam waktu yang nyaris tetap sebelum matahari terbit. Ketika si istri keluar dari tempat tidur beberapa waktu kemudian, dia sering menjumpai suaminya sudah dalam keadaan rapi, berada di ruang kerja menghadap komputer. Dia baru menyadari, bahkan meja kerja itu pun sudah diubah posisinya, langsung menghadap ruang terbuka menghadap arah gunung-gunung.

”Papa sudah sehat benar ya? Diam-diam sudah menulis lagi ya?” godanya.

Sang suami diam, duduk dengan punggung tegak dan mata menatap ke kejauhan.

Di balik gunung ada gunung, di balik cakrawala ada cakrawala….

Si istri kaget. Suaminya telah pulih kembali. Itu tadi ucapan suaminya, penggalan sajak penyair besar teman mereka yang kini tinggal menyepi di Citayam.

Didekatinya suaminya dari belakang. Ia ingin menguji memori suaminya.

”Itu gunung apa Bib…,” tanyanya, dengan menggunakan nama panggilan suaminya, semasa mereka pacaran puluhan tahun lalu.

”Indrakila!” jawabnya.

Sang istri memerhatikan suaminya dengan saksama. Ini main-main atau sungguhan? Di seberang itu jelas Gunung Gede-Pangrango.

”Raja Dharmawangsa menuju kayangan dengan mendaki Gunung Indrakila. Semua saudaranya tumbang di jalan. Hanya dia selamat sampai ke pintu kayangan, diiringi anjing kita, Patman…,” suaminya melanjutkan kata-katanya.

Ah, realitas hidupnya yang berupa kenyataan sehari-hari dan fiksi telah menyatu kembali. Wanita ini tersenyum. Itu Gunung Gede-Pangrango, bukan Gunung Indrakila. Sedangkan Patman benar-benar jenis anjing rottwiller peliharaan mereka.

Sang istri kian penasaran.

”Kita sekarang berada di mana?”

”Mertasari!”

Tersenyum sang istri. Dia tahu, suaminya pasti sadar bahwa ini Banjarsari, bukan Mertasari.

”Ingat di mana kita mendapatkan pohon kemboja itu?” sang istri bicara sambil jarinya menunjuk pohon kemboja dengan batangnya yang berbentuk arkaik, di pinggir kolam.

Si suami diam sesaat, sebelum berucap, ”Lihat bunga putih yang jatuh di air kolam. Dia bicara mengenai riwayatnya sendiri, tentang asal-usulnya, tentang Banjar Suwung Kangin yang mempertemukan kita….”

Terhenyaklah sang istri. Itu peristiwa puluhan tahun lalu, pertemuan mereka, episode-episode manis yang pernah mereka lewati.

Mata sang istri menjadi berkaca-kaca. Dia peluk suaminya dari belakang.

”Bibib telah benar-benar sehat, siap menulis lagi…,” katanya tersedu sambil makin mengencangkan pelukannya.

Langit semburat merah. Pagi benar-benar datang.

Ciawi Junction, 2005

Audiobook

Pisau

21 Library Twenty One
SMPN 21 Purworejo
Yusrizal KW 8 menit, 32 detik

Rumah baru kami menghadap ke timur. Ketika pintu dibuka, setelah melewati pekarangan kecil dan teras, cahaya matahari masih bisa menjalar ke lantai dalam rumah.

Suatu sore, seorang tak dikenal mendatangi saya. Tubuhnya padat, tinggi besar. Kulit hitam, matanya memerah. Diam-diam saya perhatikan seluruh tangannya penuh tato. Tangan kiri tato ular naga yang menggeliat ke arah pangkal lengan, sedangkan di tangan kanan bergambar perempuan. Pipi kirinya, ada bekas luka sepanjang telunjuk, yang di pinggir-pinggirnya direnda dengan tato menyerupai kelabang.

Saya amati tamu ini hati-hati. Berkumis tebal. Kancing baju bagian atasnya ternganga. Dadanya bertato gunting menganga dan tengkorak kepala di tengahnya. Garis bibirnya yang tebal melengkung ke bawah. Sangar sekali kesannya.

”Mau ketemu siapa?” tanya saya lunak, kurang nyaman.

”Baru pindah, ya!” terdengar suaranya berat, sedikit parau, tanpa ada senyum. Dari mulutnya tercium bau alkohol.

”Iyya, ya saya baru pindah! Ada yang bisa saya bantu?”

”Di dapurmu ada berapa pisau?”

Pisau? Pertanyaan yang sangat tidak biasa. Saya merasa, ada sesuatu yang ganjil.

”Ada berapa, hei!” ia sedikit membentak karena melihat saya mengernyitkan kening dan tidak segera menjawab.

”Ada dua. Pisau dapur biasa, Bang….”

”Kamu ingin pisau dapurmu bermanfaat bagi orang lain?” dengan kasar ia mengajukan pertanyaan yang aneh dan bernada kasar. Rautnya bengis, garis bibir seperti menikam ke hulu hati saya. Kami masih berdiri di teras, saling berhadapan. Di kepala saya mengira-ngira seperti apa yang dimaksud ”pisau bermanfaat bagi orang lain” itu.

”Bagaimana?”

”Maksudnya?” saya ingin mencairkan keraguan saya.

”Bodoh! Mau atau tidak?” ia membentak. Saya kaget.

”Iyyya, iya. Mau?”

Setelah itu, saya, merasakan betapa sore ini hidup mulai tidak nyaman. Bagaimana seandainya laki-laki sangar ini datang setiap sore, untuk pertanyaan yang sama.

”Mulai besok pagi, sekali setiap bulan pada tanggal yang sama, pisaumu letakkan di dekat pintu pagar. Jangan lupa, masukkan dalam amplop uang Rp 10.000. Kalau tidak, berarti kamu tidak ingin menjadikan pisaumu bermanfaat bagi orang lain…. Itu artinya cari masalah!” katanya dengan raut muka yang tegang.

Saya menarik napas. Jantung saya bagai mengecil oleh remasan tatapan mata dan suaranya yang berat. Saya tidak ingin banyak tanya soal meletakkan pisau dan uang dalam amplop besok pagi, setiap bulan pada tanggal yang sama di dekat pintu pagar. Saya takut, pertanyaan yang salah berakibat ”bencana” bagi saya dan keluarga.

”Saya bersedia, Bang!”

Ia menatap sembari mengangguk-angguk. Dengan sedikit terkekeh ia balik badan, pergi begitu saja. Saya lepas ia dengan tatapan yang menyimpan rasa cemas. Tampaknya, ia orang paling ditakuti di daerah kompleks kami ini.

Kemudian, di dalam saya mendapatkan istri sedang ketakutan di sudut kamar. Pucat membias di wajahnya. Pasti tadi ia mengintip atau nguping dari dalam.

”Kita pindah saja. Salah-salah, orang itu bisa bunuh kita! Aku takut! Orang seperti dia itu tidak takut polisi, tidak takut mati. Nekat!” Memelas suara istri saya. Saya mencoba menenangkannya.

Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu dengan kasar di luar. Saya dan istri terkejut. Si sangar itu pasti.

Gedoran pintu terdengar makin kasar.

Ketika pintu saya buka, memang si sangar adanya. Dengan keramahan yang sangat berlebihan, badan sedikit dibungkukkan, saya bertanya, ”Maaf, Bang, ada yang terlupa?”

”Istrimu, mana? Aku belum lihat!”

Oh! Pertanyaan yang mempertebal kecemasan saya.

”Lagi kurang sehat, Bang. Tiduran.”

”Suruh dia keluar!

”Tapi, Bang?”

”Panggil istrimu!” suaranya meninggi, membuat saya tergagap.

Dengan perut terasa mulas, saya masuk menemui istri di kamar. Tampaknya ia mendengar apa yang diminta si sangar. Saya tatap istri yang mengerut saking cemasnya.

Akhirnya dengan menguatkan diri, saya tuntun istri menemui si sangar dalam keadaan pucat. Tangan istri saya terasa dingin. Mungkin inilah hari paling mencekam dalam hidupnya. Di hadapan si sangar, istri saya mencoba tersenyum. Bibirnya saya lihat seperti sedang beku.

”Ini istri saya, Bang….”

Si sangar tertawa terbahak-bahak.

”Cantik…, cantik juga istrimu,” katanya di sela sisa tawanya. Setelah menatap istri saya beberapa jenak, ia terlihat cengengesan. Sebelum jauh melangkah dari pagar, si sangar menoleh dan berkata, ”Istrimu cantik, tapi wajahnya pucat sekali, ha-ha-ha….”

Matahari dari arah timur kembali mendatangi rumah saya. Saya meletakkan dua pisau dapur dan sebuah amplop berisi uang Rp 10.000 di tempat yang ditunjukkan si sangar. Setelah itu, pintu saya tutup. Diam-diam saya mengintip di balik gorden kamar depan yang sengaja tidak dibuka lebar-lebar. Saya menunggu, kira-kira apa yang dilakukannya pada benda itu.

Akhirnya si sangar datang. Pintu pagar dibukanya, lalu masuk dan mengambil dua pisau serta sebuah amplop. Pisau dimasukkannya ke dalam karung, amplop ke kantong celananya yang besar.

Saya amati, ternyata karung yang dibawanya itu terlihat berat sekali. Jangan-jangan itu semua pisau beberapa warga kompleks?

Empat hari kemudian, pukul sebelas malam, pintu rumah terdengar digedor kasar. Pasti si sangar itu. Istri saya yang sudah mulai terlayang tidur, terduduk dengan napas sesak.

”Jangan dibuka!” gemetar istri saya berkata.

”Nanti makin kasar!”

”Telepon polisi saja!”

”Biar kubuka saja!”

Saya setengah berlari ke ruang depan. Pintu dibukakan perlahan. Huffft! Ternyata si sangar berdiri dengan seringaiannya yang tidak sedap dipandang. Saya lihat di tangannya ada dua pisau, ya pisau kami. Tapi, pisau itu tampak mengilap di bawah sinar lampu teras. Mata pisau pun terlihat lebih tajam. Pisau itu kini terlihat berada di masing-masing tangannya.

”Ada apa, Bang. Maaf, Bang, apa yang bisa saya bantu!”

”Pisau ini,” katanya sambil memperlihatkan kedua pisau di pegangannya. ”Sudah sangat tajam, kan? Berbeda dengan ketika kamu letakkan di dekat pagar empat hari lalu. Kalau sebelum ke tanganku, pisau ini digorokkan ke leher kita, akan sangat sakiiiit sekali. Pisau tumpul, dipakai menyembelih, termasuk menyembelih kambing atau ayam, sama artinya sebuah penyiksaan,” ia berkata dengan sangat dingin.

Menyembelih! Kata-kata itu bermuara pada imajinasi paling buruk dalam kepala saya.

”Kalau setajam ini, rasa sakit disembelihnya tidak begitu menyiksa, ha-ha-ha….”

Ia akan menyembelih. Siapa? Saya? Istri saya? Jangan. Jangan ya Tuhan. Lihatlah, pandangilah saya saat ini, nyaris tidak mampu berdiri. Keringat dingin mengalir begitu deras dari pori-pori saya yang melebar.

”Mmmaaf, Bang! Saya tidak tahu maksud, Abang….”

Ia terbahak. Kemudian, ”Kamu memang tidak perlu cepat mengerti, ha-ha-ha-ha….”

Langit malam bertaburan bintang. Bermandikan cahaya. Rumah-rumah orang sudah tutup. Tak ada suara siapa-siapa di kompleks ini kalau sudah lewat pukul 20.00. Sunyi.

”Pisau tajam ketika digunakan dengan baik, tidak menyakitkan! Termasuk, untuk melukai kulit ini,” ia melayangkan segoresan garis dengan salah satu mata pisau di tangan kanannya. Terlihat, darah meleleh kecil dari kulit bertato yang dilukainya sendiri.

”Darah manis, karena luka oleh mata pisau yang tajam, bagai dicubit saja….”

Saya merasakan tenggorokkan ini menyempit. Tegang!

”Kamu mau mencoba betapa tajamnya pisau ini?”

Mungkin karena perasaan mencekam—yang saya bayangkan leher saya disembelih—saya tiba-tiba terduduk. Kemudian seperti sujud di kaki si sangar, ”Bang, mohon Bang! Jangan. Saya takut!”

Saya rasakan kuduk saya dipegangnya, dingin. Ya, Tuhan, ia akan menyembelih saya. Tapi, salah saya apa? Sesaat kemudian, ia raba leher saya, kemudian dipegangnya lambat-lambat, diangkatnya sehingga saya terduduk berhadapan dengannya.

”Berikan pisau ini ke istrimu,” ia menyerahkan dua pisau ke saya, kemudian berdiri lalu balik badan dan pergi begitu saja.

Kami bangun agak kesiangan.

Saya membuka pintu depan, berharap matahari bisa menyemangati hati dan hari-hari kami. Semoga semalam akhir dari kenyataan buruk.

Baru saja pintu dingangakan, di kursi teras terlihat si sangar duduk sambil merokok menghadap ke jalan. Kaki kanannya menyilang di atas paha kiri. Santai sekali tampaknya.

Saya gelagapan.

Si sangar menyadari pintu terbuka, ia menoleh! Mata kami bersirobok pandang.

”Kesiangan, ya!” sapa si sangar, dengan seringaiannya.

”Eh, Abang. Apa kabar, Bang?”

”Duduklah sejenak!” Ia menunjuk kursi di sebelahnya, mempersilakan saya. Sepertinya ia tuan rumah bagi saya di teras.

Saya pun duduk di kursi sebelahnya, berusaha tenang.

”Kamu tahu siapa saya?” tanyanya dengan suara datar.

Saya menggeleng.

”Saya baru setahun keluar penjara, membunuh orang. Kamu tahu bagaimana seorang mantan pembunuh seperti saya ini hidup setelah menghirup udara bebas?”

Saya hanya diam.

”Dengan mengasah pisau!” terangnya.

Saya hanya melayani dengan tatapan mata. Sesekali mengangguk. Kalau dia tersenyum, saya ikuti senyumnya. Kalau dia tertawa, saya cobakan tertawa sebisanya.

”Aku mahir mengasah pisau. Dan, dulu, musuh-musuhku kusayat sampai menjerit dengan pisau yang tajam. Dan terakhir, kusembelih, mati. Dan aku pun dipenjara,” paparnya.

”Ketika dipenjara, aku berpikir tobat. Terbayang tanah keluarga yang luas, bisa kugarap jadi ladang. Ternyata, oleh mereka, tanah dijual kemudian tahu-tahu aku hanya melihat kompleks perumahan ini sudah ada. Karena keluarga dan saudara-saudaraku ingin aku baik, sebidang tanah dan rumah kecil dibangunkan untukku dan keluarga. Karena ingin hidup normal, aku perlu uang untuk kebutuhan hari-hari. Uang dari keringat sendiri. Aku tidak punya keterampilan kecuali mengasah pisau, golok atau merampok dan membunuh,” suaranya agak lunak.

”Aku ingin anak dan istriku hidup tenang. Karena itulah, setiap rumah di kompleks ini, yang jumlahnya lebih seratus rumah, harus mengasah pisaunya sekali sebulan denganku. Bayarannya Rp 10.000. Kalau tidak mau, orang itu sama artinya menyuruhku ke penjara lagi….”

Saya mencoba belajar memahaminya. Saya mulai tahu caranya yang aneh dan kasar karena tuntutan hidup. Kalau seratus rumah wajib mengasahkan pisau kepadanya berarti ia bergaji minimal Rp 1.000.000 sebulan. Tapi, apakah ia tahu, bahwa harga pisau dapur kadang tidak sampai Rp 10.000. Lagi pula bukankah ini pemaksaan. Jangan-jangan ini teori marketing si sangar.

”Pisau tajam itu penting kita miliki. Istrimu, sebagai ibu rumah tangga, misalnya. Memotong sayur, kalau pisaunya tajam, tentu sayur tidak merasa sakit ketika dipotong atau disayat-sayat. Kacang panjang, buncis, kangkung, wortel, ketimun, ketika dipotong menggunakan pisau tajam, ia mungkin akan tersenyum. Karena tidak menyakitkan baginya. Begitu juga kentang, bawang, dan sebagainya. Dalam hal ini, kasih sayang perlu dimiliki oleh pisau. Bentuknya dengan menyiapkan mata pisau yang tajam. Iya, toh?”

Saya cepat mengangguk.

”Begitu juga memperlakukan ikan, menyembelih ayam, kalau dengan pisau yang tajam, akan lebih baik. Terasa lebih penyayang. Kita yang menggunakannya, juga enak. Paham, kan?”

Ia menerangkan alasan-alasan yang mendukung pekerjaannya. Mengasah pisau? Pekerjaan yang aneh. Jika orang kompleks tidak ada yang menantang, yah barangkali saja Rp 10.000 per bulan tidak terlalu memberatkan jika dibanding teror yang nanti diakibatkan penolakan kesediaan mengasah pisau.

”Terima kasih. Kamu telah mendengarkan aku. Percayalah, tidak ada yang berani mengganggumu. Jika ada orang yang mengganggumu, katakan padaku. Dan anak buahku, atau bisa jadi pisaumulah yang akan kupakai menyelesaikannya,” kata si sangar sambil melintangkan telunjuknya di tengah lehernya.

Dia berdiri, saya pun ikut berdiri. Menjelang sampai di pintu pagar, ia merangkul bahu saya dengan hangat. Saya mulai merasakan ia mencoba ramah dan bersahabat. Ia seakan mulai menganggap saya pelanggan bulanannya yang harus dijaga.

”Kamu telah membantu saya. Saya terima uangmu tidak dengan berpangku tangan, tetapi menjual jasa keterampilan mengasah pisau. Itu artinya, kamu bersama warga kompleks ini bersama-sama menutup pintu kejahatan bagiku. Iya, kan?”

Saya mengangguk, ”Benar, Bang!”

”Itu artinya, kalau kamu tidak lagi berminat mengasahkan pisau kepadaku,” ia berhenti sejenak, mempererat rangkulannya. Saya rasakan ketiaknya melekat di bahu, dan lipatan sikunya mengetat di leher saya. Kemudian ia lanjut kalimatnya dengan suara yang berat dan perlahan, ”Itu artinya kamu siap saya sembelih….”

Saya yang sedikit mulai nyaman oleh rangkulan awalnya, kembali mengalami gaduh yang tak terlukiskan cemasnya di dalam hati. Ia kemudian melepaskan rangkulannya, melangkah dengan lebih dulu menoleh ke saya di balik pagar, sembari berkata, ”Ingat, rezekiku ada pada pisaumu. Juga nyawamu!”

Sejak saat itu, saya sering berkhayal membunuhnya!

Padang, 20 Juni 2004

Audiobook

Ajaran Kehidupan Seorang Nenek

21 Library Twenty One
SMPN 21 Purworejo
Nh Dini 9 menit, 49 detik

Jauh-jauh aku datang, dimulai hari pertama aku sudah mendapat kekecewaan.

Ibu tidur di kamar Puspa, tapi tidak boleh menggendong dia,” kata anak sulungku.

“Kalau dia terbangun dan menangis?”

“Biarkan saja! Anakku tidak kubiasakan digendong.”

Seolah-olah dia tidak yakin bahwa aku mengerti kata-katanya, anakku mengulangi, nada suaranya terkesan mengancam,

“Betul lho, Bu! Jangan sampai begitu Ibu pulang, aku direpoti anak manja dan terlalu minta diperhatikan!”

Barangkali karena kaget, aku terdiam. Bayangkan! Hanya ibuku yang seharusnya berhak berbicara dalam nada seperti itu kepadaku. Aku tersinggung. Semakin umur bertambah, sakit hati semakin sering kualami.

Aku direktris suatu rantai usaha swadaya yang boleh dikatakan sukses. Semua karyawan di tempatku hormat kepada, berbicara nyaris kuanggap berlebihan terlalu sopan bagiku. Di saat-saat mengunjungi perusahaan atau kantor lain, orang-orang menerimaku dengan sikap dan pandang ering 1) yang acapkali membuat aku merasa risi sendiri. Meskipun aku tahu pasti bahwa kelakuan mereka itu didasari pengakuan terhadap kenyataan yang tidak bisa dibantah. Karena selain disebabkan oleh kedudukanku, upayaku pengembanan usaha kami ke lain daerah yang berhasil, lebih-lebih sebagai perempuan aku mampu mengendalikan serta mempertahankan kesuksesan wiraswasta yang ditinggalkan ayahku. Walaupun benar itu “hanya” berupa warisan. Tapi, itu jatuh ke tanganku tidak secara otomatis, dengan cuma-cuma. Aku harus melewati tes di antara empat saudara kandungku.

Dalam sebuah dongeng diceritakan bahwa raja di suatu negeri tidak dapat memutuskan kepada siapa pun dia akan menyerahkan takhtanya. Dia mempunyai empat anak, putra dan putri. Masing-masing berpenampilan cakap, dan sepintas lalu kelihatan berperilaku baik. Namun, sang raja tidak yakin bahwa putra sulungnya yang suka berpesta akan memerintah secara adil sehingga rakyat akan bahagia. Begitu pula dengan putra keduanya. Walaupun pandai berulah senjata, namun kebiasaannya mabuk-mabukan dan berjudi merupakan ancaman besar bagi kelangsungan pemerintahan yang harus didasari kejernihan pikiran dan hati tenang. Anak yang ketiga dan keempat adalah perempuan. Paras cantik, kelakuan lembut, mumpuni dalam mengatur urusan rumah tangga ataupun penerimaan tamu. Keduanya juga sudah diajari dasar-dasar mempergunakan senjata seperlunya sehingga jika bahaya datang, mereka tahu mempertahankan diri atau keraton bahkan kerajaan.

Pendek kata, sang raja kebingungan memilih satu di antara empat anak tersebut. Maka agar tidak menimbulkan kecemburuan, ayah itu menyuruh anak-anaknya mengembara selama kurun waktu tertentu. Selain mereka harus mendapatkan pasangan masing-masing, juga harus pulang membawa tambahan pengetahuan yang bisa digunakan untuk masyarakatnya.

Ayah kami bukan seorang raja, ibuku bukan keturunan bangsawan. Tapi mereka telah membangun satu usaha kecil dari cucuran keringatnya. Sebagai modal, ayahku tidak berutang atau meminjam, melainkan menjual sepedanya. Dari memotong, menjahit dan menjual sendiri sandal-sandal hasil buatannya dari pintu ke pintu calon pembeli, sampai kemudian mempunyai toko. Lalu ibuku menambahkan membikin tas-tas bagor dan aneka anyaman dari bahan alami yang dikeringkan. Selang beberapa waktu, kombinasi dibuat untuk memanfaatkan limbah kulit asli atau sintetis.

Ketika akan menambah karyawan, aku baru lulus sekolah menengah atas. Kukatakan, mengapa tidak mempekerjakan orang-orang sekampung saja di rumah mereka masing-masing. Mereka diberi bahan sebagai pinjaman. Jika hasilnya bagus, kami beli. Setelah diperbaiki atau disempurnakan guna menjaga mutu dan nama baik, kami jual di toko. Itulah asal mula mengapa di kawasan tempat kami tinggal, sekarang terdapat begitu banyak pengrajin sandal, sepatu, dan tas yang terbuat dari aneka bahan. Beberapa tetangga bahkan mencoba pula mendirikan toko. Tapi hingga sekarang, hanya produk kami yang berhasil memiliki tingkat penjualan memadai, bahkan melayani pesanan dari luar negeri.

Kakakku sulung sudah berkeluarga sejak aku masih duduk di SD. Dia bekerja sebagai sopir. Kuliahnya terhenti sebelum tahun pertama selesai. Kakak kedua perempuan lebih berhasil menjadi penjual makanan matangan. Suaminya adalah tukang becak. Setelah selesai shalat asar, setiap sore dia menyorong gerobak ke pinggir jalan, ditinggal di sana. Lalu iparku balik lagi sambil mengusung dadangan bersama istrinya. Dengan cara demikian, sekarang dua anak mereka bersekolah di akademi akuntansi dan informatika, yang seorang di kelas tertinggi SMA. Saudara kandung yang tepat di atasku tidak lulus SMP, bekerja di bengkel. Bisa dikatakan hidupnya berhasil karena mampu membeli tiga kendaraan yang disewakan sebagai angkutan. Kadang terdengar berita dia ditipu sopir yang dipekerjakannya. Tapi di depan keluarga, dia tampak tenang saja, selalu mampu mengatasi semua kesulitannya.

Aku sendiri, mungkin karena aku anak perempuan bungsu, maka aku lebih senang bermain dengan limbah apa pun yang terdapat di lantai di ruangan menjahit dan menggunting aneka bahan. Ketika duduk di taman kanak-kanak, aku memberikan sebuah bantalan tempat mencocok jarum berbentuk ikan kepada ibuku. Itu adalah hadiah ulang tahunnya. Sampai sekarang, benda tersebut masih digunakan, mendapat tempat di kotak jahitan ibu kami. Untuk seterusnya, sekolahku aman-aman saja hingga aku mampu menyelesaikan kuliah dan menggondol gelar sarjana ekonomi. Aku sadar bahwa keluargaku sangat bangga dengan pencapaian gelarku tersebut. Apa lagi di masa itu belum marak didesuskan orang tentang pembelian ijazah ataupun gelar.

Setelah berunding sekeluarga, kami empat bersaudara dikirim ke seluruh penjuru Tanah Air untuk mencari kemungkinan pengembangan, baik kemitraan ataupun kerja sama di bidang niaga kerajinan. Masing-masing diberi sejumlah uang, dan kami disuruh memilih sendiri ke mana tujuan kami. Setiap hari Kamis harus mencatat semua pengeluaran secara teliti. Seorang dari kami yang dianggap paling berhasil akan menerima tanggung jawab tiga toko bersama atelir pengrajinnya sekalian.

Ternyata kakak-kakakku tidak menggerutu menerima tugas itu. Mereka mempunyai hubungan atau teman bekas sekolah yang tersebar di berbagai kota Jawa, Kalimantan, dan Sumatera. Bahkan kakakku perempuan, yang kelihatannya tidak keluar dari lingkungannya, langsung berkata akan ke Bandar Lampung, mencari kemungkinan kerja sama dengan sebuah toko di sana. Rupanya hanya diriku yang bingung ke mana harus pergi. Aku tidak begitu pandai bergaul. Bekas teman-teman sekolah atau kuliah tidak ada yang bisa kuandalkan. Selain yang tinggal sekota, tidak kuketahui di mana mereka lainnya menetap.

Setelah berpuasa dan berdoa menuruti ajaran orangtua, aku menetapkan tujuan: Bali. Orangtuaku hanya diam mendengar itu. Kakak-kakakku tertawa atau tersenyum tanpa kuketahui apa maknanya. Di waktu itu, pariwisata baru sayup-sayup menunjukkan pengembangannya. Walaupun di Bali dibikin aneka kerajinan sebagai benda kenang-kenangan, apa salahnya jika kami kirim pula hasil dari Bantul. Siapa tahu dengan keberuntungan dan nasib baik, aku akan menemukan mitra sejajar yang bisa diajak bekerja sama dalam hal pemasaran produk kami.

Wahyu Ilahi ternyata tidak dapat diabaikan. Aku kembali dari perjalananku dua pekan kemudian bersama seorang pemuda. Juga kemungkinan dapat mengirim ratusan mungkin ribuan benda dagangan ke berbagai kios dan toko di Pantai Kuta serta sebuah toko eksklusif di Ubud. Setelah masa tunangan beberapa bulan, aku dinikahi seorang anak pemilik sebuah restoran di Sanur. Menurut adat, lebih dulu aku diangkat menjadi anak oleh seorang pegawai rumah makan itu yang berkasta sudra supaya dapat kawin dengan upacara Hindu Bali.

Kulewati berbagai cobaan yang menggoyahkan keteguhan batinku. Terus terang, gelombang dan alun yang melanda bahtera kehidupanku nyaris meluluhlantakkan ketegaranku. Aku mensyukuri “kebebasan” ibuku sebagai perempuan Jawa dalam mengatur rutinitas keseharian, namun tidak membosankan. Yang dinamakan aturan ini-itu sehubungan dengan tradisi Jawa tidak terlalu mengekang atau menyita waktu.

Terjun bebas tanpa paksaan ke lingkungan tradisi dan rutinitas sehari-hari di Bali, aku hampir kehabisan napas karena kekurangan waktu ataupun ruang gerak. Semua serba upacara. Semua serba penyiapan sesaji. Memang benar aku belajar banyak. Aku menyukai serba-neka ajaran menganyam serta mendekor sesaji. Tapi, aku tidak kuasa hadir di dunia ini hanya untuk melakukan hal-hal tersebut. Tekanan lebih-lebih datang dari mertuaku perempuan. Dia menginginkan aku mengganti kedudukannya kelak sebagai tetua wanita dalam keluarga. Padahal ada dua menantu perempuan lain. Semua impitan keharusan untuk melaksanakan upacara itu membenihkan kerikil-kerikil di dada, hingga pada akhirnya membentuk satu bongkahan yang mengimpit pernapasanku. Untunglah aku masih sadar bahwa aku sedang melayang-layang di ambang stres. Lalu kuputuskan untuk bertindak demi kesehatan rohani dan keutuhan kepribadianku sendiri.

Aku purik 2). Satu anak perempuan yang sudah sekolah kutinggal, seorang balita dan bayi kubawa. Satu bulan penuh aku berkeras-kepala tidak pulang ke rumah tanggaku.

Akhirnya, suami menjemput dan berkata bahwa ibunya menyetujui semua keinginanku untuk kurang berperan sebagai penyelenggara aneka keperluan tradisi dan upacara. Kukatakan bahwa tidak ada gunanya sekolahku bertahun-tahun jika akhirnya harus hanya mengurusi upacara-upacara yang sebenarnya dapat diserahkan kepada orang lain. Bukannya aku merendahkan ritual tersebut! Waktuku memang untuk keluarga, namun aku juga mempunyai tanggung jawab perusahaan yang di masa itu sudah diserahkan total kepadaku oleh orangtua dan kakak-kakakku. Setiap akhir tahun, mereka tinggal menerima bagian keuntungannya saja.

Pengalaman itu bisa dikatakan ringan jika didengar. Tapi bagi yang menjalani, merupakan tahun-tahun penuh tekanan. Sebab, yang disebut upacara di Bali nyaris terjadi setiap hari setiap saat. Sedangkan perempuan adalah tiang utama bagi pelaksanaan tradisi karena merekalah yang menyiapkan serba uborampe 2)-nya.

Kini di usia yang mendekati enam puluh tahun, aku mendapat ajaran lain, yaitu bagaimana mengendalikan perasaan sebagai seorang nenek. Aku tidak dihadapkan kepada cucuku, melainkan kepada ibu si cucu itu. Anak terkejut. Mentalku tidak siap untuk itu. Di sekolah dan perguruan tinggi aku tidak pernah mendapat pelajaran bagaimana menjadi seorang nenek.

Anak sulungku yang biasanya tidak membantah atau mengguruiku di waktu-waktu sebelumnya, kini setelah tinggal di rumahnya sendiri, dapat dikatakan dia menggelincir lepas dari sela-sela jari tanganku. Sewaktu dia melahirkan, aku diminta datang untuk menemani di klinik, lalu mendampingi sebagai ibu baru di rumahnya. Karena suaminya orang Jawa, selamatan yang kujalankan adalah brokohan. Secara sederhana, kami mengirim nasi beserta sayuran bumbu urap 3) dengan kerupuk dan gereh 4) layur ke lingkungan tetangga maupun teman dekat.

Selama selapan 5) bisa dikatakan beberapa kali aku mondar-mandir memantau keadaan anakku dan bayinya. Tak tersirat gejala-gejala kepemilikannya yang ekstrem mengenai anaknya. Tiga bulan kemudian mereka berangkat ke Australia di mana si suami akan meneruskan belajar. Di waktu itu pun, belum terlihat tanda-tanda “kebengisan” anak sulungku terhadapku.

Aku percaya bahwa mempunyai cucu adalah impian semua nenek sedunia. Setelah begitu lama tidak menggendong atau menimang bahkan memandikan bayi, tentu saja aku ingin sekali melakukannya. Apalagi cucuku sendiri, manusia mungil yang keluar dari rongga perut anakku perempuan yang dulu pada waktunya juga keluar dari badanku.

Keesokan hari dari kedatanganku, setelah mendapat berbagai indoktrinasi mengenai aturan dalam rumahnya, aku mendapat teguran lagi,

“Kalau mengeringkan badan Puspa tidak begitu, Bu. Mana, biar aku saja! Ibu kan sudah memandikan! Biar sekarang kutangani….” dengan gerakan setengah merebut, anakku mendesakku ke samping.

Aku diam, mencari kesibukan dengan membenahi barang-barang, ke kamar mandi akan membuang air dari wadah.

“Sudah biarkan, Bu! Biar kukerjakan nanti! Ibu tidak tahu tempat benda-benda…!” dari jauh anakku berseru menggangguku dengan “perintah”-nya.

Sewaktu tiba saat menyuapi si bayi, aku tidak mau mengalah. Sebagaimana tadi dia merebut kain handuk dari tanganku, aku setengah memaksa mengambil mangkuk makanan cucuku. Bayi usia delapan bulan sudah diberi makanan agak ketat. Tidak seperti ibunya yang dulu kuberi makan pisang dicampur nasi lembek, cucuku diberi makanan spesial untuk bayi yang dijual di toko-toko tertentu.

“Didudukkan yang tegak lho, Bu. Jangan sembarangan menyuapinya! Nanti dia tersedak!”

Nyaris kujawab: aku suda berpengalaman menyuap bayi-bayi lain, termasuk kamu. Tapi aku berhasil mendinginkan kuping, berusaha mengabaikan si ibu sekaligus anak yang maunya sok paling tahu itu. Selesai memberi makan, ketika ibunya mandi, kumanfaatkan waktu bersama cucuku sebaik mungkin. Untuk mengeluarkan udara dari perutnya, dia kudekap ke arah bahu dalam posisi tegak. Aku berjalan ke sana kemari, singgah ke depan jendela besar yang memantulkan bayangan kami berdua di kacanya. Walaupun yang tampak hanya bayangan punggung si bayi dan wajahku, aku puas melihat diriku memeluk cucu. Kuajak dia berbicara, kuayun-ayunkan tubuhku. Dan sewaktu sendawa sudah keluar, kugendong dia dengan cara semestinya, melekat di dada menghadap ke depan sambil kami berpandangan. Aku terus mengucapkan kata-kata apa saja agar dia mendengar suaraku, agar menerka nadaku bahwa aku ingin bersahabat dengan dia.

Karena menerima sambutan anakku yang tidak menyenangkan itu, aku ingin mempersingkat kunjunganku. Di saat aku sedang menimbang-nimbang keputusanku, adikku menelepon memberi tahu bahwa ibu kami masuk rumah sakit. Ini adalah yang kedua kalinya selama sebulan ibu harus diopname. Jadi aku akan segera pulang.

Barangkali memang harus demikian. Setiap orangtua menganggap dirinya yang paling tahu, yang paling “kuasa” menentukan segalanya, padahal kenyataannya masih ada yang lebih kuasa lagi, yaitu Tuhan. Jika sekarang anakku mengira dia berhak melarangku berbuat sesuatu terhadap anaknya, cucuku, mungkin dia benar. Lingkungannya telah menempanya bersikap begitu. Aku hanya seorang nenek, sedangkan dia adalah ibu bagi anaknya.

Pengalaman ini harus kucermati sebagai satu pelajaran guna menyambut kelahiran cucu-cucuku lainnya. Untuk kesekian kalinya kunyatakan bahwa belajar tidak ada batasan waktu dan usia.

Sendowo, Januari 2005


1) segan

2) istri pulang ke rumah orangtua, tidak mau kembali sebelum suami datang dan berunding hingga mencapai satu kesepakatan.

3) pernik-pernik keperluan

4) ikan asing

5) 40 hari

Audiobook

Hari Baik

21 Library Twenty One
SMPN 21 Purworejo
Gde Aryantha Soethama 7 menit, 52 detik

Pendeta itu ringkih dan renta, jalannya perlahan, terbungkuk-bungkuk, kadang beberapa langkah ia berhenti mengatur napas, mempererat genggaman tongkatnya agar tumpuan lebih kuat, sebelum tubuh sanggup berayun lagi ke depan. Sekujur kulitnya keriput, tapi matanya bercahaya, wajahnya berwibawa. Jika ia datang di tempat upacara dan orang tergopoh-gopoh memapahnya, ia selalu menolak dengan menggerak- gerakkan kepala sembari tersenyum. Orang-orang pun berhenti terpaku mencakupkan kedua tangan di depan dada, kadang ada yang bersimpuh mencium lututnya, menyerahkan hormat dengan takjub. Pendeta kemudian mengusap-usap kepala orang itu, begitu sejuk menyiram ubun-ubun.

Saat ini pendeta akan merestui sepasang pengantin. Seperti biasa ia akan melantunkan mantra- mantra, dengan api, dupa, tirta. Tangannya yang kurus akan menggoyang-goyang genta, memberkati sepasang anak manusia agar hidup bahagia, segera beranak pinak, dilimpahi rezeki, dijauhkan dari cekcok dan malapetaka. Dengan sisa- sisa tenaga renta, ia menaiki tangga menuju pamiosan, bangunan bambu dengan balai- balai setinggi hampir dua meter, dibangun khusus bagi pendeta yang siap memuja. Beberapa orang dari keluarga pengantin wanita cemas menyaksikan pendeta itu tertatih-tatih mendaki tangga.

“Tidak adakah pendeta lebih muda di desa ini?” tanya seorang di antara mereka.

Tetapi bagi orang-orang di desa asal pengantin pria, itu pemandangan biasa. “Orang merasa lebih mantap dan terhormat jika upacara dituntun pendeta ini. Kami selalu terkesan oleh cahaya mata dan wibawanya,” sahut seorang keluarga pengantin pria.

Begitu pujian itu berakhir, suara berdebam terdengar dari pamiosan. Pendeta itu tergelincir di tangga bambu, terjerembab. Tubuhnya meliuk ke kanan sebelum ia sempat menggapai tiang bambu pamiosan. Bangunan itu bergetar. Atapnya yang terbuat dari alang-alang dengan secarik kain kasa putih melambangkan kesucian jagat raya sempat oleng, bergoyang- goyang sesaat menahan tubuh pendeta ringkih itu.

Sang pendeta terpelanting, terguling, disertai jeritan puluhan orang yang hadir hendak menyaksikan upacara perkawinan di rumah itu. Ia terkapar, terlentang di atas rumput hijau yang kemarin dipangkas rapi. Orang-orang panik merubungnya, memegangi tubuhnya yang terbujur kaku. Mereka yang tadi ngobrol sembari tertawa- tawa berderai langsung terdiam bingung. Mereka mengangkat tubuh pendeta itu, segera melarikannya ke rumah sakit. Rumah yang semula memancarkan kemeriahan dan kebahagiaan itu sontak berubah keruh dirubung kekalutan.

Pengantin itu saling pandang. Wajah yang berseri mendadak linglung, merasakan peristiwa itu seperti mimpi. Mereka termangu di antara hamparan sesaji suci dan meriah. Pakaian gemerlap oleh warna emas prada yang mereka kenakan tak ada artinya ketika dua jam kemudian berita duka dahsyat disampaikan: orang suci renta itu meninggal di rumah sakit. Apa guna menunggu? Pernikahan itu memilukan, terancam batal. Suasana mencekam.

Ayah pengantin wanita mendatangi anaknya yang termenung lesu di bawah pohon belimbing, menggamit tangannya. “Kita pulang saja, Nak!” rajuk lelaki itu. Tapi wanita itu terpaku, terisak, memandang hampa calon suaminya yang nelangsa di bawah pohon jambu depan dapur.

Dengan langkah gontai, ayah pengantin wanita mendatangi calon besannya. “Tak ada lagi yang bisa kita lakukan. Anak akan saya bawa pulang.”

Si besan terkejut. “Mari kita bicarakan nasib ini dengan tenang. Permintaan saya, jangan batalkan perkawinan.”

“Tak akan ada perkawinan tanpa pendeta.”

“Sedang kami usahakan mencari pendeta pengganti.”

“Siapa sudi jadi pendeta pengganti sore begini? Dua jam lagi malam.”

“Lalu, apa yang bisa kita lakukan?”

“Batalkan perkawinan hari ini. Kita mulai semua dari awal.”

Mulai dari awal artinya harus datang lagi ke rumah pendeta yang baru. Membawa sesaji lagi, memohon hari baik lagi. Itu belum cukup. Harus dijelaskan dengan jujur mengapa upacara perkawinan diulang. Tak ada gunanya berbohong, tidak karena sungguh terkutuk berdusta pada orang suci, tapi siapa pun, semua pendeta, pasti tahu bencana di rumah itu. Ya, rumah sial, tempat seorang pendeta ditimpa malapetaka.

Si besan termangu. Sesaji suci meriah dan sangat mahal itu, makanan-makanan enak untuk tamu-tamu adat, harus dibuang. Alangkah besar biaya dibutuhkan untuk membuat sesaji baru, harus melibatkan puluhan orang, berhari-hari. Dan ke mana harus disembunyikan muka ini dari rasa malu dan sesal? Tiba-tiba ia merasa dirinya dicabik nasib dan dibanting-banting.

Ayah pengantin wanita susah payah menenangkan anaknya yang terus tersedu. Dia tuntun wanita ayu itu melintasi halaman. Di bawah pohon jambu, calon pengantin laki merunduk, matanya basah. Dengan telapak tangan, ia pukul berkali-kali jidatnya yang berpeluh. Tak ia lihat sang kekasih melangkah gontai, berkali-kali menoleh sendu ke arahnya, memanggil dengan lambaian terkulai.

Di pintu gerbang, ayah pengantin laki masih mencoba menahan keberangkatan itu. “Apa tak sebaiknya kita rembukkan sekarang, mencari hari baik lain?”

“Hyang Widhi melarang kita bicara perkawinan hari ini, detik ini. Sebaiknya kita diam saja!” ujar ayah pengantin wanita setengah menghardik. Diikuti sanak saudara, ia bergegas meninggalkan gerbang, langsung masuk mobil, membanting pintu dengan sengit. Di sebelahnya duduk calon mempelai wanita itu, merunduk pilu, berurai air mata.

Berminggu-minggu, berbulan-bulan, berbilang tahun, hari baik itu tak pernah disepakati. Dua keluarga itu tak kunjung bersetuju. Di antara mereka kecocokan menjadi sangat mahal. Para orang tua, sepuh, turun tangan, yang justru membuat masalah jadi semakin rumit berbelit. Bagi mereka, sial itu terjadi karena kesalahan memilih hari baik.

“Bukankah hari baik itu telah direstui pendeta?” bela keluarga laki.

“Pendeta tak selamanya benar. Kita harus kritis pada siapa pun, termasuk pada orang suci,” sergah keluarga wanita.

Dalam setiap pertemuan, dua keluarga itu selalu mengambinghitamkan hari. Karena itu, hari baik menjadi mahapenting, menjadi tujuan, harus ditilik seteliti mungkin. Masing-masing menunjukkan kebolehan, mengaku mahir tentang hari baik pernikahan, mengaku jago setelah membaca berpuluh lontar. Tulisan-tulisan, cerita, dongeng, yang terukir di daun-daun lontar itu dijadikan acuan. Mereka berdebat, bersilat lidah, mencoba sekuat tenaga menjatuhkan pendapat lawan bicara. Tak seorang pun sudi menyerah, mengaku kalah. Aneh, tak ada yang menggubris betapa sedih dan galau sepasang calon pengantin itu menunggu keputusan yang tak kunjung datang.

“Sekarang sesungguhnya hari baik untuk melangsungkan upacara pernikahan. Ini sudah kami sampaikan sebulan lalu dalam pertemuan kita yang ke delapan belas,” ujar seorang dari keluarga laki-laki.

Hampir serentak keluarga perempuan geleng-geleng kepala. “Sekarang Sukra Kliwon Watugunung, hari Jumat, bulan Agustus, sasih Karo, saat baik buat ngaben, hari baik membakar jenazah, upacara untuk orang mati,” tangkis keluarga wanita. “Ada di antara kita mau mati? Inilah saat paling pas. Pintu surga terbuka lebar bagi yang sudi mati hari ini,” tambahnya dengan mencibir. “Aneh, hari baik untuk mati kok dijungkir balik jadi hari baik untuk nikah.”

Keluarga laki-laki menghela napas, terhina. Satu per satu mereka meninggalkan pertemuan itu tanpa pamit. Buntu. Berbarengan dengan kebuntuan itu, sepasang calon pengantin itu juga sedang bertemu. Mereka menganggap itu pertemuan mahapenting, sebuah revolusi untuk menyelesaikan kemelut. Mereka duduk di puncak tebing menghadap matahari yang sebentar lagi tenggelam. Nun di bawah sana, hampir dua kali lima puluh meter, batu cadas terserak menjadi tonjolan- tonjolan seperti bukit kecil. Biru laut semakin kelam, sebentar lagi berubah merah membara. Dari atas tebing itu, buih gelombang tampak sangat ganas menghantam karang seperti slow motion lambaian peri laut yang memanggil-manggil. Gerak abadi yang tak pernah menjemukan. Sepasang kekasih yang dirundung sial itu tengah bersiap diri masuk ke pintu gerak abadi itu.

“Dikau yakin ini hari baik untuk mati?” tanya si lelaki.

Wanita itu mengangguk. “Kutahu dari kakek yang sering mendongeng untukku. Kata kakek, Sukra Kliwon Watugunung, sasih Karo, hari terindah untuk mati.”

Si lelaki terkekeh. “Dongeng kata dikau! Kita jangan mati demi dongeng, sayang…!”

“Tapi hari baik untuk mati seperti ini hanya terulang sepuluh tahun sekali.”

“O ya?”

Si wanita melilitkan kain putih di pinggang kekasihnya. Kain panjang itu ia lilitkan jua ke tubuhnya sehingga raga mereka menyatu. Tak ada lagi busana lain. Mereka menyatu telanjang dalam balutan kain kasa. Mereka bisa saling merasakan detak jantung, kehangatan, juga kesejukan. Ujung kain mereka genggam bersama.

“Ini penyatuan abadi, kekasihku,” ujar wanita itu dengan mata berkaca-kaca.

“Ah, dikau sudah berjanji tidak akan menangis. Teringat yang akan dikau tinggalkan?”

Wanita itu menggeleng. “Daku terharu, kita sangat bersetia. Kita tengah menuju gerbang kebahagiaan sejati yang abadi.”

Si lelaki kembali terkekeh. “Daku suka dikau yang selalu gombal kalau lagi bersedih.”

Sedikit lagi matahari tenggelam. Semak-semak akan menjadi onggokan-onggokan hitam. Bangunan pura kecil di sebelah sepasang kekasih itu berdiri, segera kelam. Dulu, di abad ke-11, pura itu tempat seorang maharesi dikucilkan karena menentang raja. Ia menyepi ke ujung karang mendongak ke laut itu untuk bertapa. Ia moksa di sana, konon, tanpa meninggalkan jasad. Tapi ada yang berkomentar, jangan- jangan maharesi itu terjun ke laut nun di bawah sana. Pura itu kemudian menjadi simbol menentang kekuasaan dan kemapanan. Banyak mahasiswa yang hendak berdemonstrasi sembahyang di tempat suci itu, mohon restu agar terhindar dari kekerasan.

Laki-laki itu mengelus-elus pinggul kekasihnya, merapatkan tubuhnya untuk menikmati tumbukan kenyal payudara wanita itu.

“Peluk daku,” pinta si wanita.

“Ah, sejak tadi kupeluk dikau.”

“Lebih erat lagi. Ciummm…!”

Angin berembus kencang, sedikit lagi matahari tenggelam. Mereka menggerakkan kaki ke bibir tebing, menatap nun di bawah sana buih ombak semakin kelam menghantam karang. Warna permukaan laut kian membara oleh cahaya matahari senja. Kaki mereka bergeser terus, pelan-pelan, bersama. Dua tubuh telanjang yang menjadi satu oleh belitan kain putih itu semakin ke tepi tebing. Hening.

“Yakin kita tak meninggalkan jejak?” tanya si wanita.

“Tak ada sama sekali. Tak akan seorang pun tahu selamanya di mana kita berada. Pakaian, tas, sudah kulempar ke laut.”

“Kalau begitu, mari…!”

“Ayo…!”

Mereka meloncat melewati bibir tebing, meluncur ke bawah, cuma butuh sekian detik menempuh hampir dua kali lima puluh meter. Rambut wanita yang panjang itu berjurai-jurai ke atas, beberapa helai menutup mata dan telinganya.

“Peluk terus daku, sayang! Jangan lepaskan!”

“Kita moksa, kekasihku,” bisik si lelaki.

“Ciummm…!”

Ujung kain kasa putih yang melilit mereka berkibar-kibar didera angin laut. Sepersekian detik mereka mempererat pelukan, mengumpulkan kehangatan, melupakan semuanya. Hanya ada kekasih, penyerahan, dan penyatuan. Jantung berdegup kencang, otot dan tulang berderak-derak. Semua melayang terbang, seperti perjalanan ke ruang angkasa, menjelajah waktu luar biasa jauh, tanpa batas.

Tiba-tiba dingin tak terkatakan. Detik itu matahari sepenuhnya tenggelam. Betapa indah langit cerah bulan Agustus yang menyisakan semburat jingga di barat. Membuat siapa pun yang menyaksikan pesona itu tak hendak beranjak sebelum berakhir.

Raga sepasang calon pengantin itu terempas deras di atas karang, tetap berciuman, sebelum tangan ombak memeluk dan menggulung-gulungnya, membopong jasad itu ke tengah samudra. Tak tampak sedikit pun bekasnya. Tidak tersisa. Moksa.

Jimbaran, Juli 2003

Audiobook

Gadis Kecil dan Perempuan yang Terluka

21 Library Twenty One
SMPN 21 Purworejo
Puthut EA 9 menit, 27 detik

Aku terjaga lagi, Bunda, tubuhku terasa sangat dingin seperti patung marmer putih yang senantiasa Bunda cuci dengan hati-hati. Lantai yang biasanya dingin, malah menjalarkan rasa hangat. Aku menuju jendela besar, memandang keluar. Hanya tinggal satu lampu taman yang menyala di halaman, itu pun mengerjap seperti napas orang yang hampir mati. Malam seperti tersengal. Pepohonan di halaman dan gorden jendela seperti lelah. Rumput setinggi mata kaki tampak bergelombang. Sepertinya ada tubuh dari langit yang turun malam ini, bergulung di halaman itu. Lalu sebelum ia pergi, disempatkannya mengecup keningku, merayapkan dingin yang membuatku terbangun.

Aku kembali menuju tempat tidur setelah menutup merapikan gorden tersingkap. memeriksa lagi PR matematikku remang lampu halaman mengerjap lewat lubang ventilasi. Tidak berani kunyalakan lampu. Gelap, menurut banyak anak adalah dunia hantu. Tapi bagiku, gelaplah menyelamatkanku dari ketakutan. merasa nyaman dalam gelap. Aku seperti seekor cicak yang selalu diburu kakakku dengan pistol mainannya dan masuk di sela-sela perabot. selamat. Cicak itu dilindungi

Kenapa makhluk itu selalu mendatangiku ketika pagi harinya aku harus berhadapan dengan Bu Berta, Bunda? Ketika aku harus menunduk dan takut menatap matanya yang tajam dari balik kacamata bertangkai warna emas itu? Ketika aku kemudian tak bisa menjawab seluruh pertanyaannya. Aku menyusul teman-temanku yang lebih dulu menangis tersedu. Dan jika aku tidak bisa menjawabnya, maka aku pasti akan dibandingkan dengan kedua kakakku yang pernah sekolah di sana.

Pasti aku akan tetap terjaga sampai kemudian kudengar Yu Senik mengucurkan keran dari dapur. Sampai kemudian aku dengar seret langkahmu menuju ke kamarku, membukanya pelan, mencium keningku sambil membisikkan ucapan selamat pagi dan memintaku untuk bangun, segera bersiap ke sekolah. Aku pura-pura bangun dari tidur, mandi, sarapan bersama kedua kakakku yang riang dan segar. Aku akan terus-menerus dirundung galau sampai ketika di dalam kelas kudengar langkah sepatu tegas dari Bu Berta. Langkah yang membuat kami semua takut. Langkah yang membuat banyak orang kemudian menangis. Langkah yang pada akhirnya tetap memaksaku ikut juga menangis sekalipun telah banyak pertanyaan yang kujawab. Langkah yang jauh lebih menakutkan dibanding ketika aku harus memimpin lagu untuk menaikkan upacara bendera di Senin pagi.

Kenapa makhluk itu tidak datang ketika malam minggu, Bunda? Ketika esoknya aku bisa berdandan dengan pakaian dan pita rambut kesukaanku? Ketika aku dengan senyum girang belajar menyanyi di sekolah Minggu pagi? Mengapa ia tidak datang di malam seperti itu? Biar kemudian aku bisa menceritakannya kepada Bu Marta yang bersuara merdu itu, yang selalu sabar bertanya ketika ada wajah sedih anak didiknya, dan lalu kami diajari untuk membuka al-Kitab untuk menemukan ketenteraman di sana?

Siapakah makhluk yang selalu datang itu, Bunda? Apakah ia Ayah? Apakah ia bidadari di televisi yang selalu menolong anak kecil jika sedih? Tapi kenapa jika ia Ayah, aku tidak merasakan geli kumisnya, dan suaranya yang parau mengeluarkan bau rokok dari dalam mulutnya? Kenapa jika ia bidadari tidak pernah berusaha menolongku dari kegalakan Bu Berta tapi malah membuatku tidak bisa tidur?

Atau jangan-jangan ia hantu, Bunda? Tapi kalau hantu, seharusnya ia tidak mendatangiku. Bukankah aku sudah melakukan semua kata Bu Marta? Aku sudah berdoa kepada Tuhan sebelum tidur, seusai belajar. Bahkan aku selalu meletakkan rosario di samping kepalaku seperti yang dilakukan oleh banyak orang di film-film. Apakah aku seorang anak yang tidak baik? Aku mungkin agak jahat, Bunda… aku pernah berdoa agar Bu Berta suatu saat kecelakaan sehingga tidak ada lagi yang membuatku takut untuk pergi ke sekolah. Tapi teman-temanku yang lain berdoa lebih jahat pada Bu Berta, mereka banyak yang berdoa supaya Bu Berta lekas mati. Aku hanya berdoa supaya Bu Berta kecelakaan dan itu pun jangan terlalu parah asalkan Bu Berta bisa dipindah atau tidak mengajar di kelasku lagi.

Aku hanya berdoa jahat untuk satu orang. Perempuan yang membawa Ayah pergi. Hanya itu, Bunda. Dan bukankah kedua kakakku juga berdoa hal yang sama, sekalipun Bunda selalu berpesan agar kami tidak boleh membenci Ayah dan perempuan itu? Tapi kenapa hanya aku, Bunda? Kenapa? Apakah ia tidak suka padaku? Kenapa ia tidak suka padaku?

Apakah makhluk itu tidak suka pada gadis kecil yang suka memberikan seluruh coklat dan pudingnya ke teman-temannya? Apakah gadis kecil yang seperti itu berarti berkhianat pada Bunda-nya sebab Bunda telah bersusah payah mempersiapkan bekal untukku? Tapi aku tidak begitu suka puding dan coklat, Bunda. Lagi pula, aku memberikannya pada anak- anak yang baik. Aku membagikannya selalu untuk Lita, Mona, dan Anton. Kasihan Lita, Bunda. Papa Lita beberapa bulan yang lalu meninggal dunia. Mona juga kasihan, ia sering menangis karena tidak bisa menjawab pertanyaan dan tidak bisa mengerjakan PR. Mona memang agak bodoh, Bunda, tapi dia pintar menyanyi. Dia selalu di depan barisan dan ketika aku memimpin lagu mengiringi bendera, selalu merasa lebih aman jika melihat wajah Mona di depan. Suaranya keras dan merdu, membuat semua suara juga ikut merdu. Dan Anton, ia tidak pernah dapat uang saku dan bekal dari ibunya, padahal Anton selalu terlihat lelah apalagi seusai berolahraga atau selesai memimpin upacara bendera. Aku tidak pernah memberikan bekal itu kepada Mirna, Bulan, dan Johan. Mereka kaya dan sombong.

Apakah Tuhan mengirim makhluk itu karena aku tidak pernah mau memakan bekalku? Tapi Bu Marta bilang, Tuhan sayang sama anak yang suka membagikan makanan dan mainannya.

Mungkin Tuhan mengirim makhluk itu karena aku tidak adil, Bunda. Tapi bekalku tidak cukup untuk kubagikan pada semua teman sekelasku. Lagi pula, banyak di antara teman- temanku yang bekalnya enak dan banyak. Apakah aku harus memberi mereka juga, sekalipun sedikit? Jangan-jangan mereka malah tidak memakannya, sebab sering kulihat mereka membuang makanan mereka sendiri di tempat sampah. Apakah aku juga harus membagikan bekalku untuk Mirna, Bulan, dan Johan? Tapi mereka sombong, Bunda. Bukankah Tuhan tidak suka pada orang yang sombong? Jangan-jangan kalau aku memberikan bekalku ke mereka, aku juga ikut-ikutan dibenci Tuhan. Aku takut ada makhluk lain yang datang, Bunda. Makhluk yang semakin banyak dan membuatku semakin tidak bisa tidur hanya gara-gara aku membagikan makananku pada anak-anak yang kaya dan sombong.

Bunda, apakah jika Ayah tinggal di rumah ini, makhluk itu akan tetap berani datang?

Bunda, kenapa ada orang yang jahat seperti Bu Berta dan perempuan yang membawa pergi Ayah, tapi juga ada orang yang baik seperti Bunda dan Bu Marta? Apakah perempuan yang membawa pergi Ayah rajin ke gereja? Ah, tapi Bu Berta rajin ke gereja, Bunda. Malah ia sering duduk paling depan dan aku sering mencuri pandang ke wajahnya ketika aku menyanyi di barisan depan bersama regu koor. Bu Berta sering menangis ketika menyanyikan Madah Bakti. Jika aku melihat seperti itu, aku berharap besoknya Bu Berta akan baik dan tidak lagi gampang marah. Tapi ternyata Bu Berta tetap galak. Apakah galak itu termasuk jahat, Bunda? Apakah orang yang galak juga dibenci Tuhan? Mmmm… galak itu dilarang di al-Kitab atau tidak, sih, Bunda?

Kalau Ayah, disayang Tuhan atau dibenci Tuhan, Bunda? Ayah jahat karena meninggalkan kita, dan pergi dengan perempuan lain. Tapi ayah juga baik karena ia selalu membawakan mainan dan memberi uang. Mungkin kadang-kadang Tuhan sayang dan kadang-kadang Tuhan tidak sayang sama Ayah.

Ah, Yu Senik sudah mengucurkan keran air. Aku segera menarik selimut, pura-pura tidur. Tidak lama lagi, Bunda pasti akan membangunkanku.

Entah mengapa, setiap kali aku melihat wajah-wajah anak Arman, aku selalu tidak bisa menepis kebencian yang kadang menyergap. Kebencian yang berumur cukup tua, hampir setua pengalamanku mengajar di sekolah ini. Di kelas-kelas yang lain, yang tidak ada wajah anak-anak Arman, aku selalu menjadi guru yang baik dan disayang murid-muridku. Selalu saja kucari alasan untuk marah dan membuat mereka, anak-anak Arman tersedu, menangis penuh ketakutan. Aku tahu itu salah. Aku tahu itu tidak adil. Anak-anak itu tidak tahu kesalahan orangtua mereka. Anak-anak itu juga pintar-pintar dan baik apalagi anak terkecil Arman. Tapi selalu saja aku tidak bisa menghindari dari rasa marah yang kuat. Aku selalu menjadi siksaan bagi ketiga anak Arman dan murid-murid sekelas mereka yang lain. Aku adalah kutukan bagi mereka.

Dila, anak terkecil Arman, sekarang duduk di kelas lima. Dulu, kakak-kakak mereka juga sekolah di sini. Tapi di antara anak-anak Arman yang sekolah di sini, Dila-lah yang cukup menyiksaku. Ia anak yang paling pintar dan baik. Ia selalu benar mengerjakan soal-soal yang kuberikan dan menyelesaikan dengan baik pekerjaan rumahnya. Aku terpaksa membuat banyak anak menangis lebih dahulu untuk Dila bisa menangis. Jika pekerjaan rumahku dikerjakan dengan baik, aku akan memberikan soal-soal yang sulit. Tapi jika itu juga dikerjakan dengan baik, aku akan memberikan yang lebih sulit lagi, sampai hampir semua anak tidak bisa mengerjakannya, sampai Dila juga tidak bisa mengerjakannya. Pada saat itulah aku menumpahkan sedikit kesal dan marahku pada Dila. Aku membanding-bandingkannya dengan kedua kakaknya, yang sebetulnya juga dulu sering kumarahi.

Tapi setelah semua berakhir, ketika lonceng pergantian jam pelajaran maupun lonceng akhir berbunyi, aku selalu merasa menyesal. Dila gadis kecil yang baik. Ia memimpin lagu untuk upacara bendera dengan baik, ia menjadi anggota regu koor di gereja. Bahkan sering kali kulihat dari jauh, dari kantorku, Dila membagi-bagikan makanannya untuk teman-temannya.

Tapi Arman dan ibunya Dila telah menghancurkan hidupku. Mereka berdua telah membuat hari-hariku menjadi suram dan penuh siksaan. Mereka berdua telah menanam tunas kesengsaraan yang terus tumbuh dan tidak pernah mati. Arman mengkhianati cinta suciku, dan lari menikah dengan ibunya Dila. Dari mereka berdua, lahirlah tiga anak yang ikut menuai amarah yang ditanam kedua orangtua mereka. Arman dan istrinya telah membuat seorang hamba Tuhan sepertiku menjadi pendendam yang tak punya belas-kasihan.

Hidupku benar-benar mencekam apalagi jika esok harinya aku tahu, aku akan mengajar Dila. Tidurku selalu tidak pernah nyenyak, dan di antara rasa tidur dan terjaga itu, aku merasa memasuki pagar rumah Arman, menumpahkan seluruh rasa marah yang terpendam di halaman rumahnya. Lalu dari gorden yang tersingkap, dari sebuah ruang yang agak remang, aku melihat wajah Dila yang terlelap. Perlahan aku menghampirinya, membuka gorden agar wajah Dila semakin jelas kulihat bantuan lampu taman yang mengerjab. Wajah damai yang bersinar lembut, wajah yang aman dari rasa keji. Aku melihat buku yang tergeletak dan masih terbuka di meja kecilnya. Ia telah mengerjakan pekerjaan rumah dariku dengan tekun dan keras. Aku melihat rosario yang tergeletak di samping kepalanya. Ia tidak bisa menahan rasa haru. Aku mengecup penuh sesal kening Dila. Begitu aku terjaga dari keadaan yang terjadi antara tidur dan sadar, aku termangu. Air mataku keluar seperti air mata yang selalu keluar jika aku menyanyikan Madah Bakti, sementara di depanku kulihat Dila menyanyikan lagu tersebut dengan khusyuk dan ikhlas. Aku terjaga sampai pagi, sampai kemudian aku tetap tidak bisa menahan marahku jika menemuinya di kelas. Rasa yang akan membuatnya selalu menangis lagi.

Tuhan, jauhkanlah aku dari dosa dan dendam yang terkutuk itu. Jauhkan aku dari rasa marah yang keji itu. Setidaknya jauhkan aku dari rasa marah kepada Dila.

Bunda, hari ini aku merasakan Tuhan mulai memperlihatkan rasa sayang-Nya. Bu Berta hari ini tidak marah. Ia sangat baik. Bahkan ia menitip salam untuk Bunda. Akhirnya Tuhan memberiku yang terbaik. Tuhan memang tidak membuat Bu Berta kecelakaan, tapi Ia membuat Bu Berta berubah. Benar kata Bu Marta, Tuhan selalu memberi yang terbaik jika kita rajin berdoa dan percaya bahwa Tuhan mendengar doa kita. Aku tidak yakin Bu Berta akan baik lagi besok, tapi aku akan semakin rajin berdoa dan yakin Tuhan akan mengabulkan doaku. Aku tidak akan berdoa Bu Berta kecelakaan. Aku akan berdoa Bu Berta berubah menjadi baik seperti hari ini. Pasti Tuhan suka dengan doa yang seperti ini, doaku yang tidak jahat.

Aku baru tahu dari temanku, ibunya Dila telah lama ditinggalkan suaminya. Arman lari dengan perempuan lagi. Kali ini rasa sesal kembali menikam berlipat kali. Aku telah berdosa pada anak-anak baik yang menderita. Tuhan. Maafkanlah aku. Dan hari ini, Aku cukup bahagia. Dila tidak lagi menangis tersedu. Dendam itu telah lenyap tanpa bekas. Ah betapa hinanya aku telah melukai anak Tuhan yang baik dan sedang menderita. Dila, maafkanlah aku.

Audiobook

Saya di Mata Sebagian Orang

21 Library Twenty One
SMPN 21 Purworejo
Djenar Maesa Ayu 8 menit, 27 detik

Sebagian orang menganggap saya munafik. Sebagian lagi menganggap saya pembual. Sebagian lagi menganggap saya sok gagah. Sebagian lagi menganggap saya sakit jiwa. Sebagian lagi menganggap saya murahan!

Padahal saya tidak pernah merasa munafik. Tidak pernah merasa membual. Tidak pernah merasa sok gagah. Tidak pernah merasa sakit jiwa. Tidak pernah merasa murahan!

Dan apa yang saya rasa toh tidak membuat mereka berhenti berpikir kalau saya munafik. Berhenti berpikir kalau saya pembual. Berhenti berpikir kalau saya sok gagah. Berhenti berpikir kalau saya sakit jiwa. Berhenti berpikir kalau saya murahan!

Sementara saya sudah berusaha mati-matian menjelaskan kalau saya tidak munafik. Kalau saya tidak membual. Kalau saya tidak sok gagah. Kalau saya tidak sakit jiwa. Kalau saya tidak murahan!

Tapi penjelasan saya malah semakin membuat mereka yakin kalau saya munafik. Yakin kalau saya pembual. Yakin kalau saya sok gagah. Yakin kalau saya sakit jiwa. Yakin kalau saya murahan!

Maka inilah saya, yang tidak munafik. Yang tidak membual. Yang tidak sok gagah. Yang tidak sakit jiwa. Yang tidak murahan!

Walau sebagian orang tetap menganggap saya munafik. Menganggap saya pembual. Menganggap saya sok gagah. Menganggap saya sakit jiwa. Menganggap saya murahan!

Saya katakan ke banyak orang kalau saya tidak punya pacar. Saya tidak punya kemampuan untuk mencintai seseorang. Tapi bukan berarti saya tidak punya teman. Saya punya banyak sekali teman. Ada teman yang setiap pagi menyiapkan air hangat untuk mandi. Ada teman makan siang ketika rehat kantor. Ada teman yang menjemput sepulang kantor. Ada teman yang menemani nonton. Ada teman yang menemani clubbing. Mereka semua teman-teman yang baik. Mereka semua teman-teman yang bisa diandalkan dalam segala hal dan saya yakin saya pun cukup bisa diandalkan sebagai teman. Bukankah sudah sepatutnya begitu dalam hubungan pertemanan? Buktinya tidak jarang sebenarnya saya malas makan siang. Tapi karena teman mengajak, saya merasa tidak enak untuk menolak. Begitu juga halnya dengan nonton atau clubbing. Pulang kantor saya sering kelelahan. Inginnya lekas pulang dan tidur. Tapi jika ada teman yang mengajak nonton, rasanya saya tidak tega menolak apalagi ia sudah khusus jauh- jauh menjemput ke kantor. Maka saya akan mengiyakan walaupun belum tentu saya suka dengan film yang kami tonton. Pada saat kami nonton, tidak jarang pula ponsel saya berdering. Andaikan tidak saya angkat karena tidak sopan menerima telepon di dalam bioskop, tetap saja mereka bisa meninggalkan pesan SMS. Biasanya minta ditemani ke disko atau sekadar nongkrong di kafe. Sungguh, tidak selalu saya ingin menerima ajakan mereka. Tapi bagi saya itulah konsekuensi pertemanan. Apalagi, sekali lagi, mereka adalah teman-teman yang baik. Yang setia menyiapkan air hangat untuk mandi setiap pagi. Yang setia menemani makan siang. Yang setia menjemput pulang kantor. Yang setia menemani ke disko atau kafe. Yang setia memberikan perhatian dan waktu kapan pun saya butuhkan, walaupun mungkin mereka tidak selalu ingin mengiyakan, walaupun mungkin mereka sedang kelelahan, sama seperti apa yang sering saya rasakan.

Kepada merekalah saya sering menumpahkan segenap perasaan. Kepada merekalah saya meminta bantuan. Tidak hanya sebatas perhatian dan waktu, tapi juga dari segi finansial. Kalau saya butuh uang, saya bilang. Kalau saya mau ganti ponsel model terbaru, saya beri tahu. Kalau saya bosan mobil van dan ingin ganti sedan, saya pesan. Padahal karena akan selalu ada yang menjemput dan mengantar, mobil jarang sekali saya gunakan. Kalau saya dapat undangan pesta dan perlu gaun malam lengkap dengan perhiasan, saya utarakan. Kenapa harus sungkan? Toh saya tidak memaksa. Toh mereka ikhlas. Dan yang paling penting adalah mereka memang mampu mengabulkan apa yang saya minta. Saya tidak paksa mereka khusus menabung untuk saya apalagi sampai suruh mereka merampok bank. Saya juga teman yang baik. Saya tidak mau mereka susah hati karena tuntutan-tuntutan saya. Kalau sekali-sekali harus jebol tabungan atau terpaksa mencairkan deposito bolehlah… yang penting dananya memang ada. Itu pun bukan masalah yang harus saya besar-besarkan. Bukan sesuatu yang layak untuk membuat saya terharu. Apalagi jatuh cinta?! Saya harus garis bawahi bahwa saya tidak memaksa. Apalagi saya sangat tahu, sangat sadar kalau jumlah dana yang dikeluarkan hanya sepersekian persen dari keseluruhan harta mereka. Coba bayangkan, kurang pengertian apa saya sebagai teman? Seperti yang sudah saya utarakan sebelumnya, tidak jarang saya harus mengorbankan waktu dan tenaga untuk mereka. Mungkin lebih tepat jika saya menggunakan kata merelakan ketimbang mengorbankan. Walaupun saya agak terganggu, tapi saya rela. Saya melakukannya karena saya mau, bukan karena paksaan. Saya menikmati kebersamaan kami. Menikmati tiap detail manis yang kami alami. Makan malam di bawah kucuran sinar rembulan dan keredap lilin di atas meja. Percakapan yang mengasyikkan penuh canda dan tawa. Sentuhan halus di rambut saya. Kecupan mesra di ke dua mata, hidung, pipi, dan bibir yang berlanjut dengan ciuman panas membara lantas berakhir dengan rapat tubuh kami yang basah berkeringat di atas tempat tidur kamar hotel, di dalam mobil, di taman hotel, di toilet umum, di dalam elevator, di atas meja kantor, atau di dalam kamar karaoke. Saat-saat yang begitu melelahkan sekaligus menyenangkan. Saat-saat yang selalu membuat jantung saya berdegup lebih kencang dari biasanya. Saat-saat yang selalu membuat aliran darah saya menderas dan naik ke atas kepala. Saat-saat yang selalu membuat saya pulas tertidur dan mendengkur. Saat-saat yang tidak pantas untuk tidak membuat saya merasa bersyukur.

Namun dari sanalah segalanya berpangkal. Semua yang saya lakukan itu dianggap tidak benar. Sebagian orang menganggap saya munafik karena tidak pernah mengakui kalau saya punya pacar. Sebagian lagi menganggap saya pembual setiap kali saya bilang hubungan kami hanya sebatas pertemanan. Sebagian lagi menganggap saya sok gagah karena mereka berpikir saya tidak mau mengakui kalau sebenarnya saya mencintai seseorang. Sebagian lagi menganggap saya sakit jiwa karena berteman dengan begitu banyak orang. Sebagian lagi menganggap saya murahan karena saya bisa ditiduri tanpa harus ada komitmen percintaan bahkan bisa dalam satu hari dengan orang yang berlainan. Perbuatan yang saya jalani dengan penuh kewajaran tiba-tiba berubah menjadi perdebatan. Semua orang merasa lebih tahu dibanding diri saya sendiri. Beberapa bagian dari mereka itu sibuk dengan pendapatnya masing-masing dan lebih luar biasa lagi mereka bisa membahas perihal saya ini berjam- jam, berhari-hari, berminggu- minggu, berbulan-bulan, bertahun-tahun, sementara teman- teman saya semakin banyak, silih berganti tanpa henti dan ini membuat mereka punya materi yang lebih dari cukup untuk terus mempergunjingkan saya seolah tidak ada hal lain yang lebih pantas untuk diangkat sebagai tema. Mereka bergunjing lewat telepon. Mereka saling bertukar pesan lewat SMS. Mereka saling mengirim surat elektronik. Mereka saling bertukar pendapat di kafe-kafe. Di rumah. Di kantor. Di pertokoan. Di restoran. Apalagi jika secara kebetulan kami bertemu dalam satu kesempatan dengan membawa teman baru. Pembicaraan mendadak berhenti. Mereka sembunyi-sembunyi bertukar senyum. Mereka sembunyi- sembunyi bermain mata. Mereka sembunyi-sembunyi mengirim pesan SMS. Mereka saling berbisik dengan ekspresi wajah yang sulit untuk diterjemahkan. Kadang ada satu dua kalimat yang terdengar dan sudah cukup bagi saya untuk merangkumnya utuh menjadi satu bagian. Kebanyakan berkisar pada seberapa indah dan seberapa tebal kantong teman yang saya bawa. Pandangan mereka menyapu bersih kami berdua dari ujung rambut hingga ujung kaki seperti serigala kelaparan. Menyeleksi mulai dari apakah ada pernak-pernik baru yang saya pakai, kantong belanja, hingga jenis kartu kredit saat membayar bon tagihan makan. Jika teman saya kelihatan indah, maka dikaitkannyalah dengan seberapa dahsyat kehebatannya di atas ranjang. Jika teman saya kelihatan berkantong tebal, maka dikaitkannyalah dengan seberapa besar saya menguras uang. Tapi jika ke dua sisi itu tidak ada yang memenuhi standar pergunjingan, mulailah mereka dengan teori cinta-cintaan. Dan karena saya tetap bilang kalau kami benar-benar berteman, perdebatan pun dimulai dan mereka saling membuktikan pendapat siapa yang paling benar. Sebagian orang menganggap saya munafik. Sebagian lagi menganggap saya pembual. Sebagian lagi menganggap saya sok gagah. Sebagian lagi menganggap saya sakit jiwa. Sebagian lagi menganggap saya murahan!

Saya tidak bisa mungkiri banyak dari teman-teman yang akhirnya mempertanyakan. Banyak dari teman-teman yang tidak ingin berbagi dan pada akhirnya hubungan kami harus terakhiri. Tapi tidak satu pun dari mereka yang mendendam karena saya menjunjung tinggi keterbukaan. Saya tidak pernah membohongi, saya tidak pernah akal-akalan. Sehingga jika dibilang hubungan kami berakhir, sebetulnya tidak sepenuhnya benar. Yang berubah hanyalah kami sudah tidak saling melenguh dan mencabik di atas ranjang. Tapi kami masih saling berbagi cerita walaupun jarang. Saling bertanya apakah sudah punya pasangan tetap, menikah, atau masih melajang. Hal- hal seperti ini yang sering tidak saya temukan pada sebagian orang yang menanggap saya munafik, pembual, sok gagah, sakit jiwa, atau murahan itu. Sebagian dari mereka malah sering saya dapati tidak lagi bertegur sapa sama sekali dengan teman lamanya. Biasanya itu disebabkan karena hubungan mereka yang sembunyi-sembunyi dengan si A ketahuan oleh si B. Setelah putus dengan si B ternyata ketahuan pulalah si A berteman dengan perempuan lain. Alangkah sayangnya sebuah hubungan yang menempuh berbagai aral rintangan itu akhirnya harus kandas di tengah jalan. Tapi saya tetap menghargai sebuah pilihan. Saya hanya heran. Tapi walaupun saya heran, saya tetap tidak berani menganggap mereka munafik, pembual, sakit jiwa, sok gagah, atau murahan. Kadang saya juga mengalami kesulitan dalam satu hubungan. Beberapa kali saya bertemu dengan tubuh-tubuh indah yang membuat mata silau. Membuat darah saya berdesir dan mengisyaratkan satu kenikmatan. Malam-malam panjang. Kontraksi dahsyat di tengah selangkangan. Yang nyatanya berakhir dengan rasa mual. Ereksi yang tidak lama kekal. Reaksi yang membuat waktu berjalan bagai tak berujung pangkal. Dan saat itulah alarm dalam tubuh saya mengisyaratkan segala rencana kencan lanjutan mutlak batal. Sebagian orang menamakan kejadian-kejadian seperti itu sebagai cinta semalam. Sebagian orang merasa kejadian-kejadian seperti itu bertentangan dengan moral. Sementara buat saya kejadian-kejadian seperti itu hanyalah semata-mata proses pengenalan. Seleksi alam yang akhirnya menjawab apakah kami akhirnya bisa tidak atau lanjut berteman. Tapi tetap orang menganggap saya munafik. Menganggap saya pembual. Menganggap saya sok gagah. Menganggap saya sakit jiwa. Menganggap saya murahan!

Mungkin jika bukan karena penyakit yang datang tanpa bisa saya larang tidak saya idap sekarang, saya hampir percaya pada pendapat sebagian orang yang tiap bagiannya menyatu menjadi satu pendapat utuh bahwa tindakan saya menyimpang. Mungkin jika bukan karena saya tergeletak tak berdaya dan diperlakukan bagai anjing kusta saya hampir beralih dari apa yang selama ini saya percayai dan nikmati dengan hati lapang. Karena, ketika saya positif mengidap HIV ternyata saya masih punya banyak teman yang setia menyiapkan air hangat untuk bilas badan. Mengirim makan siang. Menemani makan malam. Mendongeng tentang sebuah peristiwa lucu di satu kafe. Bercerita tentang film yang baru saja diputar, membayar ongkos perawatan, ketika sebagian orang sibuk bergunjing atas akibat yang saya terima karena saya munafik. Pembual. Sok gagah. Sakit jiwa. Murahan!

Jakarta, 20 Agustus 2003 11:35:54 PM

Audiobook

Sepasang Kera yang Berjalan dari Pura ke Pura

21 Library Twenty One
SMPN 21 Purworejo
Sunaryono Basuki Ks 7 menit, 57 detik

Sudahkah kau dengar kisah tentang sepasang kera yang berjalan kaki dari pura ke pura untuk melaksanakan tugas akhir yang harus diemban menyucikan roh mereka berdua?

Perjalanan sepasang kera ini tiba-tiba menggemparkan orang kota, terutama kota yang seharusnya dilewati keduanya namun batal terlaksana lantaran suratan yang menyatakan demikian. Tidak seorang pun yang tahu siapa mereka berdua, kecuali bahwa mereka adalah sepasang kera yang dengan rukunnya bagai sejoli berjalan dari Pura Batu di tepi pantai ke pura di timur kota yang juga terletak di tepi pantai. Siapakah yang diwadahinya sehingga mereka harus menanggung kisah yang menjadi bacaan orang-orang di pinggir jalan, kisah yang juga diteruskan dari mulut ke mulut dengan bumbu penyedap berbagai rasa sehingga kisah pun berkembang menjadi dongeng indah.

Tidak seorang pun tahu siapa mereka berdua dulunya, mungkin juga tak seorang pun mengingat kisah masa lalu mereka yang mungkin sudah lewat puluhan tahun bahkan ratusan tahun dalam sejarah yang tak seorang pun mencatatnya.

Perlukah kita mengungkap kisah sedih tentang sepasang kera yang berjalan dari pura di barat kota menuju pura di timur kota, jarak keduanya sekitar delapan puluh kilometer, tak mungkin ditempuh berjalan kaki dalam tempo satu hari.

Konon sepasang kera itu adalah sepasang suami istri yang bersumpah bersetia karenanya ketika mereka menjelma kembali menjadi kera, maka mereka pun tetap bersama menanggung derita dan menuai sukacita bersama. Katanya, mereka berdua sudah menjadi penghuni pura sejak mereka dilahirkan oleh induk dan jantan kera yang berbeda. Kelahirannya di halaman pura yang memang penuh berpenghuni kera itu konon adalah atas permintaan mereka berdua agar mereka diberi kesempatan menyucikan hidup mereka sehingga mereka dapat kembali menjadi manusia, kemudian hidup lagi menjadi makhluk utama dan kembali ke surga.

Dulunya, mereka berdua adalah suami istri yang sangat berbahagia, diam di sebuah rumah di kota. Mereka hidup tenteram di masa tenteram. Saat mengandung anak yang kemudian lahir sebagai anak perempuan, setiap hari istrinya menginginkan kijang guling, sebagaimana orang-orang suka memasak babi guling dan kadang kambing guling. Selalu terbayang dalam tetes liurnya kijang muda yang ditusuk besi beton dari mulut sampai ke dubur, lalu diputar pada dua tonggak besi di atas bara yang menganga. Beberapa jam kijang yang perutnya sudah diisi daun belimbing yang bercampur bumbu itu terus diputar agar matangnya rata.

Perempuan itu setiap saat membayangkan kijang yang diputar-putar di atas bara itu hingga air liurnya tetes.

“Pergilah berburu kijang, Aji, sudah tak tahan mulutku diam lidahku kering membayangkan kijang muda yang diguling, kulitnya cokelat tua dan renyah rasanya. Jangan tunda lagi, suamiku.”

Lalu, dia pun pergi bersama seorang teman ke padang perburuan di Bali Barat, malam-malam yang gelap, berdua tak bercakap bahkan seolah selalu menahan napas. Malam itu sepasang mata yang menyala tiba-tiba diam tak bergerak seolah menunggu dengan waswas, jangan- jangan laras senapan diarahkan ke kepalanya. Sepasang mata menyala itu diam bagaikan terpaku di batang pohon, hanya nyala tanpa gerak.

Lalu, terdengar suara tembakan tunggal dan mata itu pun runtuh ke tanah bersama suara tubuh yang tersungkur.

“Kena!” teriak lelaki itu. Temannya bergegas menuju tempat sepasang mata jatuh ke tanah dengan senter di tangan menyala.

“Induk kijang!” teriak temannya.

Lelaki itu agak kecewa sebab dia berharap dapat menembak seekor kijang muda yang diidamkan oleh istrinya. Rumput yang terinjak-injak kaki mereka dan semak yang terkuak, lalu temannya berteriak:

“Dia tak sendirian!”

“Mana lagi?” tanyanya.

Lelaki temannya menghunus goloknya dan menyerahkan senternya untuk dipegangnya menerangi tubuh yang rebah itu. Dengan cekatan dia membedah perut kijang itu dan sesaat mengeluarkan bayi kijang yang menggeliat dari dalamnya.

“Syukur dia masih hidup,” katanya sambil membungkus bayi kijang itu dalam kain sarung yang sejak tadi melilit lehernya.

Di rumah, mereka disambut bukan oleh sorak sorai atas keberhasilan mereka menembak seekor kijang, tetapi oleh berita yang memacu jantungnya untuk berdegup keras.

“Ibu dibawa ke rumah sakit,” kata pembantunya.

Dan kisah selanjutnya kau pasti sudah tahu, tak perlu lagi dikisahkan tentang gadis kecil yang bersahabat dengan kijangnya dan terbang ke langit mencari mamanya.

Tahun-tahun dilewati oleh lelaki itu dalam kesepian, terutama ketika anak gadisnya terbang ke langit tanpa mengucap selamat tinggal. Telah dia relakan gadis kecil itu bersama kijangnya mencari mamanya, dan kijang itu pasti rindu pada induknya yang tak pernah menyusuinya. Mereka telah bertemu di taman bunga dengan hamparan rerumputan hijau bagai permadani persia, di mana gadis kecil itu bebas berguling-guling memeluk kijangnya yang mengedip-kedipkan matanya.

Bertahun-tahun lamanya mamanya menunggu lelaki yang duduk kesepian di kursi malas di kebun rumahnya sampai pada suatu saat mereka dapat berkumpul kembali dan bersama hujan turun ke bumi sebagai anak-anak kera yang lucu. Bertahun-tahun lamanya lelaki itu menyebut nama Tuhannya dan memohon izin untuk membersihkan dirinya dari dosa, dan pembersihan diri itu harus dilakukan kembali di atas bumi yang penuh kekotoran ini.

Dari tahun ke tahun kera itu hidup berpasangan, tanpa seorang anak pun sebab mereka bersumpah untuk tidak bersatu tubuh hanya sukma yang layak terpadu walau mereka suami istri. Orang- orang yang datang bersembahyang di pura itu sering memerhatikan mereka yang konon berperilaku sebagai manusia. Mereka tidak pernah menyerang para pendoa, tidak pernah merampas buah atau kue yang dibawa sebagai sesaji oleh umat yang bersembahyang.

Mereka selalu menunggu orang-orang selesai bersembahyang dan dengan sabar pula menunggu mereka mengulurkan tangan dengan buah atau kue yang mereka terima dengan tangan pula. Bilamana ada orang yang melempar kue atau buah kepada mereka sampai jatuh ke tanah, mereka tidak mau memungutnya, dan membiarkan kera lain merebut kue itu dan lari dari arena.

Konon, mereka benar-benar berperilaku sebagai manusia, sebagai sepasang suami istri yang mencari rezeki dari orang-orang yang bersembahyang di pura ini. Mereka akan menerima buah yang bersih, yang belum digigit manusia. Pernah seseorang mencoba mengupas pisang dan mencuil ujungnya dengan tangan lalu mengulurkan pisang setengah terkupas itu kepada mereka, namun mereka diam saja tak hendak menerima pemberian itu walaupun tulus.

Di hari yang baik itu janji harus ditepati. Sepasang kera itu duduk berdua diam di depan pura utama, memohon berkah Sang Hyang Maha Menentukan lalu si jantan mendengar bisik dan kemudian mereka berdua berdiri, saling berbimbingan tangan menuruni tebing bukit menuju jalan raya. Dengan hati yang mantap mereka menghadap ke arah timur dan melangkah dengan niat mencapai pura di pinggir pantai yang terletak di timur kota, delapan puluh kilometer jauhnya.

Dari ladang ke ladang ke kebun mereka berayun, namun kadang berjalan kaki di tepi jalan sebagaimana sepasang penduduk kampung yang hendak ke kota. Orang-orang yang melihat mereka membiarkan mereka lewat, kadang menunggu dan mengulurkan dua buah pisang yang mereka terima dengan membuka senyum.

“Lihatlah, anakku. Mereka benar-benar mirip manusia,” seorang perempuan bicara dengan anak yang duduk di pangkuannya.

Pada malam hari mereka berhenti di dangau di ladang petani dan esoknya kalau merasa lapar, mereka mendekati rumah penduduk yang mengerti dan memberi mereka makanan.

Namun, sayang, tidak semua orang tahu siapa sepasang kera itu, karena memang mereka tidak pernah berjumpa dengan mereka dan tak pernah mendengar kisah mereka. Dan seorang anak muda yang menenteng senapan angin berburu burung tiba-tiba melihat mereka di atas pohon, membidik salah seorang darinya dan jatuhlah kera betina, mula-mula masih sempat bergelayut di ranting pohon namun akhirnya jatuh terbanting ke atas tanah. Kera jantan memburu turun dan memeluk tubuh yang mulai mengejang saat nyawa mulai merambat keluar darinya.

“Duh, istriku, kenapa hal ini harus terjadi lagi?” seolah dia merintihkan lagu duka yang mengusung masa lalunya.

Siapakah yang memahami rintihnya kalau mereka tak merekam sejarah yang tak pernah tertulis? Bagaimana orang tahu tentang peristiwa yang sudah berlalu?

Anak muda itu datang mendekat dan menodongkan laras senapannya, siap akan menembaknya dan merobohkannya di atas tubuh istrinya. Sekilat dia ingin mati bersama istrinya, sebagaimana apa yang mereka janjikan. Namun, dilihatnya cahaya yang menuntunnya untuk bergerak terus ke arah timur.

“Tidak!” katanya. “Bukannya aku tak bersetia padamu, istriku, tetapi ada tugas yang harus aku penuhi agar harkat kita kembali ke tempatnya semula. Aku harus sampai di pura sebelah timur, menghaturkan sembah kepada Yang Maha Berkehendak sehingga kita tetap bersatu sebagai manusia.”

Tembakan berdesis dan jantan kera itu melompat menghindar, memanjat pohon dan dari ketinggian dia melihat pemuda itu membawa jasad istrinya pulang. Di rumah orang mengulitinya dan memasak dagingnya, serta membagi gulai daging itu kepada para tetangga.

Esoknya desa gempar sebab orang- orang yang ikut memangsa daging kera itu semuanya menjadi gagu, tak bisa bicara, sementara pemuda yang dengan gagah beraninya menembak kera itu ditemukan terbujur tubuhnya di atas bale kamarnya, tak bangun lagi, dengan kulitnya yang dingin dan dadanya yang tak lagi naik turun.

Berita itu dengan cepat tersebar ke seluruh wilayah dan orang-orang berbisik tentang sepasang kera yang bertingkah laku sebagai manusia, yang tinggal di pura selama bertahun-tahun dan tak pernah mengganggu manusia.

Kera itu dengan kepala menunduk melanjutkan perjalanannya yang belum usai, pada malam hari sampai di pura di tepi pantai, dan tanpa beristirahat duduk menundukkan kepalanya di depan tempat sembahyang utama, dengan sekuntum bunga kamboja terselip di telinganya.

Berhari-hari dan malam dia tinggal di pura itu mencoba meninggalkan rasa duka yang masih menyesaki dadanya dengan besar hati.

“Aku harus menjalaninya, kisah hidup yang kujalin sendiri dari dedaunan karmaku, apakah mampu membentuk kipas yang dapat menyejukkan tubuh di kala panas menyengat atau perangkat sembahyang yang penuh dengan bunga. Siapakah yang bertanggung jawab atas perbuatan selain diri kita sendiri, dan aku harus menebus apa yang sudah kuperbuat, dan istriku harus menjalani kembali kisah sedih yang sudah terjalin menyatu dengan masa lalu.

Lalu, ketika genap lewat tujuh hari, dia mulai melangkahkan kaki kembali menuju ke barat, kembali ke pura batu di tepi pantai dan menjalani sisa hidupnya sendiri. Sisa? Berapa harikah yang tersisa? Dia tak boleh mempersoalkannya. Hari- hari lewat dengan berdoa, hari-hari di wilayah yang suci tempat manusia menyambung sukmanya dengan zat yang Mahasuci, kenapa aku tak boleh menyambung sukmaku sebagaimana mereka?

Hari-hari berlalu dan dia berharap pada suatu saat tiba saatnya dia berkumpul kembali dengan istrinya sebagai manusia, menapaki jalan yang lebih bersih agar tercapai moksa kembali menjadi zat suci, bercampur udara yang berada pada lapisan paling atas paling dekat dengan Zat Yang Mahazat.

Singaraja, 6 Agustus 2003

Audiobook

Juru Rias dan Seorang Pesolek

21 Library Twenty One
SMPN 21 Purworejo
Kurnia Effendi 8 menit, 19 detik

Malam beranjak larut, tapi Maharayi masih ingin menyelesaikan pekerjaannya. Ia selalu berhasrat mendapatkan hasil yang sempurna. Setelah menggunting rapi alis lelaki gagah yang terbaring dalam tidur abadi itu, ia akan merias wajah dinginnya agar terlihat segar. Sumringah dalam setelan jas hitam yang masih tegas garis lipatan setrikanya dari jasa laundry.

“Sekarang sudah malam. Boleh saya menyanyi?” bisik Maharayi di depan almarhum Sugondo. Ya, nama lelaki itu Sugondo. Terhenti usianya di angka enam puluh satu tahun tiga bulan empat belas hari. Mungkin ditambah beberapa jam. Serangan jantung. Kemarin tampak tubuhnya sedikit membiru.

Lalu bibir Maharayi menyenandungkan sebuah lagu yang-kemungkinan besar, jika Sugondo masih mampu mendengarnya-akan dikenalnya dengan baik. Lagu yang digubah oleh Ismail Marzuki. Lagu yang pasti tidak populer bagi telinga anak muda sekarang. Maharayi memilih lagu itu karena jenazah yang berbaring di depannya berusia enam puluh satu tahun. Bukan enam belas tahun.

Maharayi membuka tutup bedak. Terus bernyanyi seraya memulas wajah pucat itu dengan serbuk lembut yang hanya sedikit menyiarkan aroma jasmin. Begitu hati-hati tangannya bergerak, seperti khawatir membangunkan lelaki yang terpejam tenang itu.

“Bapak dulu tentu seorang yang dipuja banyak perempuan.” Maharayi tersenyum. Barangkali, jika boleh jujur, ia juga tertarik dengan garis rahang yang kuat itu.

“Nama saya Maharayi. Siapa tahu, di tempat yang baru, ada yang bertanya mengenai perias wajah Bapak.”

Maharayi tersenyum lagi. Di tengah sunyi malam, di tengah rumah duka yang lengang, ia biasa bercakap-cakap sendiri. Seolah para jenazah itu sahabat yang dapat mendengar dan bahkan menyahut sesekali dengan ucapan yang tulus. Ia merasa berbahagia memperlakukan seorang almarhum atau almarhumah dengan ramah. Sering kali seperti terdapat senyum dari bibir jenazah itu saat ia pamit meninggalkan ruangan yang dikelilingi harum hio terbakar.

“Akhirnya selesai juga. Semoga Bapak dapat melangkah dengan tenang ke rumah yang lebih luas. Saya akan pulang.”

Maharayi memasukkan sisir, gunting kecil, bedak, pensil alis, dan beberapa peralatan rias lainnya ke dalam beauty case berwarna coklat muda. Ia memandang sekali lagi wajah Sugondo sebelum melangkah menjauh. Ia tak mungkin menciumnya karena bukan istri atau kerabatnya. Bukan pula kekasih gelapnya. Ia hanya seorang perias jenazah.

Di depan pintu yang ditinggalkan, ia dijemput seorang petugas rumah duka yang kemudian mengiringinya berjalan ke ruangan yang mereka sebut ruang tunggu. Ada seorang kerabat almarhum yang segera menjabat tangannya dan mengucapkan terima kasih. Maharayi sedikit terkesima memandang wajahnya. Seperti wajah seorang model yang kerap tampil di halaman majalah. Wajah halus dengan bedak tipis dan, mungkin, celak di bawah mata serta selapis pemerah bibir yang samar.

“Keluarga yang lain di mana?”

“Kebetulan sedang makan di luar sebentar. Apakah Ibu perlu saya antar pulang?”

“Oh, tidak,” Maharayi buru-buru menampik. “Saya membawa mobil.”

“Baiklah. Sekali lagi terima kasih.” Anak muda Tionghoa yang matanya tidak terlalu sipit itu sedikit membungkukkan badan.

Mereka pasti orang terpelajar, pikir Maharayi. Anak atau cucu sulung Pak Sugondo? Keluarga dengan bibit yang baik, gumamnya, sebelum meninggalkan rumah duka. Minibus yang dikendarainya meluncur memasuki padat lalu lintas.

SEJAK suaminya berangkat berlayar empat bulan yang lalu, Maharayi mengemudikan mobil sendiri. Membuatnya terlihat lebih lelah setiap tiba di rumah. Biasanya, begitu masuk ke dalam rumah, dia akan memeriksa kamar kedua anaknya. Mula-mula Dito, kelas I SMP, yang meringkuk dalam dengkur halus. Radio di dekat ranjangnya dinyalakan sepanjang malam. MTV Sky, 101,4 FM. Tapi malam ini bukan Kemal yang siaran. Maharayi tersenyum sendiri karena ternyata mengenal suara penyiar radio ABG itu. Ia membetulkan letak selimut di atas tubuh Dito, lalu mencium pipinya.

Listy masih terjaga. Sedang memasang foto pada sebuah album. Hanya menoleh sebentar sewaktu ibunya membuka pintu kamar.

“Besok tidak ada ulangan, Nak?”

“Sudah belajar,” sahut Listy tanpa memandang.

“Ibu mandi dulu ya,” Maharayi berbalik badan, namun ekor matanya sempat menangkap sebuah potret yang tergeletak di atas meja belajar Listy. “Siapa?”

“Alessandro.”

“Pemain sepak bola?” Maharayi merasa karib dengan nama itu. Tapi sesuatu berkelebat dalam ingatan. Wajah itu!

“Peragawan.”

“Kamu kenal?” Terdengar nada kagum.

“Hampir semua temanku kenal. Dia main sinetron juga.”

Maharayi menyadari jarang pulang pada jam tayang sinetron. Menyadari sejumlah letih menggayut saat tiba di rumah. Tapi kini justru semakin jelas kelebat wajah dalam ingatannya.

“O, hebat! Kamu berteman dengan bintang televisi.”

Kepala Listy tengadah mendadak. Ada rona berang pada parasnya, menduga ibunya menyindir. Namun, tak ditemukan gelagat itu pada muka ibunya yang sedikit berminyak.

“Ibu aneh.” Listy meneruskan pekerjaannya. “Dia model terkenal, karena itu aku kenal.”

“Apakah menurutmu tidak tampak terlalu cantik sebagai laki-laki?”

“Zaman sekarang kan begitu? Yang bersolek tak hanya perempuan. Cantik juga menjadi hak laki-laki, Bu.”

“Ya, sudah.” Maharayi meninggalkan kamar Listy. Pikirannya mencoba menangkap kelebat wajah yang mengganggu. Rasanya baru saja memandangnya. Ah, Alessandro!

Anak atau cucu Bapak Sugondo? Ia ramah dan terpelajar. Tentu. Karena dia seorang peragawan sekaligus bintang sinetron. Atau karena ramah dan terpelajar, maka Alessandro menjadi bintang film?

Maharayi melangkah terburu kembali ke kamar Listy. Tapi pintunya terkunci dan dia urung mengetuk. Ia hanya ingin bilang: “Tadi Ibu ketemu Alessandro di rumah duka.”

Sinar matahari mulai kendur ketika Maharayi tiba di rumah. Ia tak langsung memasukkan mobil, melainkan turun di depan serambi dan mengunci pintu dengan remote yang meninggalkan bunyi bip dua kali.

Langkah sepatunya mengetuk dengan gegas di ubin keramik teras rumahnya. Ia tak perlu mengetuk pintu karena ternyata tidak dikunci.

“Dito!” Panggilnya seraya meletakkan tasnya di sisi meja televisi. “Listy!”

Di ruang tengah Dito menatap ibunya. Memancar cemas dari wajahnya. Kecemasan yang tak biasa. Dan Maharayi mengulang pertanyaannya.

“Kak Listy pergi.”

“Ke mana?” Mata Maharayi tak berkedip. Meminta jawaban.

“Apakah Ibu tahu kalau Alessandro meninggal karena kecelakaan?” Dito menatap dengan raut cemas. Cemas yang tidak biasa.

“Ya Tuhan…” Maharayi menutup wajahnya. Ia tadi memang ditelepon keluarga Sugondo, tapi tak terlalu jelas karena dihiasi isak tangis. Ia buru-buru pulang dari kunjungan rutin ke rumah mertua oleh sebab berita yang tak terlalu meyakinkan itu. Mungkin Listy belum mendengar, atau justru dapat menjelaskan?

Dito berlari ke dapur, mengambil segelas air putih untuk ibunya. Maharayi menerima dan segera meminumnya. Duduk dan bersandar di sofa ruang tamu, menenangkan diri. Sekarang ia lebih menduga Listy tahu kabar tentang musibah yang menimpa bintang favoritnya. Dapat dibayangkan, tokoh pujaan yang fotonya disimpan secara khusus itu kini tak mungkin tampil lagi di depan penggemarnya kecuali memutar ulang film-film yang dibintanginya sebagai memoar. Dapat dibayangkan kesedihan macam apa yang kini sedang bergelimang di hati anaknya. Tapi… ke mana sebenarnya Listy?

“Kalau begitu, Ibu mau melawat ke rumah…”

“Lihat, Bu! Beritanya masuk televisi.” Dito membesarkan volume suara. Maharayi tertegun memandang liputan sore itu: proses pengangkatan mobil Alessandro dari sebuah jurang sebelum kawasan Cianjur. Tampaknya tak banyak luka yang diderita, namun benturan di kepala membuatnya langsung tewas. Potongan gambar berikutnya adalah suasana rumah sakit saat jenazahnya turun dari ambulans.

Maharayi hampir menelepon ke rumah keluarga Sugondo, tapi urung. Apakah akan ada yang menjawab? Ditatapnya Dito, sejenak ragu akan meninggalkan anak bungsunya sendiri di rumah. Kemungkinan besar ia akan lama berada di rumah keluarga Alessandro seandainya sulit membujuk Listy pulang. Aneh, kenapa telepon seluler Listy tidak diaktifkan?

“Ibu akan menunggu sampai sore. Jika Listy tak juga pulang, kita harus mencarinya.” Itu keputusan Maharayi.

Sunyi memenuhi relung ruang tunggu krematorium itu. Ibu Alessandro menyambut kedatangan Maharayi dengan sepasang mata sembab. Orang yang sama, yang memintanya beberapa hari lalu untuk merias wajah Pak Sugondo.

“Saya tak tahu apa maksud Tuhan, tapi inilah yang terjadi.” Suaranya tersedu.

Maharayi menjabat tangan perempuan itu dengan takzim. Menyampaikan perasaan turut berduka.

“Dia masih muda. Cita-citanya masih panjang. Dia sedang menuju puncak.”

“Sayang sekali, memang. Kemarin dulu saya bertemu dengannya. Dia pemuda yang baik.”

Ingin Maharayi meneruskan dengan kata-kata: “Anak saya sangat memujanya…” tapi urung. Saat ini Listy, dengan cara yang lain, pasti juga merasa kehilangan.

“Saya minta Bu Rayi membuat Alessandro setampan pangeran.”

“Terima kasih atas kepercayaan Ibu.”

Seseorang mengantar Maharayi ke tempat jenazah Alessandro disemayamkan. Di depan pintu, sebelum masuk ke ruang yang mulai dipenuhi harum setanggi Cina, Maharayi membuka tas yang dibawanya. Ia terperanjat karena beauty case warna coklat muda tidak terdapat di dalamnya. Apakah tertinggal di mobil? Sejak kapan terpisah dari tas besarnya? Atau justru tertinggal di rumah? Tapi, ia tak pernah merasa membongkar tas itu sepanjang tiga hari ini.

“Kenapa?” tanya pengantar itu.

“Tidak apa-apa,” Maharayi menggeleng cepat. “Ayo, kita masuk.”

“Apakah boleh saya tinggal?”

“Ya. Biarkan saya sendiri.”

Maharayi menunggu sampai pintu tertutup. Sore ini di ruang itu hanya ada satu jenazah. Alessandro! Sang peragawan yang menurutnya terlalu cantik untuk seorang laki-laki. Langkahnya perlahan mendekat. Apa yang hendak dilakukannya tanpa alat rias? Maharayi belum hendak memutuskan apa pun. Ia hanya ingin melihatnya dari dekat.

Tertegun ia memandang jenazah Alessandro. Begitu ranum. Kulitnya terlampau halus. Segar. Seperti masih dijalari denyut kehidupan, tidak sepucat mayat yang selalu ditangani selama ini. Diperhatikannya alis yang rapi, rambut yang terletak tepat pada tempatnya. Wajah yang tak berminyak dengan pori-pori lembut. Pipi yang kemerahan…

“Apa lagi yang harus kutambahkan pada wajahmu, Alessandro?” bisik Maharayi sendiri. “Rasanya engkau bisa bersolek sendiri.”

Tiba-tiba mata Maharayi terasa panas. Tak pernah ia merasa sesedih sore ini. Setiap jenazah selalu meninggalkan aroma duka, tapi Alessandro membenamkan luka yang tak pernah dibayangkan. Bagaimanapun ia dapat merasakan kehancuran hati Listy.

“Benar pertanyaan ibumu, Nak. Kita tak pernah tahu apa maksud Tuhan,” bibir Maharayi gemetar. “Kamu masih muda, cita-citamu masih panjang. Dan kamu seorang yang cantik. Apa lagi yang harus kutambahkan pada wajahmu?”

Pandangan Maharayi begitu mendalam pada paras pemuda itu. Ia seperti melihat pemuda itu tersenyum. Oh, tidak! Bahkan ia melihat sepasang mata Alessandro membuka perlahan. Mata yang kemudian tersenyum.

“Ibu tak perlu merias wajah saya. Listy, anak Ibu, telah melakukannya.” Maharayi mendengar suara Alessandro. Tenang dan sopan. Ia ragu, apakah ia melihat gerakan bibir pemuda itu? Tapi ia jelas mendengar suara itu. Suara yang menyapa dengan santun tiga hari lalu, seusai merias jenazah Pak Sugondo.

Mata itu kembali menutup. Atau sesungguhnya tak pernah membuka? Maharayi gemetar, tertegun dengan denyar darah tak beraturan. Kini rasa takut menjalar perlahan dan membuat sepasang kakinya berangsur dingin.

Listy? Apakah kamu telah mengambil alat rias Ibu? Mata Maharayi basah. Ia bergeser mundur. Baru sekali ini ia gemetar di depan jenazah. Sunyi merayap. Senyap mengertap. Tak ada suara burung gereja yang biasanya bercericit di lubang angin. Tak ada suara angin yang biasanya menggerakkan daunan pohon di sisi krematorium.

Tapi ia mendengar isak yang lain. Ia terus bergeser mundur dan tiba-tiba merasa membentur lembut seseorang. Segera ia membalik tubuh dan mendapatkan Listy yang menggigil dengan wajah basah air mata. Di tangannya tergenggam beauty case coklat muda miliknya.

“Maafkan aku, Ibu.”

Maharayi memeluk Listy. Seraya kembali mengingat: apakah benar Alessandro bicara padanya? Apakah benar sang pesolek itu membuka mata dan memandangnya? Dadanya mulai basah oleh air mata Listy.*

Jakarta, 15 Agustus 2004

Audiobook

Salawat untuk Pendakwah Kami

21 Library Twenty One
SMPN 21 Purworejo
Martin Aleida 9 menit, 49 detik

Rumahtoko bercat merah di kedai panjang itu dikenal penduduk kota kecil kami sebagai satu-satunya penjual kopiah. Lepas salat subuh, toko itu tiba-tiba telah berubah menjadi rumah duka. Haji Johansyah Kuala meninggal mendadak. Mula-mula dia mengerang setelah mengucapkan Assalaamu ‘alaikum ke kanan dan ke kiri. Dia tergagap. Tergapai-gapai mencoba berbicara, tetapi yang terdengar hanya suara serak menggelegak yang meruyak dari pita suaranya yang terjepit. Istrinya seperti melompat merapat ke sisinya. Tetapi, sang suami malah mengibas-ngibaskan tangannya, menyuruh pendamping hidupnya yang abadi itu supaya menjauh. Dia mengeluh kepanasan. Dan, tiba-tiba kepalanya terkulai, dan dia tumbang mencium sajadah sambil merangkul dadanya kuat-kuat. Kopiahnya terlempar beberapa jengkal. Istrinya memegang, menimang, dan memekik sambil memeluk kepalanya. Pekik itu menjadi sangkakala kedua yang membangunkan kota kami setelah seruan azan tadi.

Kini, ratap tangis mengiba-iba tiada hentinya di toko yang juga berfungsi sebagai tempat tinggal itu. Terjadi kesibukan luar biasa. Meja kursi disingkirkan. Lemari-lemari kaca yang tua tetapi berwibawa, tempat kopiah berbagai warna dan ukuran bertengger selama ini, dipepetkan ke dinding, kemudian ditutup dengan kain putih. Bagian depan rumah itu, yang biasanya menjadi gelanggang pertemuan Haji Johansyah Kuala dengan para pelanggan dan pembelinya, sekarang menjadi tempat yang lapang. Jasad tuan rumah sudah diturunkan dari lantai atas dan dibujurkan di situ. Di wajahnya sudah tak tampak sisa-sisa perkelahian yang singkat tetapi mematikan dengan maut. Sebaris senyum tergurat di bibirnya yang legam membeku. Matanya yang ramah dan selalu merangsang penghuni kota tertawa sekarang terbenam di balik kelopak yang malas.

Kabar tentang kematian pedagang kopiah itu dengan cepat menular ke seluruh penjuru kota. Tetapi, ini bukan kabar kematian orang sembarangan. Walau Haji Johansyah Kuala bukan seorang penganjur agama yang berpengaruh dan disegani. Bahwa dia adalah juga seorang pendakwah memang benar. Tetapi, sebagai penganjur dia punya cara sendiri. Bagaimana membuat umat, terutama kaum kerabat, tertawa terbahak berkepanjangan, dan terbawa-bawa sampai menjelang tidur, itulah kehendaknya, misinya, panggilannya sebagai seorang haji. Karena lelucon-lelucon yang diciptakannya menjadi buah bibir dan bertahan lama di hati umat, maka teringat akan namanya saja orang bisa mesem-mesem sendirian menahan tawa.

Haji Johansyah Kuala meninggal. Ah… siapa pula yang percaya. Ada semacam campuran perasaan mengilik dan duka yang menyentak begitu kawan-kawan dekatnya mendengar kabar kemalangan itu. Jangan-jangan ini hanya permainan Haji Johansyah Kuala lagi untuk menggelitik warga kota, begitulah pikir mereka. Semua pasang kuda-kuda, jangan sampai ada yang termakan permainan. Semua mengirim pembantu, atau malah anak sendiri, untuk mengintai bahwa tokoh mereka itu tidak sedang melemparkan lelucon, dan bahwa dia memang benar-benar telah tiada…

Haji Johansyah Kuala menemukan panggung yang tepat di kota kecil kami, yang dijepit dua batang sungai yang besar, dan dua daerah rawa yang perawan sepanjang masa. Membuat kota jadi pemukiman yang masif. Penduduk saling mengenal.

Tidak sebagaimana para pedagang Tionghoa yang semata-mata mengandalkan penghasilan dari perdagangan yang berpusat di wilayah kedai panjang itu, orang-orang Melayu yang bertempat tinggal dan berniaga di situ juga menguasai perkebunan kelapa yang luas. Boleh dikatakan berdagang buat mereka adalah pekerjaan sambilan. Tak terkecuali Haji Johansyah Kuala.

Sehari-hari Pak Haji kita itu tidak begitu sibuk. Kopiahnya baru berjibun dikerumuni pembeli pada hari-hari menjelang Idul Fitri atau hari raya haji. Karena itu dia punya banyak waktu. Juga ilham. Garis keturunannya membuat dia seorang warga yang tak perlu diragukan kata-katanya. Ayahnya, yang mewariskan toko kopiah itu, melaksanakan ibadah haji dengan mengendarai sepeda. Dia menyeberang ke Semenanjung Malaya waktu itu, dan dari sana mengembara dengan sepedanya sambil menuntut ilmu sepanjang perjalanan ke tanah suci. Pulang-pulang dia membawa kemahiran yang membikin orang tercengang dan kagum: khatam Al Quran. Dia juga jadi pawang yang andal. Kalau polisi kewalahan mengatasi harimau yang mengganas dan memangsa penderes karet di wilayah sempadan, maka dialah yang dipanggil untuk menjinakkan binatang buas itu. Dia menaklukkan binatang itu dengan mengibas-ngibaskan sorban yang dia beli di Pakistan. Johansyah Kuala sendiri sudah melaksanakan ibadah haji ketika dia masih remaja, dengan menumpang kapal laut. Sejarah keluarga dan sikapnya yang selalu menunjukkan keinginan bersahabat, membuat dia jadi tumpuan orang yang sedang memerlukan bantuan.

Adalah seorang laki-laki setengah baya yang mampir ke tokonya. Bukan untuk membeli kopiah, tetapi meminta nasihat. Soalnya, dua gigi depannya rompal diterjang kelapa yang jatuh dia kait. Orang yang malang itu terus-menerus menyembunyikan ompongnya dengan menutup mulut dengan tapak tangan. Haji Johansyah Kuala menganjurkan orang itu berangkat ke Medan untuk memasang gigi palsu. Diberikannya uang pembeli gigi palsu dan ongkos perjalanan secukupnya. Dengan satu syarat: dia tak boleh menutup mulut menyembunyikan ompongnya sepanjang perjalanan.

Mula-mula orang itu malu dan ragu-ragu mendengar tawaran tersebut. Tetapi, Haji Johansyah Kuala memberi nasihat yang menarik, dan bisa dia terima. Begini. Sepanjang perjalanan ke Medan, dengan menumpang kereta api, kalau ada yang bertanya dia mau ke mana, maka untuk menyembunyikan ompongnya dia supaya mengatakan bahwa tujuannya bukan Medan, karena dengan melafalkan nama kota itu, maka bibirnya akan terbuka dan akan mengangalah giginya yang ompong.

“Kalau ada yang menyapa dan bertanya, jawablah bahwa kau mau ke Lubuk Pakam,” ujar Haji Johansyah Kuala. Dengan mengucapkan nama kota itu, maka praktis mulutnya akan tertutup. “Waktu pulang nanti, kau boleh bersorak. Kalau ada yang bertanya, jawab saja sekenanya, bahwa kau mau ke Batangkuis. Ya, Batangkuis….” Itu artinya dengan menyebutkan kota kecil itu, maka dia akan punya kesempatan untuk memamerkan gigi barunya.

Walhasil, begitulah jadinya. Dalam perjalanan ke Medan dia menyebutkan tujuannya adalah Lubuk Pakam. Ompongnya pun tersembunyi. Dalam perjalanan pulang tujuannya adalah Batangkuis. Dengan begitu gigi palsunya kelihatan berkilau, meskipun kota itu sudah tertinggal jauh di belakang.

Di kota kecil kami tak ada yang serius. Hidup ini diperlakukan enteng-enteng saja. Orang bisa mengobrol di kedai kopi sepanjang hari, bertukar kelakar, berdebat soal politik sambil meninju-ninju meja, hanya ditemani secangkir kopi. Dan, jangankan gusar, pemilik kedai malah ikut nimbrung. Kadang-kadang Haji Johansyah Kuala juga meluangkan waktu mampir ke situ, sekadar hendak mengetahui apa yang jadi buah bibir. Di kedai kopi itu jugalah dia menceritakan kisah perjalanan si ompong tadi. Dari kedai kopi itu kelakar tadi dengan cepat menyebar ke seluruh pojok kota, membuat yang mendengarkan maupun yang menceritakannya kembali cekikikan.

Kalau ada orang yang mampir ke tokonya, sekadar melihat-lihat, pasti kena. Rayuannya maut, membikin orang kesengsem. Dia pandai mengumbang hati calon pembeli, membuat mereka bangga dan dengan begitu gampang mengeluarkan uang untuk membeli. Tak ada yang lolos dari perangkap kata-katanya yang membujuk.

“Ah,” katanya tersenyum seraya menelengkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, mematut-matut kopiah di kepala tamunya. “Aimak jang, macam Soekarno kau, ah….” Dibandingkan dengan seorang presiden yang gagah, tentu hati orang itu pun kontan luluh dibuatnya.

Suatu ketika, di depan tokonya mondar-mandirlah seseorang yang kelihatannya sedang berpikir keras. Secepat kilat datanglah ilham menyambar Haji Johansyah Kuala. Dengan hangat dia ajak orang itu masuk ke tokonya.

“Nampakku adik seperti kebingungan. Ada apa rupanya?” tanyanya dalam dialek Melayu.

“Tak ada apa-apa.”

Tahu kalau orang itu datang dari luar kota, Haji Johansyah Kuala berkata: “Begini. Ini, ada can [dari bahasa Inggris chance]. Bisa awak carikan lintah barang dua ember besar?”

“Ah, bisalah, kenapa rupanya?”

“Itu,” katanya menunjuk ke arah apotek yang terletak tak jauh di persimpangan jalan. “Sudah lama apotek itu mencari-cari lintah, bakal obat. Kalau mau, bawalah barang beberapa ember. Jangan lagi awak tanya, bawa sajalah langsung ke situ….”

Percaya. Orang itu cepat-cepat pulang ke kampung. Pergilah dia ke rawa-rawa mencari sarang lintah. Dicemplungkannya kaki sampai sebatas paha, menunggunya beberapa lama, maka bergelayutanlah lintah di kakinya itu. Dia tinggal memungut. Tak sampai setengah hari terkumpullah dua ember besar lintah. Dengan perasaan enteng orang itu menenteng lintah tadi ke kota, dan membawanya ke apotek di persimpangan jalan tadi.

“Hah…?! Pak Haji Johan yang menyuruhku membawa kemari. Hah…?! Haji dia, mana mungkin mambongak [berbohong]. Katanya, sudah lama Bapak mencari-cari lintah,” tangkis orang itu ketika pemilik apotek terduduk karena terperanjat melihat dua ember penuh lintah bergerak mengingsut-ingsut menjijikkan.

Begitu mendengar nama Haji Johansyah Kuala, wajah pemilik apotek cepat berubah dari kaget menjadi senyum yang ditahan. “Kena aku…,” gerutunya dalam hati. Tanpa banyak pikir langsung dia bayar. Orang dari kampung itu pulang dengan kantong yang padat. Sementara si pemilik apotek harus mencari seseorang untuk menyingkirkan ribuan lintah tadi. Satu yang tidak akan dikerjakan pemilik apotek itu, menceritakan pengalamannya kepada orang lain. Tetapi, buat Haji Johansyah Kuala kejadian yang dia rancang itu harus selekas mungkin disampaikan kepada seluruh warga kota. Sorenya, dia mampir ke kedai kopi. Dan seisi kota pun terbahak-bahak dibuatnya.

Lelucon terkadang memakan tuannya. Kami, anak-anak di perguruan Gubahan Islam, suatu hari datang menyampaikan keluhan kepadanya. Pasalnya, guru mengaji kami, Haji Saibun Keramat, terlalu keras. Tangannya tak lepas dari cambuk. Keliru sedikit saja, salah melafalkan H kecil menjadi H besar, misalnya, cambuk rotan itu menyambar lengan atau paha.

“Ah, mudah nya itu. Ambil kalian cambuknya itu, surukkan,” kata Haji Johansyah Kuala enteng.

Kami pulang. Dengan nekat cambuk rotan yang selalu mengancam itu dicuri oleh seorang teman. Teman yang pemberani itu pula yang menyuruk-nyuruk masuk ke toko Haji Johansyah Kuala dan menyembunyikan cambuk di kolong mejanya. Tempat pengajian geger. Haji Saibun Keramat mogok. Berhenti mengajar, tak apa-apa, toh bukan aku yang rugi, aku tak dibayar, katanya dalam hati. Dia hanya mau mengajar lagi kalau cambuk itu dikembalikan. Kami, anak-anak, tak kehilangan akal. Berangkatlah kami ke kedai kopi dan membocorkan kabar kalau cambuk itu disembunyikan Haji Johansyah Kuala di kolong mejanya.

Kota kecil kami terkekeh-kekeh mendengar Haji Johansyah Kuala yang menyembunyikan cambuk rotan Haji Saibun Keramat. Bagi kami, anak-anak di Gubahan Islam, lelucon ini membawa berkah. Entah apa yang dikatakan pedagang kopiah satu-satunya itu. Nyatanya guru mengaji kami sudah tidak mengamang- amangkan cambuknya lagi.

Ayahku juga pernah kena. Dan aku tahu mengapa Haji Johansyah Kuala memilihnya sebagai korban. Ayah memang satu-satunya pedagang yang bisa bersaing dan paling maju, sekalipun di sekelilingnya para pedagang Tionghoa. Tetapi, kedekutnya bukan main. Bergaul, mampir di kedai kopi tak pernah mau. Suatu pagi, ketika aku membuka pintu hendak menyapu, di kaki lima menimbun kangkung, membenteng seperti bukit. Sehingga orang tak bisa lewat. Tertegun sebentar, aku pun tahu ini perbuatan siapa. Untuk pertama kali aku melihat hidung ayah, yang besar seperti hidung Yahudi, memerah, kembang kempis, dengan tawa yang tertahan, membuat dia jadi sosok yang ramah dan murah hati.

“Udahlah, kalau bukan ulah Si Haji Johan, siapa lagi,” katanya dan memerintahkan aku menyingkirkan kangkung itu. Diperlukan enam becak untuk memindahkannya ke pasar. Sesaat, dalam jarak sekitar lima puluh meter, dari balik tiang toko kopiah satu-satunya di kota kami, menyembul separuh wajah. Aku tahu itu pasti Haji Johansyah Kuala yang sedang menikmati skenario yang dia tulis. Dan sebentar lagi kedai kopi akan riuh- rendah dan seluruh kota tertawa.

Seumur hidupnya hanya sekali dia ditimpa duka. Pada akhir tahun 1965 tentara datang mengambilnya dan menahannya beberapa bulan. Tuduhannya: dia menyumbangkan kopiah untuk pementasan teater guna meramaikan ulang tahun Partai Komunis Indonesia. Dalam adegan teater itu tampil Soekarno dan Hatta yang berkopiah, memproklamasikan Indonesia merdeka. Dicekam ketakutan, bertahun-tahun kota kami murung. Diam-diam kami sadari betapa berharganya tawa, hikmah hidup yang diturunkan Tuhan dan dijaga Haji Johansyah Kuala selama berpuluh-puluh tahun dalam hidupnya. Sementara kekuasaan yang lalim membungkamnya.

Jasad Haji Johansyah Kuala dibaringkan di atas lantai kereta jenazah yang terbuat dari sebilah papan lebar, dari batang pohon pilihan, yang ditebang di rimba Nantalu. Empat roda sepeda menjadi alat peluncurnya. Di belakang, mengiringi para pembaca salawat, yaitu orang-orang pilihan, teman-teman dekatnya, yang tahan tidak akan tersenyum, apalagi tertawa sepanjang perjalanan menuju pekuburan. Suasana duka memang terasa menindih. Tetapi, ada perasaan lain yang lebih mengimpit: kehilangan seorang penghibur dengan lelucon-lelucon yang bisa menjadi bahan tertawaan berbulan-bulan lamanya.

Mereka yang pernah jadi korban dalam lelucon-leluconnya bergerombol di bagian tengah prosesi. Di bagian iring-iringan ini suasana duka bercampur gelitik tawa amat terasa. Di antara mereka kulihat bekas guru mengajiku. Juga ayahku, dengan hidungnya yang besar memerah, bibir yang dikulum menahan senyum, supaya jangan sampai pecah menjadi tawa. Sebentar-sebentar mereka saling berbisik, kemudian nyengir. Wajah memerah dikilik kenangan pada lelucon almarhum.

Aku ingat, ribuan penduduk kota mengantar penganjur Islam paling berpengaruh, Haji Hubban Haitami, ketika dia meninggal. Tetapi, untuk kehilangan yang satu ini, tidak hanya ribuan pelayat, jantung kota pun ikut berhenti dibuatnya. Untuk pertama kali orang-orang Tionghoa menutup rumahtoko mereka sebagai tanda duka atas kehilangan seorang haji, yang buat mereka tidak hanya menenteramkan sikap keagamaannya, tetapi juga membuat hidup jadi ria, menjauhkan permusuhan, berkat lelucon yang dipilihnya sebagai dakwah.*

Audiobook

Surat Undangan

21 Library Twenty One
SMPN 21 Purworejo
Putu Oka Sukanta 7 menit, 25 detik

Sekitar jam empat sore mereka mengetuk pintu. Istriku yang menyambutnya. Suara seorang laki-laki aku dengar menanyakan apakah aku ada di rumah. Kudengar juga suara istriku mengatakan, ya aku ada di rumah. Dan suara berikutnya, istriku menyilakan tamu tersebut duduk, sementara istri memberitahukan kedatangannya kepadaku.

Aku pun keluar kamar. Orang yang tak kukenal sudah duduk dan melemparkan senyum kepadaku. Ternyata ia ditemani oleh Pak Marjan, seorang ketua RT dari wilayah yang berbeda. Ketua RT tersebut dikenal sebagai kepala keamanan di tingkat rukun warga. Pak Memet, ketua RT di wilayahku, juga ikut. Tapi ia tidak berbicara.

”Saya mengantarkan karena takut keliru,” kata Pak Marjan.

”Pak Bagus, ini ada surat undangan.” Demikian tamu itu menyodorkan surat ukuran setengah folio, stensilan. Aku membaca surat tersebut.

Aku sudah tahu roh surat itu. Tulisannya sudah tidak begitu penting bagiku sebab tulisan itu bisa berbohong dan mengandung kebohongan yang merupakan watak dari pengundangnya. Aku sudah cukup lama menelan pengalaman memaknai secara lahiriah bentuk dan bunyi huruf yang ternyata sangat berlawanan dengan roh yang menghidupinya.

”Boleh membawa perlengkapan?” tanyaku tenang.

”Tidak usah. Cuma sebentar saja,” jawab tamu itu.

”Kalau begitu, saya ganti baju saja. Tidak sopan pakai pakaian begini.” Aku memakai kaus oblong dan celana panjang yang lusuh, yang warnanya sudah pudar. Tanpa menunggu jawabannya aku pun masuk kamar dan mengganti baju dengan baju tangan panjang, kaus singlet diganti dengan kaus oblong, pakai kaus kaki, celana dalam baru, sapu tangan tidak lupa. Dan semua isi dompet kutinggalkan, kecuali uang beberapa ribu saja. Kartu SIM kutinggalkan, takut hilang di tengah jalan, atau di tempat tujuan.

”Surat ini dibawa?” tanyaku kepada penjemput sambil menunjukkan surat undangan tersebut.

”Ya dibawa sebagai bukti,” jawabnya.

Aku pamitan kepada istri yang sedang menggendong anak kami yang baru berumur empat bulan. Mukanya pucat dan matanya kosong. Aku mencium dahinya.

”Sabar Mam.”

Tamu itu, dan kedua pak RT, berpamitan bersamaan. Sesampai di halaman, ternyata ada tiga orang lainnya. Seorang baru keluar dari mulut gang di tepi rumahku, seorang berada di depan rumah, dan yang seorang lagi datang berlari-lari dari ujung jalan di depan rumah kami. Rupanya ketiga orang lainnya itu memencar. Salah seorang kemudian menghidupkan mesin mobil Kijang dan menyilakan aku duduk di bangku kedua, diapit oleh dua orang dari mereka.

”Ke mana kita Pak?” tanyaku sebab dalam surat undangan itu tidak ada alamatnya.

”Nanti juga tahu,” jawabnya singkat. Aku pun diam sambil mengenali jalan yang sedang ditempuh.

Dengan jawaban itu, tersirat peradaban dan budaya yang dianutnya. Tersirat posisinya dan posisiku, serta posisi perangkat masyarakat yang lainnya. Peradaban dan budaya seperti ini sudah berlangsung puluhan tahun di negeri ini, yang perangkat pemerintahan dan masyarakatnya lengkap. Ada kejaksaan. Ada Mahkamah Agung. Ada polisi. Ada lembaga-lembaga masyarakat yang pretensius membela masyarakat. Ada tumpukan buku perundang-undangan yang nafasnya melindungi masyarakat tetapi di dalam praktiknya memperdayakan masyarakat. Jawaban itu sudah cukup bagiku.

Akhirnya sampailah aku di tujuan. Aku diantarkan ke sebuah ruangan kosong.

”Bagus, tunggu di situ,” kata salah seorang dari mereka yang mengantar.

Dengan sopan aku duduk di sebuah kursi di ruangan yang kosong. Ada tiga meja dan masing-masing meja mempunyai dua kursi saling berhadapan yang dipisahkan oleh mejanya. Pukul 16.35. Jam di dinding juga menunjukkan waktu yang sama. Kudengar suara langkah orang di ruang sebelah. Suara banyak sepatu melangkah. Tapi tidak terdengar suara manusia. Juga tidak ada suara radio atau televisi. Suara mobil di jalanan sesekali terdengar. Suara mobil masuk atau keluar halaman sesekali terdengar juga. Tiba-tiba suara orang tertawa memecah kesepian. Suaranya agak jauh, yang jelas bukan dari kamar sebelah. Lampu yang bergayut dari langit-langit ruangan belum menyala. Detik ke menit, menit ke jam, terus berjalan. Aku tetap duduk. Tidak ada yang datang. Suara sepatu pun sudah tidak terdengar. Juga suara mobil. Juga suara orang tertawa sirna. Kutempelkan sebelah tangan menutup kuping, jari-jari dipukul suara detak jantung dan aku mendengarkannya, berdetak besar dan cepat.

Tak ada suara lain. Sepi mencekam.

Tetapi tidak lama kemudian terdengar suara ramai langkah sepatu. Disusul suara orang memberi perintah mengatur barisan. Disambung suara memberi komando. Kemudian suara sepatu ramai. Aku masih duduk sendiri di ruang kosong. Aku tidak mau melihat jam. Keringat membasahi tubuh. Tidak ada AC juga tidak ada kipas angin yang hidup. Remang malam turun menambah senyap.

Sementara aku duduk sendirian, aku teringat dengan mahasiswa-mahasiswi di Flinders University yang pernah berakrab-akrab dengan aku ketika mengunjungi Adelaide. Aku teringat teman-teman yang menyambutku di Melbourne. Pada malam harinya diadakan pesta di taman. Daun kemerisik kuinjak, bulan sepertinya membukakan kedua tangannya untuk menyambutku dengan pelukan hangat. Langit biru dan angin segar musim gugur. Aku juga teringat dengan peneliti perempuan yang menerimaku di Canberra, mengajakku menginap di rumahnya. Anak perempuannya suka menggesek biola dan aku mendengarkannya dengan tekun. Seorang jurnalis perempuan yang pernah gentayangan di Indonesia menyediakan tumpangan di rumahnya di Sydney. Ketika ia bekerja, aku mengasuh anaknya yang diperoleh dari lelaki Vietnam. Muncul juga wajah-wajah gelap pekak berdaki kaum Harijan, kasta paria tak tersentuh di Madras yang sempat aku ajari akupresur. Aku teringat dengan petani tanpa tanah di Koita di selatan Dhaka, Banglades, yang kukunjungi beberapa hari, untuk latihan teater dan membantu mengobati lututnya yang bengkak dengan akupunktur. Aku teringat kawan dari Singapura yang meringkuk masuk tahanan sesudah pulang dari Banglades, demikian juga seorang pemain teater dari Filipina, yang langsung dijemput di bandara dan tak ketahuan rimbanya. Hidup kembali wajah-wajah teman sekelas yang berasal dari berbagai negeri ketika berada di Berlin. Nonton musik klasik beramai-ramai dan juga ikut merobohkan Tembok Berlin. Pohon-pohon ligir, bulan telanjang dan dingin tengah malam tidak membuat aku kelelahan. Gigil segar menyemangati, yang tak pernah kurasakan di negeri ini. Kebebasan. Terasa jengkelku bangkit kembali terhadap tingkah laku orang di Taiwan dan juga di Hongkong. Aku tidak senang di kedua negeri itu. Aku teringat dengan pengarang tersohor dari Malaysia yang sangat ramah, di Kuala Lumpur mendampingiku membahas bukuku yang tak bisa terbit di tanah air. Tanpa kusadari muncul wajah kawan perempuan di Amsterdam yang memboncengku dengan sepedanya pada malam gerimis untuk mengunjungi seorang temannya ”manusia perahu”. Terbayang etalase perempuan pekerja seks di Hamburg dan Amsterdam, bibirnya senyum tapi mungkin hatinya perih. Banyak lagi yang hidup menyeruak di dalam otakku selama aku menunggu di ruangan kosong yang lampunya belum menyala meskipun remang-remang sudah menyelimuti alam. Mengapa mereka hidup kembali di dalam kesunyianku ini? Mereka hadir menyaksikan, apa yang akan aku jalani di sini? Rasa haus kuobati dengan menelan air liur.

Tiba-tiba seorang laki-laki masuk. Ia menyalakan lampu.

”Selamat malam Pak.” Aku mendahului.

Ia tidak menyahut. Ia menyeret kursi dan duduk di hadapanku. Ia merogoh sesuatu di pinggang dari balik bajunya. Ia meletakkan pistol di atas meja.

”Kalau Pak Bagus mati di sini tak ada artinya,” suaranya tajam menukik bagai bayonet ke jantungku.

Aku mengangguk.

”Di sini tidak ada Pancasila.” Suaranya menggelegar mengagetkan.

Aku mengangguk terlebih karena terkejut.

”Ini Blitz-krieg.” Suaranya lagi. Aku melihat ludahnya yang meleleh di tepi bibirnya sudah berubah menjadi darah.

Aku mengangguk sambil mendoyongkan tubuh ke belakang.

”Apa yang bisa saya bantu?” tanyaku pelan dan sopan, sambil menahan napas. Aku ingat bahasa Inggris, ”What can I do for you?”

”Kamu jangan mengajari aku.” Suaranya menyobek malam sekeras tangannya memukul meja. Aku terperanjat tetapi tetap duduk tenang di kursi. Kupingku mendengar teriakannya seperti gonggong anjing. Mataku yang memandangnya dengan ketakutan melihat tubuhnya yang kekar dengan baju safari warna polos berubah menjadi herder. Giginya tampak memanjang dan mulutnya menyerupai moncong. Aku mengusap mataku. Tapi apa yang kulihat tidak berubah. Suaranya yang terus-menerus terdengar sudah berubah, bukan lagi suara manusia. Aku mengusap kupingku, tetapi tetap yang kudengar gonggong anjing.

”Kenapa ia berubah?” aku bertanya sendiri

Tidak berapa lama terdengar suara langkah sepatu datang. Entah berapa orang, atau berapa ekor, aku tidak tahu lagi.

Sejak malam itu, aku berada di kebun binatang tanpa kerangkeng. Ketika aku tidur, tikus besar-besar berlarian di tubuhku. Terkadang sewaktu terlena ujung jariku digigitnya sehingga tikus dapat mencicipi rasa darahku. Aku bermain silat mengusir nyamuk yang tidak tahu di mana keberadaannya sebab gelap gulita. Kecoak lalu lalang juga di atas tubuhku. Terkadang di tengah malam ada siluman berujud ular-ular mematukku sehingga aku menggeliat-geliat, membuat sesak napas, tersengal-sengal dan batuk tak berkesudahan. Patukan ular itu menyengat dan mengalirkan bisanya ke sekujur tubuhku sehingga aku menggeliat-geliat tanpa kendali. Pada saat bersamaan dengan muncratnya raung dan gonggongan anjing, terasa darahku diisap lintah. Aku tidak bisa lagi membedakan mana anjing, mana ular, mana kecoak, lintah, dan tikus. Mereka muncul terkadang bersamaan, terkadang sendiri-sendiri, menggeledah seluruh organ tubuhku, tulang-belulangku, tengkorak, pancaindraku, sampai ke rambut dan kukuku.

Alhasil, setelah hampir dua minggu, pintu keluar barak itu dibuka. Aku boleh pulang setelah anjing-anjing, tikus dan kecoak, nyamuk, lintah dan semut menggerayangi tubuh, menciumi bau keringatku, ingus, kencing ludah, bahkan mencicipi darahku untuk mencari jejak hantu yang diduga telah menyelusup ke tubuhku, ke organ-organ tubuh dan mengalir di cairan darah, sperma, getah bening, yang telah menjadi kekuatan yang memboyongku, menerbangkanku berkeliling dunia. Perangai, tindak tanduk hantu itu telah melanggar semua tatanan keamanan, dan menerobos lingkaran-lingkaran kawat berduri yang berlapis-lapis di nusantara. Mereka mencari hantu komunis itu pada diriku, tetapi tidak menemukannya. Sebab cucu cicit hantu itu sebagian bersemayam dan tertawa terkekeh-kekeh di dalam batok kepalanya sendiri, sedangkan induknya bertelur terus di dalam sarangnya di Senayan.

Aku melangkah meninggalkan barak kecil itu, masuk dan mengembara di dalam barak yang lebih luas, dengan kawat berduri berlapis-lapis, di tanah airku.

Audiobook

Tarian Terang Bulan

21 Library Twenty One
SMPN 21 Purworejo
S Prasetyo Utomo 6 menit, 54 detik

Tubuh Ratri bergetar turun dari taksi, mengenakan kruk di bawah ketiak tangan kanan. Memandang sejenak bias purnama di atas gedung-gedung kota lama. Bimbang. Termangu. Menggenggam tanganku. Ratri menyatu dengan cahaya bulan yang samar di antara kelelawar yang terbang di atas atap-atap bangunan tanpa penghuni. Bangunan-bangunan tua, gelap, dan tersia-siakan sepanjang musim membuatku terhenyak, terkesima.

Masih seperti sedia kala, kota lama yang ditinggalkan penghuninya diramaikan dengan cericit kelelawar. Perempuan-perempuan berdandan seronok menggoda lelaki lewat. Pedagang berlampu minyak redup di sudut-sudut gang menanti pembeli. Bau lumut lembab di dinding-dinding bangunan tua yang mengelupas tajam menyengat. Aku tersekap ke masa silam yang tertimbun berbagai kenangan. Di antara perempuan-perempuan yang turun dari mobil beraroma harum dengan ketenangan yang memantul dari wajah mereka, Ratri tetaplah wanita yang menjadi pusat perhatian karena kehalusan pancaran wajahnya. Ia serupa cermin yang menyimpan purnama. Beribu-ribu purnama yang pernah singgah di kota lama terpendam dalam wajahnya.

“Mestinya aku menari mengiringi resital piano malam ini,” kata Ratri, yang wajahnya memancarkan keteduhan bulan. Kulitnya bening, rambutnya lurus sebahu, menyempurnakan kecantikan wajahnya-sebagai wanita yang lahir pada tengah malam purnama.

Aku kehilangan kesanggupan untuk menghiburnya.

“Lama aku mempersiapkan diri untuk bisa mencapai pentas hari ini,” kata Ratri, “sampai datang malapetaka itu, pesawat yang kutumpangi tergelincir di bandara, kaki kananku remuk dan mesti diamputasi.”

“Barangkali kau akan menemukan cara untuk tetap menjadi penari,” balasku.

Ratri menyembunyikan kegelisahan yang mahadahsyat di balik wajah lembutnya, wajah yang memendam senyum bibir merah menyala. Rambutnya lurus sebahu, disusupi cahaya bulan.

Kami memasuki ruang pertunjukan. Cahaya serupa pancaran purnama menerangi piano di tengah panggung. Sang pianis setengah baya yang sempurna ketampanannya berdiri, membungkuk hormat, menanti tepuk tangan mereda. Panggung dalam kesunyian yang agung. Sang pianis tersenyum, berlinang air mata. “Saudara-saudara sekalian, di malam terang bulan ini, mestinya saya tak bermain piano sendiri di sini. Mestinya saya ditemani seorang penari kenamaan kita, Ratri Purnamasidhi Dewi. Tapi sayang, sebuah kecelakaan pesawat terbang telah menyebabkan kaki kanannya mesti diamputasi. Saya persembahkan resital piano ini padanya sebagai rasa simpati yang mahadalam.”

Ratri berdiri, dengan kruk di bawah ketiak tangan kanannya, membungkuk hormat pada penonton, yang memandanginya dalam sunyi, dalam kegagapan.

“Saya berharap, suatu saat, pada terang bulan macam ini, di gedung pertunjukan ini, bisa bersamanya untuk menuntaskan harapan pentas yang urung malam ini!” Sang pianis itu mengusap lelehan di sudut matanya. “Hadirin sekalian, terimalah persembahan saya yang pertama!”

Cahaya yang menerangi gedung pertunjukan padam. Tinggal redup lampu yang terpusat di tengah panggung, terpusat pada piano dan sang pianis. Dengan mata terpejam, pianis itu memperdengarkan alunan musik yang menyihir hadirin di gedung pertunjukan kota lama. Ratri menikmati alunan musik itu dengan tubuh yang tertahan. Lama-kelamaan, ia tampak menahan penderitaan yang munculnya dari dalam dirinya. Aku menyaksikan kelembutan wajah yang tersiksa.

DI luar gedung pertunjukan, usai semua penonton menyalami sang pianis, Ratri mengasingkan diri, menyepi, dan menghindar bertegur sapa dengan banyak orang. Aku mengikutinya dan berharap ia akan mengadukan kesedihan hatinya. Tapi ia berhenti melangkah.

“Biarkan aku sendirian. Aku ingin berjalan-jalan,” pinta Ratri.

“Apa kau memang tak lagi perlu teman?”

“Bahkan suami pun tak kuperlukan kehadirannya saat ini. Aku benar-benar ingin sendiri.”

“Apa kau tak ingin menemaniku minum?”

Tersentak, dia mempertimbangkan permintaanku. Aku tahu, dia sulit menolak ajakanku. Apalagi terang bulan begini, berbagi cerita di sebuah warung minum kesukaan kami, sambil berbincang-bincang, dia bisa larut dan suntuk. Dan purnama baginya membawa kenangan masa kecil ketika kami masih suka bermain petak umpet. Pada saat aku bersembunyi di balik semak belukar tanpa sengaja melihat Ratri kencing persis di depanku. Tubuhku yang bersembunyi di balik perdu bisa mengawasinya dengan sangat dekat. Bulan berkilauan di atas semak-semak dan perdu saat itu. Mendengar aku tertawa tertahan, dia menyergapku dengan seruan marah, “Kurang ajar! Kamu melihatku sedang pipis! Kelak kamu harus menjadi suamiku!” Tapi dia sendiri, yang ketika tumbuh dewasa menjadi seorang penari cantik, memilih Andre sebagai suaminya dan berpamitan padaku, “Aku tak mungkin menikah dengan lelaki lain, kecuali dengan Andre.”

Saat dia memutuskan untuk menikah dengan Andre, kami duduk berhadapan di sebuah warung minum kesukaan kami dalam lembut cahaya bulan purnama. Dia tampak sangat serius saat itu dan aku menertawakannya. Tak tega aku mengungkit-ungkit janjinya di masa kecil, yang diucapkannya dengan merengek hampir menangis.

Hati seseorang tak pernah tetap. Ratri tentu tak pernah memancangkan hatinya pada suatu janji masa kecil, sementara keinginannya ketika dewasa mengalami perubahan. Juga saat ini, ketika ia menolak permintaanku untuk bersantai di warung minum kesukaan kami, aku mesti menghormatinya. Ia naik taksi yang tadi membawanya ke gedung pertunjukan kota lama ini.

Rembulan pudar saat tengah malam ketika gedung pertunjukan telah menjadi sepi dan kota lama kembali pada kesunyiannya yang merapuh. Kelelawar-kelelawar makin banyak berseliweran di atap-atap gedung tanpa penghuni. Perempuan-perempuan penghibur, dengan bedak tebal, dengan langkah penuh godaan dan penantian yang letih, masih berlenggang di jalan-jalan kota lama.

Andre menghentikan mobilnya, menghampiriku. Wajahnya pucat berembun, menampakkan kecemasan.

“Kamu bertemu Ratri?”

“Dia sudah lama meninggalkan gedung pertunjukan,” balasku. Lampu gedung pertunjukan di kota lama ini dipadamkan. Pintu gedung yang tinggi dan tebal ditutup. Dikunci dari luar. Sama sekali tak menyisakan kesan baru saja digunakan sebagai tempat pertunjukan resital piano yang mahadahsyat.

“Mestinya aku tak melepaskannya pergi sendiri. Dia sangat menderita kehilangan sebagian kaki kanannya yang indah,” gumam Andre. Ditinggalkannya aku begitu saja dengan langkah limbung, langkah pencarian yang sia-sia. Tampak dia sangat letih dan gusar.

Sebuah rumah tua, tak terawat, di sebuah desa di lereng pegunungan-milik almarhum kakek Ratri-hampir-hampir tanpa cahaya. Hanya ada sebuah ruangan yang terang benderang meski hari menjelang dini hari. Ada bayangan perempuan di dalamnya. Di depannya sebuah kanvas, di tangan kanannya kuas, dan di tangan kirinya lempeng palet berisi cairan cat minyak. Ia terus melukis. Aku tahu, pasti Ratri sedang melukis. Pada masa kecil dulu, dia paling senang menari. Di mana pun ia selalu menggerakkan tangan, kaki, dan lehernya untuk menari. Dalam sepi ia suka melukis, dan biasanya melukiskan wajahnya dalam kesedihan, gambar dirinya sendiri, yang berperangai murung, marah, atau menangis. Apakah kali ini ia juga melukis kesedihannya yang mengerak sampai ke dasar hati?

Aku tak tahu, apakah ia akan marah, menangis, atau mengusirku. Sunyi pelataran rumahnya menggetarkan. Sunyi ketukan pintu mendebarkan. Tetap saja rapat setangkup pintu kusam tua di hadapanku. Ratri tak berkenan membukakan pintu itu untukku. Berada di pelataran, aku memandangi sebuah rumah tua yang tak terawat, kotor, kusam, dengan dinding mengelupas, dan kerisik sayap kelelawar mencari tempat bergantung di bawah lajur kayu usuk, menyungkup Ratri.

Dari jendela yang terbuka menjelang dini hari, ia seperti menyerahkan peristiwa dalam rumah tua itu pada cahaya bulan dan alam. Aku mendekati jendela yang terbuka itu. Dia melenyapkan diri dalam sapuan kuas dalam kanvasnya, seperti mencari dirinya sendiri di masa silam. Dia melukis dirinya sendiri dalam kecantikan, kemolekan, pancaran gairah menari. Kakinya ramping, singsat, kukuh, dan lincah.

Di depan jendela aku memandangi Ratri. Ia berada di sebuah ruang yang dipenuhi dengan lukisan-lukisan dirinya, dalam kecantikan mahasempurna. Tanpa cela. Tanpa cacat. Ia menjelma: bidadari, seorang dewi, atau seorang putri yang mengundang dambaan pangeran tampan dermawan.

“Aku tak mengundangmu kemari,” kata Ratri, ketus.

“Aku pun tak ingin kemari. Aku hanya ingin memberitahukanmu, Andre mencarimu.”

Tak ada keinginan Ratri untuk mengundangku ke dalam rumahnya. Dia membiarkanku tetap berdiri di bawah jendela, terpisah tembok tua dengannya. Aku memandanginya dari jendela yang aus termakan rayap. Ia terus melukis dan tak mau kehilangan goresan kuasnya.

“Dia berpura-pura kehilanganku,” tukas Ratri, seperti ingin mengejek. “Telah lama ia ingin menceraikanku. Telah lama ia ingin menyingkirkanku dari kehidupannya. Kalau ia memang mencemaskan kepergianku, tentu akan menyusulku kemari. Aku yakin, dia tak ke mana pun, kecuali berpura-pura mencariku. Pada akhirnya aku harus merelakan Andre, seperti aku merelakan kaki kananku terpotong.”

Suara Ratri terluka, dalam, dan tak terselubung kerahasiaan. Dia kehilangan pandangan yang merajuk seperti pada masa menjelang remaja dulu saat kami sering menghabiskan waktu untuk bermain bersama di pelataran di balik semak belukar di kebun. Aku tak tega membiarkan Ratri sendirian. Tapi aku mesti meninggalkannya. Bagaimanapun aku tak ingin dia terus-menerus meradang dalam luka, mimpi, dan dendam masa lalunya. Aku melihat begitu banyak lukisan seorang putri yang menari dalam cahaya bulan dengan kesempurnaan kaki yang lincah dan mulus.

Menjelang dini hari, rembulan pudar, udara merembeskan embun. Aku berpamitan pada Ratri, tanpa menoleh lagi, dan mendengar isak tangis yang tertahan, tersengal-sengal. Aku tak ingin berpaling, menoleh, apalagi kembali menghampirinya. Lain kali barangkali akan kukunjungi Ratri ketika luka hatinya sudah sembuh dan penyerahannya pada dunia tak dilapisi dendam. Di gedung pertunjukan kota lama, ia bisa memamerkan lukisan-lukisannya, pada saat terang purnama bulan-bulan mendatang.

Sebelum aku benar-benar menjauhi jendela kamar yang terbentang menyambut purnama, kudengar percakapan Ratri dengan seorang lelaki. Tanpa menoleh, aku tahu pasti, itu suara sang pianis. Terdengar merajuk dan menenteramkan.*

Pandana Merdeka, Desember 2004

Audiobook

Sesuatu Telah Pecah di Senja Itu

21 Library Twenty One
SMPN 21 Purworejo
Puthut EA 11 menit, 33 detik

Mendadak semuanya menjadi begitu penting. Caranya menyingkirkan dengan sabar duri-duri ikan di piringku, suaranya ketika melantunkan doa, wajahnya ketika diam memikirkan sesuatu. Ah, ia selalu seperti itu. Sama dalam hal berpikir atau marah: diam. Dengan arah mata ke bawah tertuju pada pucuk hidungnya dan kedua tangannya bertemu di mulut, seperti tengah membungkam suara. Suatu saat ketika aku tanya mengapa, jawabnya, “Keduanya sama, jangan tergesa-gesa supaya tidak ada yang terluka.”

Mendadak semuanya menjadi tidak sederhana. Ia menyetrika sendiri pakaiannya, ia juga sering memasak makanan untuk kami: dirinya, aku, dan Ratri, anak kami yang masih bayi. Seingatku, ia tidak pernah marah dan bahkan bersuara keras padaku. Ia selalu bisa menunda, dan membicarakannya dengan nada sareh di lain waktu. Suatu saat ketika aku tanya mengapa, jawabnya, “Kanjeng Nabi tidak pernah bersuara keras pada istrinya.”

Aku bisa mengingat dengan jelas bahkan, ketika kami berdua baru melangsungkan pernikahan yang sederhana, waktu itu aku sedang haid. Sambil menunggu aku selesai dari rutinitas perempuan itu, ia menemaniku dengan cara mutih, hanya makan nasi dan minum air putih. Hingga tiba saat kami melakukan hubungan saresmi, laku seksual suami-istri, ia mengajakku menundukkan kepala, berdoa. Ketika aku sudah mulai menampakkan tanda-tanda kehamilan, semenjak itu ia melakukan puasa Daud, sehari puasa, sehari tidak puasa, sampai Ratri lahir. Hampir sembilan bulan ia melakukannya. Saat aku tanya mengapa, jawabnya, “Hanya ini yang bisa kulakukan sebagai seorang calon bapak.”

Tapi tidak tepat benar kalimat itu. Ketika aku nyidham, aku menginginkan ikan kali hasil pancingannya. Waktu itu, malam menjelang pagi, ia dengan semangat berangkat berbekal senter, golok, dan garan pancing. Pagi ketika aku bangun, ia sudah ada di dapur memasak ikan hasil pancingannya, menghidangkannya untukku, dan sebagaimana biasa, menyisihkan duri-duri ikan di piringku agar aku tidak kesulitan memakannya. Ketika kandunganku mulai membesar, ia sering mengusap kandunganku sambil nembang lagu-lagu tentang kebajikan. Ketika aku tanya mengapa, jawabnya, “Ia sudah bernyawa dan bisa merasa.”

Dan aku tidak akan melupakan peristiwa yang ini. Waktu itu kandunganku sudah sangat tua. Soekarno datang ke daerah kami untuk kembali meneguhkan perlunya mengganyang Malaysia. Aku dan suamiku yang merasa sebagai anak kandung revolusi datang juga. Sebagai seorang aktivis politik yang disegani di wilayahku, seharusnya suamiku ada di jajaran kursi depan. Tapi ia menolak. Kalau tidak karena aku hamil tua, tentu ia sudah memilih untuk berdiri di tanah lapang bersama ribuan orang yang lain. Akhirnya kami duduk di kursi deretan belakang. Ketika acara bubar, dan kami hendak beranjak pulang, seseorang menghampiri suamiku, ia bertanya mengapa aku dan suamiku tidak meminta nama untuk calon bayiku pada Bung Karno? Dengan pandangan mata berbinar ke arahku, suamiku menjawab, “Istriku yang lebih berhak memberi nama anak kami. Ia yang merasakan penderitaan orang mengandung.”

Aku memberi nama anakku Wangi Ratri. Malam di saat aku melahirkan, dalam impitan pedih, dalam samar-samar wajah suamiku yang mencoba ikut menguatkanku, aku mencium bau wangi. Sangat wangi.

Aku hanya punya satu malam dalam hidupku. Malam penuh hujan di akhir tahun. Suamiku, dengan linang air mata, memeluk erat. Ia tidak mampu mengatakan sepatah kata pun. Tapi gigil tubuhnya dan kabar-kabar di luar memberiku isyarat kuat. Hujan turun di malam kepergian suamiku. Dengan masih membopong Ratri aku menutup pintu. Hujan turun menderas di dadaku. Tapi tidak di mataku. Tidak akan kubiarkan air mataku jatuh di wajah bayiku. Aku tidak ingin menularkan kecengengan pada kuncup kehidupan.

Semenjak kepergian suamiku, hari-hariku adalah hari-hari penuh waswas dan ketakutan. Di mana-mana aku mendengar kabar dan desas-desus yang membuat merinding. Rumah-rumah dibakar, penculikan, pembunuhan yang dilakukan ramai-ramai. Pada pagi buta kuputuskan pergi pulang ke rumah orangtuaku. Di sana kekhawatiran bukannya mereda. Semakin banyak orang yang mati dan semakin banyak kudengar nama-nama orang yang kukenal mati. Aku masih menahan semuanya, dan berharap tidak mendengar nama suamiku disebut dalam kabar-kabar buruk itu.

Hingga kemudian di pagi buta, aku dibangunkan oleh bapakku. Dengan segera kubopong Ratri menuju ruang tamu. Aku berpikir, kalaupun toh aku harus mati, aku ingin mati di depan bayiku. Kalaupun toh aku harus ’diambil’, aku ingin anakku bisa menyaksikan dengan mata timurnya, aku, ibunya, tidak pergi dengan tetesan air mata.

Di ruang tengah aku hanya melihat ibuku, pamanku, dan seseorang yang datang adalah Pono, teman dekat suamiku. Di depanku dan di depan orangtuaku, dengan suara pelan, Pono mengatakan pesan suamiku. Melalui Pono, dapat kutangkap dengan gamblang pesan itu. Suamiku berpesan supaya aku tidak berharap ia pulang, dan ia meminta agar aku bisa menyelamatkan hidupku dan hidup anakku. Suamiku bahkan menyarankan agar aku menikah kembali dengan seorang sahabatnya untuk bertahan dari situasi yang sangat sulit. Sebelum Pono pergi, aku masih sempat menghentikan langkahnya di depan pintu, aku menanyakan kejujurannya tentang nasib suamiku, apakah ia tidak akan selamat? Pono menggeleng kemudian bergegas pergi, menghilang. Aku merasa hidupku ambruk saat itu, tapi air mataku tidak jatuh.

Aku dan suamiku adalah orang biasa. Bagian dari masyarakat yang saat itu dibakar oleh semangat revolusi yang belum selesai. Suamiku hanya seorang guru yang sederhana dan dikenal baik oleh masyarakat. Ia berteman dan bersahabat dengan banyak orang yang bahkan berbeda pemikiran. Rumah kami, hampir tiap malam, menjadi tempat pertemuan baik untuk kepentingan organisasi yang diikuti oleh suamiku, maupun untuk pertemuan dengan teman-temannya yang lain. Di rumah kami yang sederhana, sering datang seorang mantri suntik yang sangat baik dan seorang seniman yang juga sangat baik serta halus budi bahasanya. Mereka berdua adalah orang-orang yang satu organisasi dengan suamiku. Pak Mawardi, mantri suntik itu, kudengar mati dibakar massa di rumahnya, rumah yang sering dipakai untuk menolong orang sakit tanpa pamrih. Sedangkan Sunardi, seniman yang pintar menari, yang wajahnya sangat ayu dengan kebaikan dan kehalusan hatinya, konon ditemukan tanpa kepala di sebuah parit tidak jauh dari rumah kami dulu.

Aku sungguh tidak tahu mengapa ada pembunuhan demi pembunuhan. Ketakutan ada di mana-mana. Semua orang seperti punya taring, semua udara seperti bertelinga. Banyak orang hilang tanpa sebab. Desas-desus terus membadai. Malam-malam semakin terasa mengeras. Aku mulai mendengar desas-desus tentang kematian banyak perempuan. Aku mulai mendengar banyak perempuan yang diambil menyusul suaminya. Cerita-cerita itu, duh….juga dilengkapi dengan perlakuan-perlakuan keji. Bu Marni boleh mengirim makanan untuk suaminya setelah ’digilir’ para petugas. Seminggu kemudian suaminya mati karena kelaparan dan siksaan di penjara. Mbak Rukmi menjual semua hartanya untuk ’membayar’ agar suaminya keluar. Uang diterima petugas. Beberapa hari kemudian, ia baru tahu suaminya sudah lenyap dari penjara itu.

Aku semakin waswas dengan keadaan diriku, terutama Ratri. Di masa-masa seperti itu, nyawa begitu tidak berguna. Kehidupan sudah bukan lagi sesuatu yang patut dihormati dan dihayati. Setiap orang bisa hilang dan mati kapan saja. Ia bisa mati hanya karena pernah datang di suatu rapat. Ia bisa mati hanya karena pernah bergaul dengan orang yang dianggap berbahaya. Ia bahkan bisa mati hanya karena sebuah suara dan telunjuk yang secara ngawur diarahkan padanya, entah dari sudut gelap yang mana. Berbulan-bulan aku menanggungnya. Pada malam-malam itu aku selalu menunggu dan berharap semoga malam itu bukan malam terakhirku.

Hingga kemudian Rahmat datang. Ia datang dengan wajah serba salah dan masygul. Rahmat adalah sahabat suamiku dan sahabat Pono. Mereka bertiga berbeda organisasi politik, tetapi menjalin persahabatan dengan baik. Rahmat anak seorang kiai yang cukup ternama di kecamatan lain. Orangtuanya adalah kenalan baik suamiku dan teman baik bapakku.

Dengan ditemani kedua orangtuaku, aku menemui Rahmat. Dengan suara pelan, Rahmat menceritakan pertemuannya dengan Pono beberapa bulan yang lalu. Pono membawa amanat dari mendiang suamiku agar Rahmat bersedia menikahiku. “Saya tidak tahu harus bagaimana Mbakyu. Tapi apa pun keputusan Mbakyu, saya manut.” Dan aku melihat air mata Rahmat menggenangi kedua matanya. Mata sahabat suamiku yang santun dan saleh.

Sebelum itu semua terjadi, aku sudah memikirkannya. Mencoba memikirkan dengan jernih. Situasi tidak kunjung membaik. Aku hidup tanpa suami dan dalam kondisi yang memprihatinkan. Aku butuh suatu pegangan, setidaknya lepas dari impitan ketakutan, rasa waswas, dan nasib yang tidak menentu. Aku juga memikirkan Ratri.

Tetapi ketika aku hendak memutuskan, semuanya kembali sebagai sesuatu yang sangat sulit. Duh, Gusti, mengapa pisau uji-Mu begitu landhep, begitu tajam memangkas dan memotong seluruh kehidupanku. “Wuk Cah Ayu, kadang kala banyak jalan hidup yang tidak bisa kita pahami. Hidup ini bukanlah sesuatu yang bisa kita pilih. Ini bukan masalah senang dan tidak senang. Tapi putuskanlah. Sebab hidup ini adalah sebuah keputusan. Juga mungkin yang berhubungan dengan katresnan. Kamu tidak sedang berhadapan dengan kehidupan yang sewajarnya. Kamu berhadapan dengan dunia binatang.” Bapakku dengan suara groyok, seperti menahan tangis, mencoba memberi saran.

Aku mengangguk. Demi hidup ini sendiri. Demi Ratri.

Tahun-tahun awal pernikahanku dengan Rahmat adalah tahun-tahun yang paling sulit kupahami. Semua serba canggung, di antara segala pernik kehidupan sehari-hari, dan kesedihan yang sering menyelinap berkali-kali. Seluruh hal-hal kecil yang dulu kuanggap biasa tiba-tiba menjadi penting. Satu kejadian kecil tiba-tiba seperti membuka kotak ingatanku. Langkah kaki, suara orang bercakap-cakap, derit pintu, terutama jika hujan turun.

Bertahun-tahun aku hanya bisa diam dengan hati yang sering teriris hanya karena ada ikan kali di meja makan. Rahmat bertindak dengan bijak, ia tidak pernah mengail ikan dan tidak pernah makan ikan kali. Bertahun-tahun aku tidak bisa menyangkal suara-suara yang keluar dari mulut Ratri, suara anak kecil yang renyah tiba-tiba bisa menggaungkan banyak kalimat yang diucapkan oleh bekas suamiku. Dan bertahun-tahun itu pula, Rahmat tidak pernah menagih untuk melakukan hubungan suami-istri. Ia sabar, banyak melayaniku, dan mungkin jauh di perasaannya, aku tetap istri sahabat yang dihormatinya.

Berkali-kali pula aku meminta maaf pada Rahmat, mengaku berdosa sebab aku merasa sedang tidak berbuat adil. Tapi ia tetap dengan kesabarannya yang khas, merasa sangat mengerti apa yang aku rasakan. Menurutnya, lebih baik aku tidak berusaha melupakan semua itu. Aku harus menerimanya, menerima seluruh hal termasuk kenangan-kenangan yang sulit dilupakan. Sebab tanpa itu semua, aku tidak pernah sampai pada kehidupanku yang sekarang ini. Aku tumbuh bersama seluruh peristiwa dan kenangan. Semua itu sah sebagai bagian dalam hidupku.

Dan aku mencoba menerimanya. Menerima keadaanku, menyadari bahwa semua itu pernah kulalui, dan itu penting dalam hidupku. Aku mulai menerima bahwa mendiang suamiku sudah tidak ada lagi. Aku harus menjalani kehidupanku selanjutnya. Dan aku tak hendak membuang seluruh peristiwa bersama mendiang suamiku dari kenanganku. Tapi tentu aku tidak akan melupakan mengapa peristiwa sedih itu menimpaku. Aku tidak tahu dosa dan kesalahanku, aku tidak tahu dosa dan kesalahan mendiang suamiku. Seluruh peristiwa yang membuatnya pergi dariku tidak akan kulupakan dan tidak akan kumaafkan. Aku bukan memendam dendam, aku hanya tidak memaafkan.

Apa kesalahannya? Bukankah ia hanya seorang guru yang sederhana? Bukankah ia bermasyarakat dengan baik? Ia tidak pernah melakukan kejahatan. Ia bukan pencuri, bukan perampok. Hampir di seluruh hidupnya bahkan digunakan buat kebaikan dan memikirkan orang lain. Apa yang salah dari mendiang suamiku, juga Mantri Mawardi, dan Sunardi?

Setiap kali rasa marah itu memuncak, Rahmat selalu berusaha menenangkanku. Ia mencoba menuntunku untuk berdamai dengan masa lalu. “Percaya saja hukuman itu akan datang, entah kapan dan datang dari mana. Tapi kalau kamu tidak mencoba berdamai dengan masa lalumu, kamu akan rugi. Semua itu hanya akan membuat mereka terus berteriak menyoraki kehidupanmu. Untuk yang seperti itu, aku tidak akan merelakannya.” Sambil berkata seperti itu, Rahmat menatap tajam pada mataku. Saat itu. Untuk kali pertama, aku memeluknya, erat. Sangat erat.

Pada akhirnya, aku bisa menerima itu semua. Bukan hanya tentang mendiang suamiku. Tapi aku menerima Rahmat sebagai seseorang yang kupunyai dan kucintai. Jika hidup itu sendiri adalah sebuah keputusan: diterima atau tidak, dilanjukan atau diakhiri. Cinta tidak lebih dari itu semua. Mencintai pada akhirnya adalah sebuah keputusan. Dan karena sebuah keputusan, maka berbagai pertimbangan sah menjadi landasannya. Pada akhirnya, toh cinta, sebagaimana banyak hal yang lain: tidak turun dari langit yang gaib. Ia, cinta, hanya bisa diputuskan dan dikerjakan.

Anak keduaku lahir. Seorang perempuan cantik, namanya Laila. Ia juga lahir di malam hari. Kelahirannya membuatku semakin yakin dengan jalan hidup yang kutempuh. Kini ada semakin banyak anak-anak harapan yang bisa kukerjakan. Kami bahagia.

Lalu datang senja itu. Beberapa hari sebelumnya, aku merasa ada yang aneh dengan diriku. Aku sering merasa tiba-tiba ada yang mengagetkanku. Aku merasa tiba-tiba ada mendiang suamiku di dekatku. Aku merasa tiba-tiba sering kosong, mengerjakan sesuatu tanpa kesadaran.

Hingga benar-benar datang senja itu. Awalnya, Laila yang baru saja pulang dari sekolah sore, memanggilku di dapur, katanya ada tamu. Aku bergegas ke depan, tapi aku tidak mendapati apa-apa. Laila juga bingung. Aku nratab, deg-degan tak karuan, entah kenapa. Lalu aku kembali masuk ke dalam, mencoba mempersiapkan masakan di meja makan dengan perasaan tidak menentu. Laila lalu masuk lagi ke dapur untuk mengabarkan bahwa ada tamu, tamu yang tadi. Dengan cepat aku keluar. Kali ini, aku benar-benar kaget.

Duh Gusti, Pono! Ia berdiri mematung di depan pintu. Sejenak menatapku, lalu menundukkan kepala. Aku segera menggandengnya untuk masuk ke dalam. Aku membuatkannya teh hangat, tapi perasaanku semakin tidak karuan. Sehabis mempersilakannya minum, pandangku kembali terhenti di depan sosok yang sudah belasan tahun tidak hadir dalam hidupku. Ia jauh lebih tua dari usia seharusnya. Tapi aku memakluminya. Hidup yang kejam tentu telah dilaluinya. Ia lebih banyak diam. Setiap kali aku bertanya tentang kabarnya, ia hanya menjawab singkat dengan kata-kata yang tidak jelas. Dan aku mencoba memakluminya. Hidup yang kejam membuatnya tidak gampang mengeluarkan kata-kata. Ia lebih banyak melihat ruang tamu, perkakas yang ada di sana, potret-potret di dinding. Ia seperti ingin menanyakan sesuatu, aku menangkapnya sebagai pertanyaan terhadap Laila. “Ia anak keduaku dengan Rahmat. Namanya Laila. Ratri, kakak Laila, sedang pergi dengan suamiku ke rumah neneknya. Tapi ia pasti pulang malam ini. Kamu harus menunggu mereka.”

Pono diam. Tiba-tiba ia menggeleng cepat. “Tidak, aku harus cepat pulang.”

Aku agak terkejut dengan jawabannya. Aku merasa ada sesuatu yang hendak dikatakan padaku. Jangan-jangan…..Ah, tapi tidak. Mendiang suamiku sudah pergi. Semoga arwahnya tenang di sisi Gusti Allah.

Pono bangkit. Dan aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku hanya bisa mengantarnya sampai pintu. Beberapa langkah dari pintu, Pono kembali menengok. Ia seperti ingin mengatakan sesuatu. Tapi kemudian tetap urung. Ia kembali melangkah pergi. Tanpa kata-kata. Ketika sampai di luar pagar rumah, Pono kembali menengok ke belakang, ke arahku. Benar. Aku sangat yakin ada sesuatu yang ingin dikatakannya. Agak lama ia terdiam. Dan ia benar-benar melangkah pergi. Senja membuatnya menjadi bayang-bayang, mengabur, lalu lenyap.

Sebuah kepastian menyergapku kuat. Mendiang suamiku belum meninggal dunia! Dalam ragu, dan rasa tak tentu, aku melangkah keluar pintu rumah. Sampai di pelataran rumah, aku terhenti. Ada sesuatu yang membuatku berhenti mengejar Pono. Aku seperti berada pada satu perbatasan. Batas yang sangat rumit. Dadaku sesak. Senja menggelap di pelataran. Aku terguncang. Tangisku pecah di pelataran. *

Audiobook

Warga Kota Kacang Goreng

21 Library Twenty One
SMPN 21 Purworejo
Adek Alwi 7 menit, 59 detik

Kota kami terletak di dataran tinggi di lereng Gunung Singgalang. Karena itu, hujan dan kabut di sana seolah-olah turun sesukanya. Kadang-kadang pagi, siang, petang atau malam hari. Adakalanya juga dari pagi sampai malam, ataupun sebaliknya-bahkan ketika kemarau mungkin sedang meretak-retakkan tanah di kotamu.

Tetapi, karena sejak muncrat ke dunia sudah bergaul dengan cuaca serupa itu, warga kota tak mengumpat ketika kabut mendadak turun dari bukit dan gunung, atau hujan tiba-tiba menderap laksana suara kaki belasan ekor kuda. Paling-paling orang hanya bergumam, seperti menghadapi anak yang nakal: “Ha, sudah turun pula si kaki seribu!” Lalu mereka kembangkan payung, melenggang tenang-tenang di atas trotoar sambil bersiul, bercakap-cakap, atau makan kacang goreng.

Betul. Berbagai pemandangan ganjil-lucu yang tidak bersua di tempat lain bisa kau temukan di kota kami kalau Anda suatu ketika berkunjung ke sana. Meski cuaca cerah, orang-orang di jalan-jalan kau lihat membawa payung atau mempertongkatnya, mirip dengan warga kota-kota besar Eropa pada masa lalu. Dengan tongkat-payung itu pula mereka saling melambai dan menyapa. “Hoi, apa kabar! Baik? Singgahlah dulu!”

Tetapi, jangan pula payung, sedang jas pun (yang dikukuhkan sebagai pakaian resmi sebab konon menimbulkan kesan “lain” bagi yang memakai juga yang melihat), bukan suatu yang istimewa di kota kami. Di mana-mana kau bisa saksikan kaum pria memakai jas. Tidak kecuali para kusir bendi dan tukang kacang goreng yang duduk mencangkung di pojok-pojok jalan dalam kabut, di belakang lampu semprong mereka yang temaram.

Dan, kalau kau tinggal lebih lama di kota kami, akan ahli pula kau menerka usia perkawinan seseorang hanya dengan melihat jas yang dia pakai. Karena, walau kerap membungkus tubuh mereka dengan jas, tapi jarang sekali pria kota kami membuat jas dua kali dalam hidupnya. Kecuali, ya, kecuali lelaki-lelaki gatal atau yang punya istri lagi. Itu pula sebabnya anak- anak muda kota kami lebih suka pakai jaket daripada jas, betapapun elok bahan dan potongan jas itu-untuk menghindarkan salah tafsir.

Hal lain yang bakal membuatmu terheran-heran adalah tukang kacang goreng. Ya, di kota kami hampir tak dikenal orang istilah pedagang, meski aktivitas seseorang berjualan, berniaga. Tukang kerupuk tak selalu berarti orang yang membuat kerupuk, tetapi juga penjual kerupuk. Begitupun tukang sate, tukang serabi, tukang serbat, tukang rokok, tukang emas, dan seterusnya. Tidak jelas mengapa demikian. Aku juga tidak bermaksud membahasnya. Biarlah masalah ini bagian ahli bahasa, juga sosiolog. Aku hanya ingin bercerita tentang mereka, tukang kacang goreng dan penggemar makanan ringan itu.

Sekalipun kota kecil, tukang kacang goreng amat banyak di kota kami, seakan-akan sebagian besar orang terpanggil lahir karena bakat itu. Mereka dapat ditemukan di mana-mana sejak pukul lima petang hingga tengah malam, beberapa waktu setelah bubar bioskop. Mereka mangkal di emper-emper toko, tikungan-tikungan jalan, muka perkantoran-perkantoran, depan asrama tentara dan polisi, di muka rumah sakit, juga di depan gerbang-gerbang jalan menuju surau dan masjid.

Tukang-tukang kacang goreng itu pakai jas, duduk berkelumun sarung atau melekat ke karung goni kacang goreng mereka yang hangat. Lampu-lampu semprong mereka dari jauh mirip bintang-bintang di langit, kedap kedip di balik tirai kabut dan gerimis. Empat atau lima orang di antaranya juga mangkal di muka dua bioskop yang ada di kota kami. Berjajar agak berjauh-jauhan di bawah papan reklame film, tidak saling tertawa layaknya pasangan suami istri dilanda perang dingin.

Tentu ada hubungan erat antara tukang kacang goreng yang sangat banyak itu dan iklim kota kami yang dingin, serta kegemaran orang memakan kacang goreng. Tetapi, apakah itu yang menyebabkan warga kota kami subur-subur, perlu penelitian. Lagi pula, meski lazim satu keluarga punya anak sembilan, sepuluh atau selusin, kota kami tidak pernah sesak karenanya. Anak-anak muda segera berangkat melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi atau bekerja di kota lain dan wesel-wesel mereka berlayangan di awal-awal bulan memenuhi kantor pos. Pada hari raya dan libur-libur panjang, pengirim-pengirim wesel yang rajin itu-yang sebagian di antaranya tumbuh berkat uang kacang goreng-berlayangan ke kampung halaman menjumpai orangtua dan sanak keluarga. Saat-saat itulah mereka tak lepas-lepas dari kacang goreng, tidak ubahnya kekasih-kekasih yang melampiaskan rindu dendam setelah lama berpisah.

Alhasil, tukang kacang goreng tetap banyak di kota kami dan orang tak merasa rendah jadi tukang kacang goreng. Malah bangga. Dalam KTP mereka pun tercantum: pekerjaan, tukang kacang goreng. Dan, penggemar kacang goreng tidak pernah pula berkurang. Bahkan, sesudah lama merantau pun kegemaran itu rupanya tidak hilang. Juga, meski sejumlah anak muda mengalami pengalaman pahit akibat kacang goreng. Bertengkar, bahkan divonis putus oleh si gadis karena kulit ari kacang goreng ikut menyelusup ketika bibir-bibir bertemu pada malam Minggu. Namun, selera menyantap kacang goreng tak kunjung patah. Anak-anak muda itu seolah punya prinsip: pacaran boleh putus, makan kacang goreng jalan terus.

“Habis, memang lain kacang goreng kota kita ini,” komentar para suami saat makan kacang goreng di malam-malam dingin bergerimis. “Ini, lihatlah!” lanjutnya melempar sebuah kacang goreng ke atas meja. Gemuk, panjang, sebesar jempol. “Di tempat lain kecil-kecil kurus kulihat!”

“Memang,” sahut ibu-ibu di kota kami dengan sigap. “Tetapi, tetap belum ada yang sanggup mengalahkan kacang goreng Mak Sanin!”

“Ah, kalau itu, jangan dikata lagi, tiada bandingan!”

“Ya, Mak Sanin adalah maestro kacang goreng!” jawab si istri bersemangat. “Ibarat penyair, dia itu Chairil Anwar atau Amir Hamzah. Ibarat pelukis, dia Affandi. Ibarat pencipta lagu dialah Gesang atau Ismail Marzuki. Ibarat… .

“… perempuan ia adalah engkau seorang!” potong sang suami buru-buru dan si istri pun diam sambil tersenyum-senyum. Menyelusup manja ke pelukan suami.

Mak Sanin satu dari sekian banyak tukang kacang goreng di kota kami. Tokoh ini sangat populer bahkan hingga kini, khususnya di kalangan kaum ibu. Selain karena kualitas kacang gorengnya memang di atas rata-rata, perempuan kota kami menyukai lelaki itu karena dia tidak pernah pakai jas baru. Sudah barang tentu jasnya pun telah lapuk, sebab dipakai setiap malam selama bertahun-tahun, dan warnanya hampir tidak jelas lagi. Tetapi, istrinya pandai dan rajin menyisik sehingga tak kentara benar tambal- tambalan pada jas yang dipakai Mak Sanin.

Agak berbeda dengan orang dewasa, terutama ibu dan kakak-kakak perempuan kami, kami anak- anak justru takut pada Mak Sanin. Mungkin karena tubuhnya tinggi besar, mata rada sipit, dan selalu merah menyala. Kumisnya pun lebat melintang. Juga karena dia “berisi”, punya ilmu. Suatu kali kawan kami si Katan menghajar anaknya hingga babak belur. Anak itu lari pulang menggerung-gerung dan telinga si Katan pun disentil Mak Sanin. Berhari-hari daun telinga kawan kami itu gembung-bengkak kemerah-merahan. Orang juga mengatakan Mak Sanin tidak lagi bermain silat dengan manusia melainkan dengan harimau, tanda ilmunya tinggi. Kedua makhluk itu konon melakukannya malam-malam di pinggir kota usai Mak Sanin berjualan.

Mak Sanin adalah satu-satunya tukang kacang goreng yang tidak berpaut di pangkalan saat berjualan. Jam dagangnya juga berbeda dengan tukang kacang goreng yang lain. Biasanya, dia keluar sesudah magrib atau isya dan akan berakhir kira-kira pukul tiga dini hari atau saat beduk subuh mulai berkumandang di seantero kota dari masjid dan surau.

Begitu keluar rumah di pangkal malam itu orang tidak akan menemukannya di tempat ramai seperti di muka bioskop atau kawasan pasar. Dengan jas itu-itu juga, dan sarung dililit ikat pinggang lebar, dia susuri jalan-jalan kota dengan karung goni berisi kacang goreng di atas kepala. Seolah ringan saja karung goni itu baginya. Tenang- tenang saja dia melangkah, mendatangi calon pembeli. Dialah penemu sistem jemput bola dalam berdagang kacang goreng di kota kami.

Makin malam, kian gencar pula Mak Sanin mengembara menyusuri pelosok-pelosok kota. Juga ke Lubuak Mato Kuciang, Cubadak Bungkuak, Bancah Laweh, dan Bak Aie yang merupakan pinggiran- pinggiran kota kami. Suara serta bunyi tangkelek atau bakiaknya berirama memecah udara: “Tak-tuk-tak, tak-tuk-tak, cang goreeeng…! Tak-tuk-tak, tak-tuk-tak, cang goreeeng…!”

Pada larut malam yang dingin berkabut itu Mak Sanin benar-benar menjelma jadi pelayan tunggal sekaligus penjaga kota kami. Pencuri-pencuri mengurungkan niat mereka yang buruk mendengar suaranya. Orang-orang terbangun, ingin makan kacang goreng. Pasangan-pasangan yang tengah bertengkar terhenti. “Hah, itu Mak Sanin!” ujar si suami. “Beli dulu kacang gorengnya.” Anak-anak muda yang sedang begadang menyongsong kedatangannya dengan girang: “Tiga liter, Mak Sanin!” Dan, sewaktu pesanan mereka ditakar tangan mereka menyelusup ke karung goni, meraup kacang goreng bukan hanya sekali. Tetapi, itu biasa. Semua pembeli melakukannya dan semua tukang kacang goreng membiarkan saja.

Dan, pengantin-pengantin baru, yang memang tak tidur-tidur di tengah malam buta itu, berpandangan dan saling tersenyum mendengar suara Mak Sanin mendekati. Bergegas mereka benahi diri, tegak menanti di ambang pintu. Rambut nyonya muda yang hitam subur tergerai hingga pinggang, harum bercampur peluh, berkibar-kibar ditiup angin malam.

“Mak Sanin!”

“Hoooi!” Tukang kacang goreng itu menghampir ke makhluk elok itu. Dengan jas yang itu-itu juga.

“Seliter saja ah, Mak Sanin.”

“Yo! Eh, cukup seliter?”

“Hi-hi-hi. Cukuplah. Hanya berdua.” Dan, tangan-tangan mungil itu menyusup pula ke karung-goni yang hangat. Kemudian, sambil bercengkrama serta menikmati kacang goreng berdua-dua di larut malam itu, pasangan-pasangan itu menyimak suara Mak Sanin dan bunyi tangkelek-nya yang menjauh. Semakin jauh, lalu sayup-sayup diantarkan angin malam melalui kisi- kisi jendela.

Tetapi, pada suatu malam, ketika ramai-ramai di tahun ’66, cuma sebagian warga kota yang mendengar suara dan bunyi tangkelek itu. Warga yang lain tidak. Besoknya, seluruh warga kota tidak mendengarnya. Padahal, sudah mereka tunggu-tunggu. Dan besoknya lagi, kota kami gempar tak alang kepalang. “Masya Allah,” kata ayah bagai orang kedinginan. “Padahal, tahu benar aku, mata si Sanin itu merah hanya karena menukar siang dengan malam!”

Tukang kacang goreng itu ditemukan orang tergeletak di tepi kali. Ada sebelas bekas bacokan merobek jas tua dan tubuhnya. Tujuh lubang peluru. Karung goninya entah di mana. Tetapi, justru setelah ia tak ada lagi namanya terus jadi buah tutur warga kota kami, bahkan hingga kini. Orang-orang akan mencela tukang kacang goreng bila kacangnya tidak enak atau dia bertingkah. “Huh, tak serupa Mak Sanin!” ujar mereka.

Karena itu, Anda pun akan terheran-heran menemukan banyak tukang kacang goreng di kota kami yang berkata kepadamu: “Ha, kacang enak ini! Tak sembarangan kuali dan pasir buat merendangnya. Belilah. Cobalah. Tidak bakal menyesal. Delapan tahun saya belajar merendang kacang pada Mak Sanin!” Anda melongo heran karena Anda toh tidak kenal siapa Mak Sanin. Dan, mungkin juga tidak mau tahu.

Jakarta, Desember 2004

Audiobook

Kulihat Eyang Menangis

21 Library Twenty One
SMPN 21 Purworejo
Indra Tranggono 9 menit, 49 detik

Sudah hampir seminggu Eyang Putri mengurung diri di kamar. Kecemasan pun tergambar pada wajah bapak-ibu dan para cucu. Bubur yang disediakan Mbok Nah hanya sedikit yang dimakan. Dua-tiga kali bubur itu hanya disisir bagian pinggir, kemudian dibiarkannya mencair. Eyang juga jauh dari bantal dan guling. Kalau toh ia tertidur, itu bukan karena ia ingin. Mungkin hanya karena terlalu lelah. Tapi tidur itu tak pernah panjang. Sangat sering ia mendadak terjaga dan membangunkan Mbok Nah yang tidur di bawah samping ranjang.

“Gendut sudah datang?” ujarnya pelan.

Mbok Nah diam. Kantuk masih menggelayutinya. Pertanyaan serupa diulang, namun tetap tanpa jawaban. Eyang Putri tak tega bertanya lagi, melihat wajah Mbok Nah yang tertidur lelap dikeroyok kelelahan.

Mobil sedan putih mengilap menembus tirai hujan, memasuki pekarangan luas yang ditumbuhi pohon sawo dan pohon melinjo. Pada siang yang murung itu, seorang laki-laki tambun keluar dari perut mobil dan berlari menuju beranda rumah bergaya limasan. Bajunya yang merah maroon dipahat rapat jarum-jarum hujan, hingga warna itu berubah tua. Kedatangan laki-laki itu disambut seorang perempuan yang langsung menyodorkan handuk. Laki-laki itu menggosokkan handuk di kepalanya, “Mana Eyang Putri?”

“Masih di kamar. Kami juga sudah menunggu lama. Bagaimana kabarmu, Ndut? Anak dan istrimu sehat?” ujar perempuan itu.

“Ya, mereka sehat… Kapan Mbak Ambar datang?”

“Kemarin. Tapi sayang, Masmu Jito tidak ikut. Katanya sedang ada kunjungan ke Nias dan Aceh…”

“Yang lain mana?”

“Di ruang tengah. Mereka sudah lama menunggumu.” Ambar membimbing Gendut masuk ruang tengah.

“Ndut…” suara kakak-kakak Gendut kompak, seperti koor. Gendut langsung memeluk mereka satu per satu: Kunthi, yang kini bekerja di Jakarta menjadi redaktur majalah wanita, Swandaru yang anggota DPRD, dan Drajat yang pengusaha real estate. Gendut merasakan kehangatan mengalir di tubuhnya, kehangatan yang sangat ia harapkan setelah hampir setahun tidak bertemu dengan mereka, persisnya sejak Lebaran tahun lalu.

“Di mana Eyang Putri?” bisik Gendut di telinga Drajat.

“Di kamar. Sudah hampir satu jam kami menunggu…”

“Ada apa? Apa beliau sakit?”

“Tidak. Tapi, entahlah. Sebaiknya ditunggu saja…”

Gendut mengeluarkan rokok kreteknya, hendak menyulut, tapi dicegah Ambar.

“Eyang Putri tidak senang bau rokok..”

Gendut memasukkan rokok di sakunya.

Swandaru merangkul Gendut, “Ndut, coba kamu temui Eyang Putri. Kamu kan cucunya yang paling disayangi.”

“Lho apa bedanya aku dengan Mas Ndaru, Mbak Kunti, Mbak Ambar, atau Mas Drajat?”

“Beda Ndut… beda… Sejak tadi Eyang Putri menyebut-nyebut namamu. Cepatlah kamu ketuk pintu kamar.”

Gendut termangu. Empat pasang mata mengepung dirinya. Tatapan mata saudara-saudaranya seperti bilah-bilah tombak yang mengungkit pantatnya untuk beranjak dan segera mengetuk pintu kamar Eyang Putri. Setelah diam beberapa jenak, Gendut pun beranjak. Pintu kamar itu diketuknya, perlahan.

“Siapa?” suara lirih dari dalam kamar.

“Saya Gendut, Eyang…”

“Gendut? Tunggu…”

Pintu pelan dibuka, namun hanya beberapa puluh senti. Gendut langsung menyelinap masuk. Semua kakaknya saling memandang.

Aku tidak terlalu kaget ketika Bapak mengontak anak-anaknya untuk sowan Eyang Putri. Aku menebak, pasti Eyang memanggil kami karena persoalan Mbak Ratri. Dalam minggu terakhir wajah Mbak Ratri muncul di banyak koran dan televisi. Namanya dihapal jutaan orang dalam pembicaraan yang dilumuri prasangka.

Ketika menonton televisi, mataku disergap gambar yang bikin jantungku berdebar. Mbak Ratri tampak turun dari mobil dan langsung dirubung para wartawan. Ada satu dua polisi tampak berjaga-jaga di situ. Seperti yang kami kenal, wajah Mbak Ratri tetap tegar meski dicecar berbagai pertanyaan.

“Saya memang mengelola dana pembangunan rumah untuk masyarakat miskin itu. Perkara pembangunan itu macet, ya bukan urusan saya. Kalian mesti tanya developernya.”

“Tapi kenapa Anda diperiksa? Ini terkait dengan dugaan penggelapan anggaran yang katanya sampai 150 miliar?” desak wartawan.

“Itu insinuasi! Tuduhan itu sangat tak berdasar! Mengada-ada! You mesti lihat reputasi saya, dong. Sudah puluhan ribu unit rumah rakyat yang saya tangani, semua beres. Nggak ada komplain.”

“Tapi kenapa perumahan untuk para korban tsunami itu hingga kini macet?”

“Tanya itu developer. Tanya mereka…”

“Tapi developer itu sudah bikin statement, mereka juga belum dibayar lunas… Ini bagaimana?”

“Ah… tanya saja penasihat hukum saya. Temui saja Pak Rambela!”

Aku pun merasa ikut terpojok oleh cecaran pertanyaan para wartawan itu. Aku ngomel sendiri, mencoba membela Mbak Ratri sambil menuding-nuding layar televisi. Anak dan istriku tampak cemas. Mereka menangis. Aku terus mengomel, hingga commercial break memotong tayangan berita itu.

Ternyata kecemasan juga dirasakan kakak-kakakku. Mereka berulang kali menelponku mengungkapkan galau hatinya. Berita di televisi itu bagi kami telah menjelma pisau karatan yang menikam-nikam harga diri kami.

Kami mencoba menghubungi Mbak Ratri, tapi HP-nya off. Begitu juga ketika telpon rumahnya kami hubungi. Ke mana anak-anak Mbak Ratri? Ke mana suaminya? Pasti mereka kini jadi lintang pukang dihajar kabar yang sangat mengejutkan itu. Kami pun mencoba menemui Mbak Ratri di rumah tahanan, tapi gagal.

Penahanan Mbak Ratri membuat bapak dan ibu terguncang. Mereka pun langsung masuk rumah sakit.

Kami sama sekali tidak menyangka, Mbak Ratri yang selama ini kami kenal sebagai pribadi yang mengagumkan, yang gigih menentang setiap penyimpangan, berada dalam pusaran persoalan yang bukan hanya membikin kami terpukul, malu, tapi juga sangat sedih. Aku pun sering membentak kepada setiap teman sekantor yang sok tahu soal berita itu yang nada bicaranya setengah memojokkan Mbak Ratri.

“Maaf-maaf kalau omongan saya menyinggung Pak Gendut. Tapi kami kan sekadar menganalisis… eh menduga-duga. Jangan-jangan…” ujar Pak Nano.

“Jangan-jangan apa?! Kalian ini tahu apa sih? Sok analitis!”

DI kamar itu, Gendut belum berani bicara. Ia melihat, wajah Eyang Putri tampak pucat. Kerut merut di wajahnya pun semakin tampak jelas, semakin tumpang-tindih, semakin bersilangan. Gendut merasa tidak tega untuk mengajak bicara, takut menambah beban perasaan Eyang Putri. Ia hanya mematung di samping ranjang.

Di antara para cucu, Mbak Ratrilah yang paling mewarisi sikap Eyang Putri yang berwatak keras, jujur, dan berani. Watak dasar ini-ditambah kecerdasannya yang terpancar di matanya yang berkilat-kilat saat berdebat-yang mengantarkan Mbak Ratri memegang jabatan penting di sebuah departemen yang berurusan dengan program pengentasan kemiskinan masyarakat.

“Jangan sampai kamu mencurangi Ratri. Walau cuma serupiah, dia akan mengejarmu sampai neraka,” pesan bapak belasan tahun lalu, dengan bangga. Sesungguhnya, bukan hanya bapak dan ibu yang bangga, kami pun sangat bangga kepada kakak kami tertua itu. Namun, ucapan bapak yang terngiang kembali itu seakan mencair ketika Mbak Ratri dalam posisi sulit. Di layar televisi siang tadi, wajahnya tampak lelah. Ketika keluar dari ruang pemeriksaan kantor kejaksaan, ia hanya berucap “no comment… no comment”

Setegar apa pun hati keluarga kami, toh akhirnya goyah juga. Berita penangkapan Mbak Ratri itu kini menjelma menjadi bongkahan batu yang mengganjal di rongga dada kami. Makin lama bongkahan batu itu makin membesar. Aku mencoba meyakinkan dan menghibur bapak-ibu bahwa Mbak Ratri belum tentu menggelapkan uang. Tapi, kalimat-kalimatku seperti lumer dan menyatu dalam butiran-butiran keringat dingin bapak-ibu yang kemudian pingsan.

Kami dan Mbak Ratri tumbuh dalam dekapan kasih sayang Eyang Putri. Meskipun usianya di atas delapan puluh, Eyang Putri masih tampak seperti perempuan berusia 50-an. Tubuhnya masih cukup tegap. Matanya masih bercahaya. Dan ingatannya masih tajam. Dengan runtut, ia mampu bercerita tentang masa kanak-kanak kami. Bahkan juga masa kanak-kanak ayah kami. Eyang Putri juga masih ingat berapa nomor telpon rumah kami. Juga nama cicit-cicitnya. Padahal jumlahnya belasan.

Eyang Putri itulah sosok yang sesungguhnya mendidik kami. Kebetulan sejak kecil kami tinggal di rumah Eyang Putri bersama bapak dan Ibu. Eyang Putri melarang kami pindah rumah. “Untuk apa? Rumah ini masih terlalu besar untuk kita,” ujarnya.

Setelah Eyang Kakung meninggal, Eyang Putri tak mau hanya mengandalkan hidup dari uang pensiun suaminya sebagai guru. Eyang Putri memanfaatkan keterampilannya membuat jamu. Setiap pagi, Eyang Putri pergi ke pasar membeli rempah-rempah: kencur, jahe, dlingo bengle, adas pula waras, cabe puyang, dan entah apa lagi. Rimpang-rimpang jahe, kencur, dan berbagai dedaunan melimpah di atas balai-balai bambu di dapur. Dibantu Yu Jum dan Yu Gik, Eyang Putri meracik dan memasak jamu itu. Rumah kami pun penuh aroma jamu. Harum tapi juga semegrak. Jamu itu kemudian dijual di pasar. Banyak pembeli merasa cocok dengan jamu itu, hingga nama Eyang Putri menjadi sangat terkenal.

Ketika kami kecil, Eyang Putri selalu mendongeng sebelum kami tidur. Selalu saja ada kisah yang diceritakan dalam setiap malam. Entah sudah berapa ratus cerita yang membawa kami ke alam yang indah: rimbun hutan, sungai yang mengalir, sawah yang membentang, laut yang bergelombang, gunung yang menjulang atau langit yang biru. Gaya bercerita Eyang Putri yang mempesona, menjelma menjadi kereta kencana yang membawa kami ke dalam petualangan yang menggairahkan. Kami bertemu dengan tokoh-tokoh cerita, dengan berbagai wataknya. Ada yang culas, jujur, pemberani, licik, atau penjilat. Watak-watak tokoh rekaan itu menjelma seperti wayang yang berkebat dalam benak. Kami pun merasa menjadi seperti tokoh pujaan kami: seorang satria yang membela yang lemah, meskipun akhirnya tidak hidup bahagia.

“Nama baik dan kejujuran itu jauh lebih penting dari semua kekayaan,” pesan Eyang Putri.

“Kalau saya ya pilih kaya,” ujar Mas Swandaru sambil bercanda.

“Ah kamu, yang dipikir cuma perut,” sergah Mbak Ratri.

Eyang Putri mengangguk-angguk sambil mengelus kepala Mbak Ratri.

“Kalau kamu bagaimana, Gendhut,” Eyang menatapku.

Aku kelimpungan. Bingung. Semua tertawa.

“Aku nggak tau Eyang…” jawabku sekenanya.

“Bicaralah. Ayo, nggak apa-apa…”

“Kalau aku ya pilih kaya… tapi juga punya nama baik.”

Semua tertawa.

“Pintar kamu, Ndhut…” Eyang Putri terkekeh.

“Eyang-eyang… gimana kalau Eyang sekarang ndongeng kancil?” ujar Mbak Ambar.

Eyang Putri diam. Mendadak, ketakutan diam-diam merambat, mengurung kami.

“Eyang tidak suka kancil!” ujar Eyang tandas.

“Tapi dia itu pintar lho Eyang…” Mbak Ambar masih mengejar.

“Dia bukan pintar, tapi licik. Dia punya banyak akal, tapi hanya untuk mengakali. Kalian ingat ketika kancil ditangkap dan hendak disembelih Pak Tani gara-gara mencuri mentimun?”

Kami mengangguk. “Iya, tapi kancil akhirnya lolos setelah menipu anjing milik Pak Tani. Dia bilang, dirinya akan dikawinkan dengan putri Pak Tani….” ujar Mbak Kunthi.

“Dan anjing yang celaka itu dirayu kancil untuk menggantikannya sebagai calon mempelai,…”sahut Mas Swandaru.

“Akhirnya, dalam gelap malam, anjing itulah yang dipukul Pak Tani, hingga kepalanya remuk…” kataku meramaikan suasana.

“Maka, kalau kalian besar nanti, jangan mau jadi kancil…” ujar Eyang.

Ratri menyahut, “Benar Eyang. Kita harus membunuh kancil!”

“Bukan… bukan begitu Ratri. Yang harus kita bunuh adalah sifatnya.”

Malam makin larut. Kantuk pun bergelayut. Satu per satu kami tertidur. Sayup-sayup kami mendengar pembicaraan Eyang Putri dengan Mbak Ratri.

Kenangan itu masih basah melekat di benak Gendut. Juga saat ia terpaku di depan Eyang Putrinya yang sejak tadi tetap diam. Hanya terdengar suara isak tangis yang tertahan.

“Eyang sakit?” Gendut mencoba membuka pembicaraan.

Eyang Putri menggeleng, lemah. Gendut kaget. Ternyata dari mata Eyang Putri tidak mengalir air mata setetes pun. Mata tua itu tetap bening dan bercahaya. Ke mana air mata itu, Eyang, pikir Gendut.

Di luar kamar, empat kakak Gandut masih menunggu. Urat-urat wajah mereka menegang. Jam dinding berdetak terdengar sangat keras. Mereka hanya saling memandang.

Gendut berhasil membujuk Eyang Putri untuk keluar dari kamar. Perempuan renta itu berjalan pelan, tapi masih tetap tegap. Para cucunya ramai-ramai menghambur dan mencoba memeluknya. Tapi Eyang Putri tak begitu menanggapinya. “Biar aku duduk…,” ujarnya pelan.

“Ndut, apa benar kini Ratri telah berubah menjadi kancil? Atau bahkan sudah jadi ular piton yang kelaparan? Ahh… katanya dia mau membunuh kancil?” Ucapan itu terasa sangat menyentak.

Eyang Putri mengedarkan pandangan ke wajah cucu-cucunya. Tak satu pun dari mereka yang berani menatapnya. Wajah mereka tertunduk. Dalam beberapa kejap, tak ada suara terucap.

Tapi Gendut memberanikan diri bicara, “Kita berdoa, semoga ia tetap Ratri seperti yang kita kenal selama ini. Bukan kancil atau ular piton…”

“Bagaimana kamu tahu, Ndut? Bukankah kamu tak berada di sana? Di tempat yang gemerlap dan bisa membuat siapa saja berubah?”

Gendut terdiam.

“Mestinya sejak dulu, Ratri membunuh kancil itu…” ujar Eyang Putri lirih, merintih.

“Tapi maaf Eyang. Bukankah… Eyang sendiri yang dulu mencegah Ratri untuk…,” ujar Gendut.

“Itu yang aku sesalkan. Mestinya kancil itu sejak dulu dibunuh dalam pikirannya….”

“Tapi, kami percaya dan yakin, Mbak Ratri tidak mungkin menjadi kancil. Ya, meskipun kami tidak punya bukti. Bukankah sudah hampir tiga tahun dia menutup diri?” Swandaru melepaskan napasnya.

“Kalian berani menjamin keyakinan itu?”

“Maaf Eyang, kami hanya bisa percaya… hanya bisa berharap…”

“Terus bagaimana? Apakah aib yang telah tercoreng di wajah kita ini bisa hilang sendiri? Mungkin saja dia bukan kancil yang suka nyolong timun. Mungkin…. Tapi kini ia telah berada dalam kurungan. Itu masalahnya,” ujar Eyang setengah meradang.

“Kebenaran akan membersihkan namanya, akan mengembalikan martabatnya…,” ujar Kunthi.

Eyang Putri mengedarkan pandangan ke wajah para cucunya. Mereka merasa dilucuti, ditelanjangi. Tubuh mereka serasa berubah transparan. Berbagai borok dan lendir yang tersimpan di balik tubuh mereka, seperti terbaca. Eyang Putri berkali-kali menarik napas, sebelum akhirnya pingsan.

Di rumah itu, kami tak lagi menemukan aroma harum jamu, atau mencium semerbak kisah-kisah kepahlawanan yang indah dan mendebarkan. Semua mendadak terasa terlepas. Kami justru mencium bau keringat kami yang mengandung miliaran bakteri…. *

Bantul-Yogyakarta-Mendut 2004-2005

Audiobook

Kematian Gumortap (Ombak dan Belati Tanpa Sarung)

21 Library Twenty One
SMPN 21 Purworejo
Arie MP Tamba 9 menit, 36 detik

Sembilan belas hari sebelum kematian Gumortap.

”Tangkap!” teriak seorang kenek kapal Makmur yang melemparkan tali kapal ke arah orang-orang yang berkerumum di tepi pelabuhan Onansait. Langit pagi sebagian masih memerah. Angin bertiup ringan. Dua orang pemuda dengan agak berebutan menerima tali itu, dan salah seorang yang berhasil menangkapnya segera mengikatkannya ke tiang tambatan kapal Penjelajah yang sedang berlabuh.

Ikat yang kencang!” teriak si kenek ke arah si pemuda yang mengikatkan tali itu, seraya menahan gerak kapal Makmur dengan menjolokkan galah bambu ke geladak kapal Penjelajah. Sisi kedua kapal itu kemudian berendeng, dan kapal Makmur mendekati dermaga searah kapal Penjelajah.

Kecuali melayani para penumpang borongan secara bebas, setiap pekan atau pasar mingguan maupun ke pelabuhan pemberangkatan ke kota-kota besar, ada pembagian jadwal antara kapal Makmur dan kapal Penjelajah dari kampung Onansait. Dan pagi itu adalah giliran kapal Makmur dari kampung sebelah membawa penumpang ke pasar Pangru, ibu kota kecamatan di seberang danau.

Dua kenek kapal Makmur lainnya menyusul turun ke dermaga, memastikan anjungan kapal Makmur bersandar aman ke dinding dermaga. Meskipun mesin kapal sudah dinetralkan, sisa kecepatannya tetap membuat kapal bergerak cukup kencang, hingga kedua kenek itu berusaha menahan dengan pundak mereka. Mereka sempat juga terdorong mundur di antara orang-orang ramai di dermaga itu, sebelum kapal sepenuhnya berhenti. (Masa itu tidak semua mesin kapal memiliki fasilitas mundur. Sehingga yang bisa dilakukan kapal bermesin jenis ini saat berlabuh adalah mematikan mesin atau menetralkannya agak jauh dari pantai, kemudian menahan sisa lajunya dengan menjolok-jolokkan galah bambu, ke dasar danau atau ke geladak kapal lain yang sedang berlabuh di kiri atau kanannya).

Kini orang-orang yang sejak pagi sudah memenuhi dermaga dan mau berangkat ke pekan pun berebutan naik. Banyak dari mereka membawa peralatan belanja atau barang dagangan. Para pedagang bawang harus berkali-kali turun-naik dibantu para kenek memundak bergoni-goni bawang yang akan mereka jual, demikian juga para pedagang beras. Sementara para pemilik warung dari atas bukit, seperti biasa mengangkati beberapa jeriken minyak tanah yang kini masih kosong ke atas kapal. Sedangkan anak-anak selalu saja memandang semua itu dengan penuh minat. Beberapa anak yang akan pergi ke pekan dengan orangtua mereka, sengaja memandang tertawa ke arah teman-teman mereka yang hanya menatap iri dari dermaga.

”Ke mana?” orang-orang masih juga bertanya.

Semua sudah tahu jawabannya.

”Mau beli apa?”

Semua kembali mendengarkan apa yang mau dibeli.

Maka perbincangan yang sama pun berlanjut dan berulang dengan orang yang berlainan. Dan selalu saja suasana mau berangkat ke pekan menjadi peristiwa yang jarang dilewatkan untuk membahas apa saja di perkampungan tepi danau itu.

Onansait termasuk pelabuhan yang ramai dan pantainya landai berpasir putih. Pada saat itu, di antara keramaian orang-orang di dermaga dan bias-bias cahaya matahari pagi yang dipantulkan hamparan pasir putih—Horas, 13 tahun, si bungsu dari tiga bersaudara anak pemilik kapal Penjelajah—melihat si pemuda Gumortap. Mungkin semuanya akan berlangsung biasa saja dalam kehidupan Horas yang baru saja menyelesaikan pendidikan dasar itu—seandainya ia tidak melihat ”tanpa sengaja” sebilah belati tanpa sarung—yang terselip di pinggang Gumortap.

Kedua bola mata Horas terbelalak dan dadanya tiba-tiba berdegup kencang. Orang-orang ramai dan hamparan pasir putih kini mengabur dari pandangannya. Dalam kibasan kesan dan perasaan gentarnya yang bergemuruh, sampai kapan pun ia akan dapat membayangkan wujud belati tajam dari baja di balik kemeja Gumortap yang tersibak angin pagi, saat Gumortap melompat naik ke kapal Makmur. Horas kini membuktikan sendiri bahwa Gumortap memang membawa-bawa belati tak bersarung di pinggangnya.

Belum lama berselang, Gumortap adalah seorang montir dan juru mudi kapal Penjelajah. Gumortap adalah seorang pemuda bertubuh tinggi dan tegap, yang keberaniannya membawa kapal Penjelajah membelah danau penuh ombak suatu malam, menjadi perbincangan anak-anak di tepi danau itu. Karena kisah keberanian Gumortap yang sudah didengarnya berkali-kali, Horas terkadang membayangkan Gumortap adalah jelmaan ombak malam itu sendiri. Mungkin beberapa bulan lalu atau barangkali setahun lalu, tak ada anak-anak yang tahu pasti kapan peristiwanya. Yang jelas, keberanian Gumortap menyelamatkan kapal Penjelajah bersama penumpang dan barang yang dibawanya mengarungi amukan ombak, telah menjadi buah bibir anak-anak di Onansait dan kampung-kampung tepi danau itu.

Tiga belas hari sebelum kematian Gumortap

”Anak-anak burung itu tidak bodoh. Mereka memahami gerak-gerik kita.”

”Mereka belum bisa melihat penuh. Cuma asal terbang, makanya sering saling tubruk.”

”Tapi, setiap kali aku mau menghalau, mereka sudah terbang duluan.”

Anggi dan Olan berbincang di tepi sawah mereka, ketika Horas meneruskan langkah menuju rumah Gumortap.

”Heh, Horas? Mau ke mana?”

”Kau tidak belajar mesin?”

Horas menggeleng. Berlalu dari samping Anggi dan Olan.

Pematang sawah cukup untuk kaki-kaki mereka yang kecil berselisih jalan. Meskipun mereka harus saling merapatkan badan agar tidak terjatuh ke sawah di kiri kanan mereka.

”Mau ke mana?” ulang Anggi.

”Ke rumah Gumortap,” kata Horas.

Ketiganya memandang beberapa rumah di pojok danau, di ujung persawahan luas yang sedang menguning subur di sekitar mereka.

”Ada enggak?” tanya Horas.

”Mau apa?” tanya Olan.

”Paling-paling masih di sawahnya di bukit,” kata Anggi.

”Dia dipanggil ayahku,” kata Horas melihat sekilas ke arah Olan.

”Mau membawa kapal?” tanya Anggi.

”Mesinnya kan sedang rusak,” kata Horas.

”Coba dia membawa kapal sekarang. Nanti malam musim ombak besar. Dia bisa menunjukkan lagi kemampuannya menaklukkan ombak,” kata Anggi.

”Tapi semua sudah tahu, Gumortap sekarang membenci ayahmu,” ungkap Olan. ”Bahkan dia membawa belati ke mana-mana, siap berkelahi dengan ayahmu.”

Horas merasa kurang nyaman dengan kata-kata Olan itu. Ia ingin cepat berlalu dan segera melangkah. ”Aku jalan dulu,” katanya.

”Aku ikut,” kata Anggi.

”Heh, kita harus mengusir burung,” kata Olan.

”Mereka masih anak-anak burung,” kata Anggi. ”Biarkan saja mereka makan padinya, tak akan banyak!”

Olan memandang kesal ke arah Horas dan Anggi yang melangkah cepat menuju rumah Gumortap di pojok danau. Dari sana kini sayup-sayup mulai terdengar suara gondang bertalu-talu. Agaknya Gumortap memang sedang di rumah tapi mulai berlatih main gondang. Gumortap adalah seorang pekerja sawah yang tekun, pemain gondang yang baik, dan tentu saja, juru mesin dan juru mudi yang baik.

Dan karena Gumortap ternyata sedang berlatih gondang, Horas dan Anggi pun pulang hampa tangan. Anggi kembali menemani Olan mengusir burung-burung dari sawah mereka, sementara Horas meminta bantuan abangnya untuk sama-sama menyampaikan kabar kepada ayah mereka, bahwa Gumortap tidak bisa datang. Gumortap sedang berlatih gondang karena tiga hari lagi akan disewa main gondang untuk pesta adat di seberang danau.

Ayah Horas mengarahkan tatapannya ke luar rumah, melalui jendela, ketika Horas dan abangnya melaporkan hasil perjalanan Horas itu.

”Kau saja yang memanggil lagi,” kata Ayah Horas. ”Bilang sangat penting, karena kapal akan membawa penumpang borongan nanti malam,” kata Ayah Horas kepada abang Horas.

Abang Horas menoleh ke arah Horas dengan kesal, seolah menyalahkan Horas yang gagal memanggil Gumortap dan ikut merepotkannya. Padahal semua orang sudah tahu sedang terjadi ketidakcocokan antara Gumortap dan Ayah mereka. Ketidakcocokan itu konon hanya sebagai pertengkaran mulut, tapi kemudian berlanjut saling pukul, sebelum keduanya dipisahkan orang ramai di dermaga suatu sore.

Dan sejak itu, semua orang pun tahu bahwa Gumortap kemudian membawa-bawa belati di pinggangnya, siap menikam ayah Horas yang dulu adalah majikannya. Apa penyebab pertengkaran mereka sesungguhnya, tak banyak yang tahu. Sebagian kecil menduga-duga dan mulai percaya bahwa penyebabnya adalah Gumortap yang menggelapkan uang hasil sewa kapal ke sebuah pekan di seberang. Paling tidak itulah yang tergambar dari pertengkaran mulut mereka. Gumortap tidak melaporkan seluruh uang masuk yang diperolehnya karena kebetulan ia membawa kapal Penjelajah tidak disertai ayah Horas yang sedang mengikuti pesta adat ke kota.

Begitulah, karena Gumortap masih juga menolak ketika abang Horas kembali memanggil, ayah Horas terpaksa turun sendiri dan sesorean bekerja keras membetulkan mesin kapal Penjelajah itu. Dan mesin kapal tersebut kemudian dapat dijalankan saat para penumpang borongan berdatangan. Ayah Horas dibantu dua kenek kemudian membawa kapal Penjelajah mengarungi malam berombak, tanpa dukungan juru mudi Gumortap. Tapi yang mengesan kuat bagi Horas tentang hari itu bukanlah penolakan Gumortap membantu ayahnya. Yang terus membayang adalah—belati tanpa sarung yang telah dilihatnya terselip di pinggang Gumortap—di balik bajunya yang berkibar suatu pagi di dermaga.

Enam hari sebelum kematian Gumortap

Kini Horas sedang berdiri di tengah kegelapan kamar. Dia baru saja menutupkan jendela. Ia dapat merasakan tajamnya belati di tangannya ketika ia menggesekkan bagian belati yang tajam itu ke jari telunjuknya. Karena merasa sakit dan khawatir berdarah, Horas menarik belati itu dan kini mengelusnya dari gagang hingga ke hulu. Licin dan halus. Belati yang terbuat dari baja itu menyebarkan hawa dingin yang meresap ke sekujur tubuhnya. Di benaknya melintas sebuah bayangan mengerikan: saat belati tajam dan dingin itu berkali-kali menembusi perut seseorang. Dan seseorang itu bisa saja…ayahnya!

Horas segera menyembunyikan belati milik ayahnya itu ke bawah bantal. Lamat-lamat telinganya menangkap suara-suara memasuki ruang depan. Suara ayahnya dan beberapa orang lain. Entah siapa yang datang bertamu. Horas mendengarkan dari balik pintu. Ayahnya akan marah bila mengetahui Horas masih di rumah, tidak mengikuti para kenek untuk belajar menguasai mesin kapal. Ayahnya sangat tidak senang bila anak lelakinya mengendap-endap di rumah dan mendengarkan perbincangan orangtua.

”Kami mendengar lagi Pak,” kata salah seorang tamu itu.

”Banyak yang marah,” kata yang lain.

”Saya malah membentaknya!” kata salah seorang yang kelihatannya lebih tua, barangkali seusia ayahnya.

”Dia kurang ajar. Berani mengumbar ancaman kepada orang tua,” kata yang lain.

”Bapak harus menegurnya, kalau tidak langsung ya melalui orangtuanya.”

”Bila perlu mendatangi rumahnya.”

”Jangan mendatanginya.”

”Ya, jangan mendatanginya. Perintahkan, akan saya panggil ia ke sini.”

”Kita paksa saja!”

”Bawa belati ke mana-mana, dan menyebut-nyebut nama Bapak dengan kurang ajar.”

””Katanya Bapak menghinanya.”

”Mana mungkin!”

”Bapak juga bawa belati, berjaga-jaga.”

”Jangan!”

Belum terdengar suara ayah Horas. Sementara keempat orang tamu ayahnya itu terus mendesakkan kabar dan keinginan mereka.

”Eh, ada tamu,” kata ibu Horas yang tiba-tiba memasuki ruang depan itu dengan kakak perempuan Horas.

“Baru dari pekan, Inang?” tanya salah seorang tamu itu.

Ibu Horas dan kakak perempuannya memang baru pulang dari pekan di desa sebelah. Horas ingin keluar menjumpai ibunya dan menanyakan apakah sang ibu membelikan jajanan pesanannya. Tapi kalau ia keluar, maka semua orang akan mengetahui keberadaannya yang sedang mengintip mereka. Dan Horas juga tak sanggup berpura-pura, bahwa ia sedang baru keluar dari ruang dalam dan muncul di ruang depan itu. Yang dapat dilakukannya adalah, segera mundur dari balik pintu ke ruang tengah itu. Ia khawatir ibu dan kakak perempuannya akan memergokinya.

Horas pun masuk ke ruang dalam dengan langkah mengendap-endap. Kemudian ia bergegas ke pintu samping dan keluar ke halaman. Saat itu ia mencemaskan belati yang tersembunyi di bawah bantalnya. Belati itu adalah milik ayahnya yang selama ini tergantung di dinding kamar. Belati itu sama bentuknya dengan belati yang terselip di pinggang Gumortap. Belati telanjang dan berbahaya. Mudah-mudahan ayahnya tidak segera memerlukannya!

Hari kematian Gumortap

”Apa maumu?” tanya Gumortap ke arahnya. Langit sore sebagian memerah.

Horas memandang tajam dan menghampiri Gumortap. Napasnya menderu dan wajahnya panas terbakar kebencian. Beberapa orang tua sempat ingin memegangi tangannya, tapi Horas berhasil mengibaskan. Di sebelahnya, di kakinya, tampak ayahnya terkapar dengan perut berlumuran darah. Beberapa orangtua berusaha menolong. Horas melihat sekilas, sang ayah baru menyadari bahwa Horas juga berada di dermaga itu. Sang ayah memandang khawatir ke arahnya, seraya mengatakan sesuatu. Namun Horas tak mendengar. Tatapannya nyalang ke arah Gumortap yang sedang melap belatinya yang berlumuran darah dengan handuk kecil. ”Apa yang mau kau lakukan heh?” Gumortap mendelik ke arahnya.

Horas tak menjawab. Ia kini menghunus belati telanjang yang dicabutnya dari pinggangnya, dan sekarang ia tusukkan ke arah perut Gumortap. Gumortap tertawa sinis dan mundur selangkah. ”Anak gila!” umpatnya. Beberapa orang terdengar menjerit khawatir, entah mengkhawatirkan siapa.

Horas terus merangsek, menusuk, menusuk, menusuk, hingga belatinya tertahan sesuatu yang lunak seperti ombak. Ombak itu bergulung-gulung dan memercikkan sesuatu yang hangat dan berdebur sampai ke telinganya. Tangan Horas kini berlepotan darah, darah seharum ombak malam. Lalu Horas menangkap suara kaget dan rasa takut yang memancar bagai kilat dari sepasang mata Gumortap yang terbelalak tak percaya. Belati dan handuk kecil terlepas dari tangannya. Ia kini memegangi perutnya yang sudah sobek dan berlubang berdarah-darah.

Horas terus memandangi Gumortap dengan nafas menderu. Tangannya gemetar menggenggam belati. Ia masih ingin menusukkan lagi belati tersebut ke perut Gumortap yang lunak seperti ombak. Tapi Gumortap sudah terkapar mengerang-erang memegangi perutnya, di antara sebagian orang tua yang kini berusaha pula menolongnya. Sesaat, Horas pun merasa baru saja menunaikan tugasnya sebagai anak, seperti halnya melaksanakan perintah ayahnya mempelajari mesin kapal Penjelajah, yang suatu saat akan dibawanya mengalahkan ombak.*

Audiobook

Anjing yang Masuk Surga

21 Library Twenty One
SMPN 21 Purworejo
M Dawam Rahardjo 6 menit, 45 detik

Usamah adalah seorang keturunan Arab Pakalongan, tapi kawin dengan seorang keturunan Arab juga asal Solo. Karena itu ia bergaul dengan teman-temannya, dari kampung Pasar Kliwon, daerah permukiman keturunan Arab di Solo. Ia juga mengikuti sejumlah orang yang hijrah ke Jakarta. Teman-temannya itu, termasuk ia sendiri, semuanya telah lulus perguruan tinggi, tapi tak semuanya jadi pegawai, sebagian memilih jadi pengusaha. Tapi semuanya sukses, seorang di antaranya berhasil menjadi Direktur Kredit Deutsche Bank, Bank Jerman, dan seorang lagi menjadi direktur sebuah hotel berbintang tiga. Usamah sendiri memilih jadi wartawan sebuah majalah berita terkemuka.

Hampir semuanya mula-mula tinggal di rumah sewa. Tapi suatu ketika mereka sepakat untuk membeli tanah di sepanjang jalan kecil di bilangan Ciputat. Mereka mendirikan rumah berderetan. Usamah juga ikut membeli tanah, tapi ia terpisah, karena ingin memberi tanah yang lebih murah di bagian yang agak dalam, bahkan dekat sawah yang hanya dibatasi oleh sebuah kali kecil. Di situ ia mampu membangun rumah sederhana tapi berhalaman luas. Sebagian pekarangannya dipakai untuk memelihhara ayam. Peternakan ayam yang hanya 100 ekor itu memang cukup berkembang. Tapi pada suatu hari, beberapa ekor dicuri orang. Karena itu seorang sahabatnya menganjurkan agar ia memelihara seekor anjing.

Memelihara anjing di kampung Betawi itu memang sangat riskan, yang memelihara bisa tidak disukai orang sekampung. Teman-temannya dari Solo pun ikut manyarankan agar Usamah tidak memelihara Anjing. Tapi sahabatnya yang mengusulkan itu memberi tahu bahwa memelihara anjing itu diperbolehkan agama. Kebetulan ia mengikuti aliran modern, al Irsyad. Tapi sebelum memutuskan memelihara anjing itu Usamah pernah sowan ke Buya Hamka di Kabayoran Baru, dekat Masjid al Azhar.

“Boleh tidak Buya, seorang Muslim memelihara anjing?” tanyanya, memberanikan diri, maklum bertanya kepada ulama besar.

“Tengok ke halaman rumah. Itu ada anjing besar,” jawab Buya.

“Di Minangkabau, memelihara anjing sudah biasa. Bahkan ulama-ulama juga memelihara anjing. Sebagian orang kampung memelihara anjing untuk berburu babi di hutan. Bahkan Pesantren Putri Pandang Panjang, Rahmah el Yunusiyah, itu separuh penghuninya adalah anjing,” jelas ulama asal Minang itu.

“Di Mekkah, banyak penduduk yang memelihara anjing,” jelasnya lagi. “Orang Muslim dianjurkan untuk menyayangi binatang, termasuk anjing. Nabi sendiri suka dengan kucing. Nabi Daud suka burung dan Nabi Sulaiman bersahabat dengan semua binatang. Pernah ada hadist yang menceritakan. Adanya seorang pelacur yang dinyatakan Nabi akan masuk surga, hanya karena ia memberi minuman kepada anjing yang mau mati kehausan. Bahkan ada pula anjing yang masuk surga, yaitu anjing yang menemani pemuda-pemuda Askhabul Kahfi yang melarikan diri dari tirani raja kafir dan mengungsi di gua dan atas izin Allah, tertidur selama 300 tahun itu,” jelas ulama pengarang Tafsir al Azhar itu, yang menceriterakan kisah para pemuda beriman dan seekor anjingnya dalam Al Quran.

Dengan keterangan Buya Hamka itu Usamah, dengan persetujuan seluruh keluarga, memutuskan untuk memelihara seokor anjing. Tak tanggung-tanggung, ia memelihara jenis herder yang disebut German Sheppard yang diberinya nama Nero. Tapi baru berjalan satu setengah tahun, anjing itu pun mati. Menurut dugaan Usamah sendiri yang mendapat informasi dari orang kampung, anjing yang masih muda usianya itu mati diracun, mungkin oleh tetangga yang tak suka. Ia dan keluarga, terutama anak kecilnya, Najib, sangat sedih kehilangan Nero. Tapi kemudian ia bertekad untuk memelihara lagi. Kali ini ia memelihara jenis Gaberman yang diberinya nama Hector.

Sehari-hari Hector menemani anaknya yang terkecil, Faris, bersama pengasuhnya, Minah, bermain-main di rerumputan pinggir kali, dekat sawah. Hector selalu menggonggong keras, jika Faris ingin bermain-main di kali. Jika istri Usamah pergi ke pasar, Hector selalu dibawanya, tapi ia selalu disuruh menunggu di jalan di luar pasar, karena jika ikut masuk, akan mengganggu orang yang takut atau jijik pada anjing. Pada suatu hari, setelah selesai belanja, barang-barang belanjaannya ditaruh di dekat mobil, sedangkan ia kembali ke pasar membeli barang yang kelupaan dibeli. Hector disuruh menunggu. Namun ternyata ada juga oramg yang berusaha mengambil barang belanjaan itu. Ketika mau mengambil kompor, rupanya pencuri itu tidak sadar bahwa ada seekor anjing yang menjaganya. Maka meloncatlah Hector menerkam pencuri itu sambil menggonggong keras-keras.

Mendengar gonggongan anjingnya, maka istri Usamah kembali ke mobilnya. Pencuri itu tidak mengaku mau mencuri, bahkan marah-marah kepada Hector dan istri Usamah.

“Kenapa kamu mau mencuri ?” tanya Bu Usamah.

“Tidak, tidak, saya tidak mencuri,” jawab si pencuri.

“Tidak mungkin kamu diterkam oleh anjing saya, jika tidak mau mengambil barang saya.”

“Ibu percaya pada saya atau percaya kepada binatang najis itu?” Ibu Usamah merasa glagepan mendengar tangkisan pencuri itu. Orang-orang yang berkerumun sepertinya memahami pertanyaan si pencuri.

“Walaupun seekor anjing, ia tak pernah berbohong. Anjing juga tidak pernah mencuri. Hanya manusia yang suka berbohong dan mencuri,” jawab Bu Usamah. Tapi karena tak ada bukti bahwa barangnya telah dicuri, maka pencuri itu pun bebas.

Pernah suatu pagi hari, ada seorang yang rupanya pemuda sekampung sendiri, berusaha mencuri ayam. Ia sempat membawa lari seekor ayam, tapi orang itu keburu lari melompat pagar tanaman, karena mendapat gonggongan Hector. Ketika lari terbirit-birit, Hector mengejarnya sampai tertangkap. Pencuri itu pun, setelah melapas ayam curiannya, teriak-teriak minta tolong. Penduduk kampung pun berusaha menolong si pencuri dengan melepaskan gigitan anjing di bajunya, dan seorang di antaranya mengambil sepotong kayu untuk memukul Hector. Untung Usamah sempat datang mencegah pemukulan. Tapi penduduk malah memarahi Usamah.

“Jaga dong anjingnya. Kalau Bapak tidak datang, anjing itu pasti mati kami hajar.”

“Lho Pak, mana mungkin anjing saya ini mengejar orang ini tanpa alasan sepagi hari ini? Ayam saya di kandang ramai berkotek, tanda ada yang mengganggu. Dulu saya pernah kecurian ayam, sebelum punya anjing.”

“Apa Bapak tidak tahu, menyentuh anjing saja itu najis hukumnya? Apalagi memelihara. Haram.”

“Yang najis itu air liur anjing gila. Anjing ini sehat dan bersih, setia menjaga rumah dan majikannya. Tak pernah mencuri dan berbohong, karena tidak bisa. Anjing itu seperti malaikat. Hanya bisa menjalankan tugas menurut kodratnya,” jawab Usamah.

“Masya Allah, Pak Usamah ini termasuk orang yang sesat. Minta ampun pada Tuhan dong karena melanggar ketentuan agama. Benar tidak pak haji?” tanya orang kampung itu kepada seorang yang pakai kopiah putih di sampingnya. Orang yang ditanya itu tidak berkata apa-apa, cuma mengangguk. Usamah tidak mau terlibat dalam perdebatan agama dengan orang kampung yang menurutnya tidak ada gunanya sama sekali.

Sejak peristiwa yang tersebar di seluruh kampung itu, tidak ada lagi orang yang mencoba mencuri ayam. Cuma, ada yang takut bertamu ke rumah Pak Usamah. Padahal Hector tidak menggonggong jika ada tamu. Pernah ada seorang kiai di kampung itu yang menasihati Usamah bahwa rumah yang ada anjingnya tidak dimasuki oleh malaikat. Teman-temannya dari Solo pun menjadi enggan bertamu. Tapi Usamah sendiri percaya bahwa Hector itu sendiri adalah malaikat yang hanya bisa mengabdi tanpa sedikit pun niat untuk berkhianat atau bersikap munafik.

Hector tidak pernah menimbulkan masalah bagi Usamah dan keluarganya dan bahkan merupakan teman baik seluruh anggota keluarga. Kalau siang, Hector sering masuk rumah dan bersama-sama anggota keluarga yang nonton TV. Ia terutama dekat sekali dengan Faris, anaknya yang terkecil. Dan Faris sangat menyayanginya, sering mengelus-elusnya dan mengajaknya bicara. Tapi kalau malam, Hector rela dan biasa tidur di luar rumah, maksudnya mungkin mau menjaga rumah itu dari pencuri yang suka datang malam-malam. Kalau ada yang dicurigainya, baru Hector menggonggong. Karena itu orang yang berniat jahat, mengurungkan niatnya.

Pada suatu sore di hari Sabtu, Usamah sekeluarga menonton TV. Faris sudah berangkat besar, sudah masuk SMP. Ia masih akrab saja dengan Hector. Ketika Usamah sekeluarga sedang santai nonton TV, tiba-tiba Hector masuk ke ruangan. Ia pun dengan santai nongkrong seolah-olah ikut menonton TV. Setelah sejenak duduk, tiba-tiba kepala Hector lunglai kemudian seolah-olah tertidur. Tapi lama benar ia tidur sampai waktunya ia seharusnya keluar rumah. Faris pun menggoyang-goyangkannya, tapi Hector tidak bangun juga. Rupanya, Hector sudah berhenti bernapas.

Melihat Hector tak bangun lagi, seluruh keluarga gempar. Ibu Usamah menangis menjerit-jerit yang diikuti oleh anak-anaknya, terutama Faris. Melihat keadaan itu maka Usamah pun, dengan suara tersendat-sendat berkata: “Anak-anak, manusia pun akan mati, apalagi binatang yang umurnya lebih pendek dari manusia. Hector sudah berumur hampir lima belas tahun, padahal anjing-anjing yang lain hanya berumur sekitar tujuh atau delapan tahun. Inna lillahi wa inna lilahi rojiun. Semuanya berasal dari Allah. Ia dan kelak kita semua juga akan kembali kepadaNya. Abah yakin, Hector akan masuk surga, seperti anjing para pemuda Ashabul Kahfi.”

Keesokan harinya, pagi-pagi benar, Hector dimandikan dan dibungkus dengan kain kafan putih, seperti manusia. Ia pun dikuburkan. Pak Usamah sempat membaca doa, sambil menitikkan air matanya. Ia kehilangan malaikat penjaga keluarganya. Sebenarnya, tanpa doa pun, malaikat akan masuk surga. Tapi Hector lebih menyerupai manusia, bagian dari keluarga Usamah.*

Audiobook

Rokok Mbah Gimun

21 Library Twenty One
SMPN 21 Purworejo
F Rahardi 8 menit, 12 detik

Ke mana-mana Mbah Gimun selalu tampak dengan rokok lintingan, yang terus menempel di antara dua bibirnya yang tebal dan hitam. Rokok itu sangat besar dan hanya terbuat dari tembakau kasar dengan kertas lintingan yang juga kasar. Mbah Gimun tidak pernah tampak mengisap rokok yang ada di mulutnya itu. Rokok itu hanya dibiarkannya di sana dan terbakar begitu saja sampai habis di salah satu sisinya. Di sisi yang lain, tembakau dan kertas lintingan itu hanya hangus dengan warna hitam. Hingga bagian yang terbakar itu, selalu bengkok dengan bentuk yang sangat tidak beraturan.

Sambil tetap membiarkan rokok lintingan mengepul di mulutnya, Mbah Gimun mengiris helaian daun kelapa satu demi satu. Helaian itu terkulai begitu terpisah dari lidinya. Lidi yang kekar dia serut beberapa kali dengan pisaunya, hingga tampak putih dan halus. Kalau bibirnya mulai merasakan panas api rokoknya, atau kalau kepulan asap itu mulai mengganggu mata dan hidungnya, maka dia pun berhenti sejenak, membuang puntung yang masih menyala itu ke mana saja, lalu melinting lagi dan menyalakannya dengan bara api. Setelah itu dia kembali mengiris helaian daun kelapa, sampai lidinya terkumpul cukup banyak untuk diikat menjadi sapu.

Sehari-hari Mbah Gimun hanya membuat sapu lidi. Tiap hari juga selalu ada anak-anak yang mengantar pelepah daun kelapa segar, atau helaian daun yang telah disisir dan diikat. Lalu seminggu sekali pedagang datang mengambil sapu lidi yang sudah terkumpul. Kalau pedagang itu tidak datang, maka Mbah Gimun sendirilah yang akan mengantar ikatan-ikatan sapu lidi itu ke kota. Dalam sehari, Mbah gimun bisa membuat lima sampai enam ikat sapu lidi. Kalau dia bekerja dari pagi sekali sampai larut malam, maka bisa sepuluh sapu lidi yang diselesaikannya.

Bagi Mbah Gimun, pendapatan dari membuat sapu lidi itu lumayan. Dengan uang itu dia bisa membeli beras, minyak tanah, gula, garam, dan yang paling penting adalah tembakau serta kertas lintingan. Mbah Gimun tinggal sendirian saja di rumahnya yang terletak di ujung kampung. Sejak istrinya meninggal beberapa tahun silam, anak-anak dan menantunya sebenarnya ingin sekali memboyongnya. Tetapi Mbah Gimun selalu menolak.

”Kalau aku ikut kalian, cucu-cucuku itu akan batuk semua. Mereka akan mabok asap rokokku yang sangit ini. Apa kalian ingin cucu-cucuku itu sakit batuk?” Begitu selalu yang dikatakannya kalau anak-anak dan menantu itu memintanya untuk tinggal bersama mereka. Padahal selama ini tidak pernah ada seorang cucu pun protes. ”Ya memang rokoknya Embah itu baunya seperti itu,” begitu selalu cucu-cucu itu menjawabnya.

Pada suatu pagi yang mulai agak kering pada bulan Juli, Mbah Gimun kedatangan tiga orang tamu yang tidak dikenalnya. Mereka berpakaian bagus-bagus, bersepatu bagus, membawa tas bagus, dan naik mobil yang juga sangat bagus. Mereka tampak mendatangi rumah-rumah lain di kampung itu, sebelum akhirnya masuk ke halaman rumah Mbah Gimun. Ketika Mbah Gimun mempersilakan mereka masuk, orang-orang itu menolak. Mereka malah mengajak Mbah Gimun duduk di lincak bambu di bawah pohon jambu di halamam rumah. Salah satu di antara tiga tamu itu memperkenalkan diri mereka. Nama-nama mereka sulit untuk diingat apalagi diucapkan oleh Mbah Gimun. Tamu yang satu lagi mengeluarkan bungkusan tembakau dan kertas lintingan, lalu menyerahkannya kepada Mbah Gimun.

”Minggu depan ini kita akan memilih pak bupati baru Mbah!” kata salah satu tamu itu.

”Iya, saya sudah diberi tahu Pak RT dan sudah diberi kartunya. Apa Mas-mas ini juga petugas pencoblosan?” tanya Mbah Gimun.

”Benar Mbah, ini gambar calon pak bupati itu, nanti ditempel di sana ya Mbah?”

”Tetapi kok saya diberi tembakau banyak sekali?”

”Tidak apa-apa Mbah, sebab kami tahu Mbah Gimun suka merokok lintingan. Bukan hanya itu Mbah, ini juga ada sedikit uang untuk tambahan belanja Mbah Gimun.”

”Kok sampeyan ini sudah tahu nama saya to?”

”Kan ada daftarnya Mbah. Tadi bapak yang rumahnya di depan sana itu yang memberitahu bahwa inilah rumah Mbah Gimun.”

”O, ya terima kasih sekali, saya diberi tembakau, diberi uang lagi.”

”Tapi begini Mbah, nanti Mbah harus mencoblos gambar yang ini lo Mbah. Jangan yang lain ya!”

”Pasti Mas, pasti, kan Pak Bupati yang ini yang telah memberi saya tembakau dan uang.”

Setelah para tamu itu pergi, Mbah Gimun membuka amplop putih itu dan di dalamnya ada lembaran uang limapuluh ribu rupiah. Mbah Gimun kaget tetapi senang. Limapuluh ribu itu berarti pendapatannya selama seminggu. Lumayan. Uang itu disimpannya di antara tumpukan surat-surat dan kartu-kartu. Mbah Gimun lalu membuka besek. Di dalamnya tampak tembakau yang cokelat kehitaman dengan aromanya yang harum. Mbah Gimun menarik satu lembar kertas lintingan, mencomot tembakaunya, melintingnya, menyalakannya dengan bara api dan menaruhnya di antara dua bibirnya. Aroma harum tembakau mahal itu terasa menyentuh bagian paling dalam di hidungnya. Baru kali ini Mbah Gimun merasakan ada tembakau seenak ini.

Baru sebentar dia menaruh lintingan di bibirnya, salah satu cucu laki-lakinya datang dengan berlari sangat kencang hingga hampir menabraknya. Cucu itu memberi tahu, bahwa baru saja ada tiga orang tamu datang ke rumahnya. Mereka memberi beras dan uang kepada bapaknya. Cucu itu lalu memamerkan dua butir permen di telapak tangan dan satu yang sudah berada di mulutnya. Katanya, permen itu juga berasal dari tamu yang datang ke rumahnya baru saja. Belum sempat Mbah Gimun bertanya lebih lanjut, cucu itu sudah berlari dengan cepat meninggalkannya. Mbah Gimun lalu melanjutkan pekerjaannya, sambil tetap membiarkan aroma asap tembakau yang harum menyentuh bagian terdalam dari indera penciumannya.

Beberapa hari kemudian, Pak RT dan Tukijan juga datang. Mereka mengantar beras, gula, teh dan lembaran uang duapuluh ribu rupiah. Tetapi yang dibawa Pak RT dan Tukijan gambar calon bupati yang lain lagi. Kertas gambar itu tebal dan kaku, lebarnya seperti sajadah. Mbah Gimun diminta mereka untuk menempelkannya di dinding, supaya ingat bahwa gambar itulah yang harus dicoblos.

”Tetapi calon bupatinya kok ada dua Jan?” tanya Mbah Gimun heran.

”Bukan dua tetapi satu Mbah. Yang ini yang kiri ini bupatinya. Yang kanan wakilnya.” jawab Tukijan dan Pak RT hampir berbarengan.

”Lalu yang harus saya coblos yang mana Pak RT?” tanya Mbah Gimun lagi.

”Salah satu saja Mbah. Mau dicoblos wakilnya boleh, bupatinya juga boleh. Tetapi jangan mencoblos gambar yang lain!” jelas Pak RT.

”Iya Pak RT, tetapi yang dicoblos matanya atau mulutnya?” tanya Mbah Gimun lebih terinci.

”Terserah Embah, tetapi yang paling sopan ya dicoblos baju jasnya saja. Kalau yang dicoblos mata atau mulutnya kan kasihan Pak Bupatinya.”

”Ya kalau begitu saya akan coblos bajunya saja. Kalau yang bolong bajunya kan bisa ditambal ya Pak RT?” kata Mbah Gimun.

”Lalu minggu depan ini Mbah, kita semua harus datang ke lapangan bola.”

”Ada apa lagi Jan?”

”Ada pembagian sembako lagi dan mudah-mudahan juga ada uangnya. Ada dang-dutnya lo Mbah!”

”Ya, ya, saya akan datang nanti. Jam berapa Pak RT?”

”Sore, sekitar jam empat. Sebab pagi dan siangnya Pak Calon Bupati itu akan keliling-keliling dulu untuk pidato. Kampung kita ini dapat bagian yang terakhir.”

Enam calon bupati dan wakilnya, semua membagi-bagikan uang dan barang. Mbah Gimun menerima semuanya. Ada yang limapuluh ribu, duapuluh ribu, sepuluh ribu, tetapi ada pula yang sampai seratus ribu. Tetapi yang seratus ribu ini kelihatannya hanya dikhususkan untuk Mbah Gimun. ”Pak Calon Bupati itu sendiri yang memberikannya langsung. Diselipkan di kantong saya ini waktu salaman.” kata Mbah Gimun senang. Mbah Gimun juga menerima banyak rokok tetapi langsung dibagikannya kepada anak-anaknya. ”Saya tidak suka mengisap rokok pabrik. Sebab baunya seperti minyak wangi. Bau tembakaunya sudah tidak ada,” begitu alasan Mbah Gimun.

Menjelang hari pencoblosan, Mbah Gimun tetap menyisir lidi dengan pisaunya. Rokok lintingan itu juga tetap menempel di bibirnya. Hanya dia berpesan kepada anak-anak, agar menjelang pencoblosan mereka tidak mengantar daun kelapa terlalu banyak.

”Nanti kalau pas coblosan tidak bisa diirat semua, akan layu. Kalau layu mengiratnya alot,” katanya pada anak-anak itu.

”Mau nyoblos siapa Mbah nanti?” tanya anak-anak.

”Ya siapa saja. Sebab saya tidak tahu nama-namanya, dan tidak hapal wajahnya. Baju dan pecinya juga sama kan?” jawab Mbah Gimun.

”Bukan nyoblos yang paling banyak ngasih uang Mbah?”

”Saya juga sudah lupa yang mana yang pernah ngasih uang paling banyak.”

”Nyoblos Pak Dipo saja Mbah. Dia kan pengusaha, jadi nanti kita semua makmur.”

”Yang pasti makmur ya bupatinya itu, bukan kita. Selamanya kita ini tidak akan pernah jadi makmur meskipun bupatinya ganti-ganti.”

Sampai dengan berangkat ke tempat pencoblosan, sebenarnya Mbah Gimun masih tetap bingung. Enam calon semuanya memberi uang, memberi beras, memberi tembakau, memberi teh, memberi gula. Mbah Gimun berjalan beriring-iringan dengan tetangga-tetangganya, dengan anak-anaknya, dengan menantu-menantunya. Mereka menyusuri jalan desa yang hanya dikeraskan dengan batu. Pagi itu pohon-pohon tampak diam saja karena tidak ada angin. Di langit juga tidak kelihatan ada awan. Karena masih pagi, udara terasa tidak terlalu panas. Di tempat pencoblosan sudah ada banyak orang. Semuanya memakai baju bagus-bagus dan warna-warni.

Mbah Gimun memakai kain sarung, baju surjan hitam, sandal jepit, dan kepalanya ditutup udeng. Dia mencari tempat duduk yang pas. Sebab hampir seluruh warga kampung yang melihatnya, menawarinya tempat duduk. Dia lalu memilih duduk di kursi plastik di pojok belakang. Dari saku surjannya, Mbah Gimun mengeluarkan kantong plastik berisi tembakau dan kertas lintingan. Dia lalu melolos satu lembar kertas, mencomot gumpalan tembakau dan melintingnya. Tetapi ketika lintingan itu ditaruh di mulutnya, dia kebingungan. Di rumah, biasanya Mbah Gimun menyalakan rokok lintingannya dengan bara api dari dapur.

Melihat Mbah Gimun kebingungan, banyak warga kampung yang menyodorkan korek api gas. Rokok Mbah Gimun lalu mengepulkan asap yang segera menyebar ke mana-mana. Baunya sangit dan keras. Setelah panitia mengumumkan hal-ihwal pencoblosan, satu-per satu warga kampung dipanggil. Tidak lama kemudian Mbah Gimun juga dipanggil, dilihat kartunya, dicatat, dan diberi kertas suara. Mbah Gimun sudah tahu bagaimana caranya mencoblos. Sebab tahun lalu dia juga ikut tiga kali pencoblosan seperti ini. Tetapi ketika itu yang dipilih pak presiden dan DPR. Bukan pak bupati.

Di bilik pencoblosan, Mbah Gimun menggelar lipatan kertas suara yang baru saja diterimanya. Di sana ada 12 wajah manusia yang sama-sama mengenakan jas dan kepalanya ditutup peci. Ada yang tersenyum, ada yang tertawa, ada pula yang tegang dan cemberut. Beberapa kali Mbah Gimun menyedot rokok lintingannya. Asap mengepul deras sampai menyembul ke luar bilik pencoblosan. Mbah Gimun memungut rokok lintingan dari bibirnya. Bara api di ujung rokok itu memerah. Dengan mengucap Bismillah, Mbah Gimun mencoblos 12 wajah dengan api rokoknya. Ada yang dicoblos di jidat, ada yang di pipi, ada yang di mulut, di mata, di hidung. Mbah Gimun tidak jadi mencoblos baju jas yang dikenakan oleh para calon itu. ”Sayang, baju bagus-bagus begitu kalau dicoblos api rokok.”

Cimanggis, 2005.

Audiobook

Vampir

21 Library Twenty One
SMPN 21 Purworejo
Intan Paramaditha 5 menit, 52 detik

Bacalah ia dari belakang dan kau akan menemukan aku.

Kami datang dari tempat yang sama, sempit, gelap, basah, merah. Tapi ia tak menginginkanku karena ia kira aku menyusu ibu serigala.

Sebenarnya dulu aku tak pernah bercita-cita menjadi sekretaris. Jika ditanya apa cita-citaku semasa kecil, aku selalu mengatakan ingin jadi dokter, seperti juga ribuan anak kecil lainnya. Tapi saat aku tumbuh dewasa, ibuku mengamati sifatku yang rajin dan serba teratur. Aku suka membuat daftar pelajaran, anggaran uang jajan, atau daftar belanja. Aku tergila-gila pada pengelompokan. Di kamarku ada kotak-kotak khusus untuk kaset dengan aliran musik berbeda. Aku bahkan tahu baju apa yang akan kupakai hari Jumat dua minggu mendatang. Kata Ibu, “Kau lebih cocok jadi sekretaris ketimbang dokter.”

Selepas sekolah menengah aku pun masuk Akademi Sekretaris. Separuh alasanku adalah ingin memaksimalkan potensiku, separuhnya lagi adalah karena untuk menjadi dokter aku harus menyukai biologi, sedangkan satu-satunya yang kusukai dari pelajaran itu adalah klasifikasi tumbuhan dan binatang. Lagi-lagi pengelompokan dan keteraturan. Pada akhirnya kusadari pilihanku belajar di Akademi Sekretaris tidak salah karena aku lulus dengan nilai-nilai gemilang.

Aku hidup di gua-gua pekat malam, terselimuti kabut abu-abu, tak kenal pagi dan embun. Aku tak berani menantang cahaya karena aku tak seperti kalian semua. Aku terobsesi merah. Merah yang tergenang menganak sungai beraroma ikan segar.

Aku haus darah.

Aku kupu-kupu hitam bersayap beludru, terbang ke dalam lorong-lorong dan terseret dengan pusaran malam. Ia tak tahu penderitaanku, eranganku, gairahku. Ia menutup semua jendela untuk mengusirku yang terseok kehausan.

Kini aku bekerja di sebuah perusahaan jasa konsultan. Aku selalu menyetrika jas kerja dan rokku licin-licin agar terlihat serasi dengan sejuknya lantai mahogani kantorku dan dindingnya yang bernuansa cokelat susu. Cokelat adalah warna klasik yang selalu terlihat elegan. Ingin terlihat lebih profesional? Pakailah cokelat atau hitam. Lucu, dulu kupikir warna gelap hanya untuk kekuatan jahat dan warna terang untuk kebaikan.

Kadang aku mencari tikus atau anjing atau apa saja. Aku terlalu lemah untuk membuka mata. Tak bisa bertahan, aku begitu haus. Ah, andai aku bisa menukar jiwaku dengan

Darah!

Jabatanku di sini adalah sekretaris manajer pemasaran. Meja kerjaku tertata rapi tepat di luar ruangan bosku. Namanya Irwan. Ia muda, tampan, kaya, cerdas. Tentu saja ada satu kelemahannya: beristri. Baginya ini kelemahan karena ia harus mati-matian menutupi hubungannya dengan beberapa perempuan (setidaknya begitu yang kudengar di hari pertamaku bekerja). Bagiku ini juga kelemahan karena aku harus berusaha menjaga jarak mengingat intensitas interaksiku setiap hari dengannya yang mungkin bisa menjerumuskan. Aku pernah mendengar tentang perilaku seks di dunia kerja, tapi aku tidak pernah berselera melanggar kode etik dan norma-norma.

Irwan terlahir dari keluarga kaya dan ini membuatku memaklumi sikapnya yang senang bermain-main dengan kekuasaan. Ia sering memberiku tugas di luar yang seharusnya, seperti memintaku membuat surat-surat permohonan untuk proyek sampingannya di luar kantor. Pernah pula aku keluar kantor hanya untuk membayar tagihan-tagihan kartu kreditnya. Aku tahu aku berhak protes, tapi untuk sementara ini aku memilih diam sambil mengevaluasi sejauh mana ia bersikap tidak profesional.

“Ada acara sesudah jam kantor?”

Aku mengangkat kepalaku. Hari itu Irwan memakai dasi merah yang menyembul dari balik jas hitam konservatifnya. Ada yang sangat salah dengan dasi itu. Mungkin warnanya yang kelewat terang, sungguh tidak cocok dengan atmosfer kerja yang penuh warna-warna dingin.

Merah berhawa panas. Merah kadang menggumpal lengket dan tersangkut seperti permen karet. Merah menuntut pengakuan, peng-aku-an, tak bisa menunda, tak bisa luruh di saluran pembuangan.

“Saras?”

Aku menggeleng.

“Kalau begitu temani saya minum kopi.”

Jika bekerja untuk seseorang, kita akan terbiasa dengan kalimat imperatif.

Aku pun berusaha menerka makna lain di balik minum kopi. Yang ia maksud tentunya berada di ruangan ber-AC sambil menikmati kopi tak berampas dalam cangkir, bukan minum segelas kopi tubruk di warung. Yang ia maksud tentunya berada di kelas tertentu, dengan tujuan tertentu, menjalin relasi atau networking mungkin. Menarik sekali untuk perkembangan karierku, tapi mari kutegaskan lagi kalau aku tidak tertarik memperdalam relasi dengan laki-laki beristri.

Munafik.

Apakah ada konsekuensi logis jika aku menolak?

Ia menginginkan lelaki itu, tapi tak mau jadi orang pertama yang disalahkan.

“Dirut minta laporan khusus yang harus selesai besok,” katanya. “Ini pekerjaan ekstra buat saya, jadi saya harap kamu bisa membantu.”

Irwan seperti membaca keraguanku dan mencoba menekankan bahwa ajakannya bersifat rasional dan profesional, bukan sensual ataupun seksual. Setelah menimbang-nimbang, kuputuskan untuk pergi bersamanya.

Ah! Ah! Aku saudara yang berbagi hangat denganmu di tempat merah sempit itu. Aku tahu di sekolah menengah kau membaca buku porno murahan tentang sekretaris yang masuk ke ruangan bosnya tanpa celana dalam. Kau perempuan murah rekah

Ayo marah! Tidakkah kau impikan semua kebinatangan di balik rokmu yang beradab?

Maka, pergilah kami ke sebuah kafe yang memutar musik jazz tahun 50-an. Bernaung cahaya redup, kami duduk di sofa beludru merah yang begitu besar sehingga aku merasa bisa tenggelam di dalamnya. Jika tak ada kopi, mungkin aku akan mengantuk. Mengapa Irwan memilih tempat seperti ini untuk membicarakan proyek kantor?

Rumah bordil—

Kupu-kupu seperti aku memang senang remang-remang, bayang-bayang, halusinasi. Rumah meriah di dalam hutan segala serigala. Kau tak akan tahu apa pun sebelum masuk ke dalam.

Kami berbincang selama dua jam, espresso berganti capuccino. Setengah jam ia membahas laporan khususnya. Ella Fitzgerald masih merayu dengan suara emasnya, tapi aku menyimak dan mencatat seperti layaknya sekretaris profesional. Lantas kudengar ia bertanya,

“Kamu masih tinggal dengan orangtuamu?”

Aku tertegun, lalu kukatakan aku tinggal sendirian. Orangtuaku berada di luar kota dan aku anak tunggal. Ia bercerita bahwa ia juga begitu.

Kemudian dimulailah ritual yang berbahaya itu: cerita klise tentang perkawinan yang tidak bahagia. Bahwa istrinya sibuk mengejar ambisinya sendiri, bahwa tak ada anak yang mengikat kedekatan mereka.

Aku harus mengakhiri semua ini. Ia tengah mencari mangsa.

Aku juga. Adakah yang rela menyerahkan jiwa?

“Aku harus kembali ke rumah,” aku memutuskan.

Hari belum terlalu malam, tapi Irwan ingin mengantarku pulang. Kukatakan tidak perlu, tapi ia memaksa.

Oke, sampai di luar pagar.

Laki-laki itu tahu kau tinggal sendirian.

Kau dan aku memang makhluk-makhluk kesepian. Aku si pengisap penyedot kehidupan yang sekarat karena merah sudah nyaris habis punah berhenti titik.

Ia bertanya padaku apakah ia bisa ke kamar mandi. Jadi, aku biarkan ia masuk.

Masuklah, masuklah ke dalam pagar wahai para pencuri. Mari berlompat-lompatan, jangan mengendap-endap. Lihat apa yang bisa kau cicipi di kebun buah. Aku ikut karena aku juga pencuri, pencuri hidup dan mati, dan ’kan kujadikan kau

hantu.

Lalu ia duduk di kursi rotan konvensionalku, minum segelas air putih. Dibukanya satu kancing kemejanya dan dilonggarkannya dasinya — dasi yang benar-benar salah.

Lihatlah leher laki-laki itu. Sukakah kau pada es krim vanila? Kecap kebekuannya dengan lidahmu dan ia akan lumer dalam mulut.

Aku mendengarnya memanggil namaku. Ia seperti bergumam, tapi aku menangkap kata-kata terakhirnya,

“Sebetulnya kita sudah saling tahu apa yang terjadi.”

Aku gemetar. Tiba-tiba kusadari ketakutan terbesarku terjadi. Aku pernah membayangkannya dan karena aku sangat profesional aku tahu aku harus mendorongnya dengan tegas, mengusirnya bila perlu.

Tapi aku merasa ia semakin mendekatkan tubuhnya padaku. Aku bisa mencium minyak wangi bercampur aroma rokok yang menempel di rambutnya yang tercukur rapi. Aku seperti—

Tersedot?

Di pucuk es krim ada ceri bulat mengilat. Buah menggoda, menantang bahaya. Akankah aku jatuh? Tapi aku begitu menginginkannya. Aku si pengisap penyedot kehidupan.

Lehernya begitu indah. Dan aku begitu haus

Darah.

Jam 6.30 pagi. Ponsel berbunyi.

“Halo, Saras?” suara wanita di ujung sana. “Jangan lupa nanti ingatkan bosmu untuk rapat dengan klien jam 11. Ini berarti semua materi presentasi harus sudah siap. Dia sudah memintamu menyiapkannya, ’kan?”

“Ia tidak pergi kerja hari ini.”

Bacalah ia dari belakang dan kau akan menemukan aku.

Jakarta, Juni 2004

Audiobook

Langit Malam

21 Library Twenty One
SMPN 21 Purworejo
Iyut Fitra 7 menit, 4 detik

Detak yang lamban. Seperti kemarin juga. Serupa sebelum-sebelumnya jua. Pukul dua belas tengah malam. Angin menusuk gigil. Mencucuk sumsum dan tulang. Aku memasang jaket dan beranjak meninggalkan rumah. Menuju jantung kota kecilku, sekaligus menceburkan diri ke dalam malam. Berjalan di atas lintasan trotoar yang menenggelamkanku ke ruang-ruang lengang melenakan.

Kuingat kata-kata Ibu sore tadi. Di beranda tempat kami bisa minum teh seraya menyaksikan kelopak-kelopak mawar. Bercerita dan bersenda sambil menunggu senja tiba. Namun, sore kali ini menjadi lain. Setelah aku bercerita panjang, akhirnya Ibu berkata keras kepadaku seolah- olah saja ia sedang disengat kalajengking.

”Anak dendang? 1) Kau mau menikahi anak dendang? Apakah Ibu tidak salah dengar?”

Aku menatap bola mata Ibu dalam-dalam. Sebuah danau tenang. Telaga yang tidak pernah kehilangan kasih. Semenjak usia lima tahun, sejak Ayah meninggal karena penyakit yang dideritanya, sejak saat itu pulalah Ibu hanya sendirian membesarkan aku. Anak satu-satunya. Ibu yang kemudiannya melanjutkan bisnis Ayah di bidang konfeksi, memang tidak pernah membiarkan aku hidup kekurangan. Sampai aku besar. Sampai aku menyelesaikan kuliah di fakultas ekonomi. Sampai Ibu lebih mengharapkan aku membantu bisnis konfeksinya daripada melamar pekerjaan lain.

Ah, bola mata itu serasa tak kuat untuk kulawan. bola mata tempat biasanya aku berteduh. Tempat menimba kebahagiaan yang tak pernah kering. Tetapi, bagaimanapun aku harus mencoba untuk menjelaskan.

”Ibu, anak dendang itu juga manusia. Aku telah menyelidiki segala sesuatu tentang dirinya,” ucapku pelan, hati-hati, agar Ibu mengerti.

”Apa yang telah kau ketahui? Tentang ia yang selalu pulang subuh? Pulang dengan lelaki yang selalu bertukar-tukar? Atau kegenitannya merayu laki-laki di pagurawan? 2) ”balas Ibu sengit. Mulai sinis. Tak biasanya Ibu seperti itu.

Telingaku mendadak panas mendengar kalimat Ibu yang amat menyudutkan profesi anak dendang. Hatiku terbakar. Namun, sepuncak upaya aku berusaha untuk bertenang diri dalam kesabaran.

”Cobalah mengerti aku. Tidak semua anak dendang seperti itu. Ibu. Aku telah menyelaminya. Percayalah. Rabina itu perempuan yang baik.”

”O, jadi namanya Rabina?” Ibu memotong.

”Ya. Aku telah selami pribadinya, keluarganya, bahkan latar belakang apa pun saja dari dirinya. Tidak ada yang menggoreskan cela, Ibu. Barangkali kenyataanlah atau keterdesakan kerasnya kehidupan yang memaksanya memilih menjadi anak dendang. Karena hanya kepandaian berdendang itu yang dimilikinya, dan kesempatan seperti itulah yang dapat diraihnya.”

”Ibu tetap tidak setuju!” jawab Ibu betapa kaku.

Banyak lagi yang kucoba jelaskan, tetapi Ibu tetap pada pendiriannya. Bahkan, semakin banyak aku berbicara, kian pedas kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Ibu.

”Perempuan pulang pagi!”

”Hidup tiada ubah bagai musang!”

”Mana ada waktunya mengurus keluarga!”

”Ibu tidak akan pernah setuju!”

Kalimat-kalimat yang terus mengiang. Bersipongang. Menyisik bersama angin malam yang tajam. Menusuk sudut hatiku yang paling lemah. Aku terpojok.

Bayangan-bayangan itu membuatku tanpa terasa telah sampai di jantung kota. Aku duduk di tepi trotoar, dekat sebuah lampu taman. Sebatang rokok kuselai. Asapnya membaur dengan cuaca. Lelapat kudengar tiupan saluang 3) yang ditingkahi dendang 4). Berbuai-buai. Lapik gurau 5) tidak jauh lagi dari trotoar itu. Di sebuah lorong toko yang sudah bertutup. Beralaskan tikar pandan dan dengan sebuah pengeras suara sederhana. Di sanalah saluang tiap malam digelar.

Dan suara itu. Pastilah Rabina yang tengah mendendangkannya. Suara yang sudah teramat kukenal. Akrab. Lekat di kedua belah anak telingaku. Suara yang tiap menit kini mulai menggerayangi kegelisahan. Mengimbau. Lirih. Sayup. Seolah berpitunang. Membentur-bentur pikiran yang kini sulit lepas.

Samar-samar kudengar lagu Palayaran 6) yang sangat kusukai. Bergema melantuni malam. Seolah berlari menjauh menembus cakrawala. Bergendang-gendang. Memukul. Dan berulang- ulang datang.

Aku ingin ke sana. Ingin melihat senyum Rabina. Ingin menikmati rambut panjangnya, bulu matanya, bibirnya. Aku ingin mendengar suaranya lebih dekat. Tetapi, kalimat-kalimat Ibu tadi sore seolah-olah menahan gerak langkahku.

”Tak adakah pilihan yang lebih baik bagi seorang sarjana ekonomi? Untuk menjaga martabat keluarga dari pandangan- pandangan sebelah mata?”

Selalu. Dan masih saja kalimat Ibu menghunjam bagai pisau-pisau yang berlepasan dari udara, berburu ke arahku.

”Mengertilah, Ibu. Apa Ibu percaya bahwa perempuan-perempuan lain pun akan selalu lebih baik daripada anak dendang? Ibu tentu lebih paham sesungguhnya,” jawabku tenang. ”Di samping berdendang, mereka adalah perempuan-perempuan yang berusaha melestarikan kebudayaan. Pewaris, penjaga, dan penerus kesenian nenek moyang kita. Mengapa mereka harus kita sisihkan, kita lecehkan dalam keseharian. Haruskah kita membunuhnya, Ibu? Membiarkan mereka mati di saat mereka berusaha untuk tetap tumbuh. Kurasa Ibu tidak sepicik itu,” terangku lebih panjang. Berharap Ibu tidak tersinggung dengan uraianku.

Tetapi, Ibu tidak lagi menjawab dan meninggalkanku tanpa berkata-kata. Namun, jelas kutangkap dari gelagatnya, Ibu tetap tak sependapat denganku.

Suara itu masih sangat jelas. Dendang yang melirih. Kadang terkesan merintih. Meratapi malam. Dari lagu yang satu ke lagu lain dialunkan untuk memenuhi permintaan demi permintaan rang pagurau 7). Ratok Bonjo 8), Pariaman Panjang 9), Sirompak Taeh 10), Sawah Rawang 11), Tigo Giriak 12), semua bergantian berlayangan menembus udara dan cuaca. Suara Rabina terdengar seolah gambaran sebuah perahu yang terombang-ambing gelombang.

Kuingat pertama kali berkenalan dengan Rabina. Saat mula aku datang ke pagurawan. Sudut matanya yang melirik ke arahku membuatku terpukau. Tiba-tiba serasa ada sesuatu yang tengah datang menyerbu. Memburu dan mengepungku. Kemudian pada malam-malam berikutnya, aku mulai mengikutinya berdendang. Kalau tidak di lorong toko yang sudah bertutup itu, tentulah ia sedang memenuhi undangan di tempat lain. Tidak jarang, sejak singgalang 13) didaki, sampai jalu-jalu 14) dipuhunkan, aku setia menungguinya. Pandangan-pandangan mata kami yang diam-diam saling mencuri seakan telah bercerita banyak dan seperti ingin mengakui bahwa kami telah saling menyukai.

Setelahnya kami mulai terjebak percakapan-percakapan yang hangat. Setiap berdendang pun Rabina mulai menyapaku dalam pantun-pantunnya. Kadang aku merasa malu. Di saat lain aku justru merasa bahagia.

”Ayah dan Ibuku sudah tua. Sudah tidak bisa berbuat apa- apa lagi. Sedangkan ketiga adikku masih sekolah. Untuk itulah aku terpaksa berdendang tiap malam. Hidup memang keras bagi kami. Aku tahu, banyak orang-orang yang punya pandangan miring terhadap pekerjaanku. Tetapi, bagaimana lagi, aku harus membiayai keluargaku. Dan lagi, aku sama sekali tidak pernah berbuat hal-hal yang melanggar norma-norma. Ah, biar sajalah. Bukankah kita punya nasib masing-masing!” demikian bagian dari cerita Rabina kepadaku.

Banyak yang kuketahui ketika aku pun menjadi terbiasa berkunjung ke rumahnya. Sebuah rumah kecil. Nyaris tak mempunyai kelebihan. Hanya gambaran dari keberantakan. Ruang- ruang centang-perenang dan sudut-sudut yang tak rapi. Sebuah keprihatinan dari waktu-waktu yang tak tersisa. Karena setiap malam Rabina berdendang, dan siangnya adalah waktu yang lewat saja di atas ranjang. Istirahat. Untuk bersiap berangkat lagi malam harinya.

”Aku mencintaimu, Rabina. Bolehkah aku mencintaimu?” ucapku ketika satu kali aku mengantarnya pulang setelah selesai berdendang. Jam empat subuh saat itu. Dan Rabina seolah tak percaya. Diam. Menatapku lama-lama. Lalu menunduk.

”Mungkin kamu tak percaya. Tetapi, aku telah mengatakan yang sesungguhnya,” ucapku lagi meyakinkan dirinya.

Rabina mengangkat wajahnya, mencoba menatapku lagi.

”Pulanglah. Sudah hampir pagi. Terima kasih sudah mengantarku pulang,” katanya pelan. ”Aku istirahat dulu ya.”

Berat rasanya. Tetapi, aku mengangguk juga. Lalu pulang meninggalkan rumah Rabina. Meninggalkan sekeping keinginan yang belum tuntas.

Namun, pada malam-malam selanjutnya pantun-pantun Rabina semakin gencar menyerangku. Tentang rindu. Rasa cinta yang cemas. Sebuah kegelisahan terhadap hasrat yang takut bakal tidak sampai. Atau tentang perbedaan-perbedaan status yang membuatnya seolah ragu untuk melangkah.

”Cobalah berpikir kembali. Ukur timbang matang-matang. Kamu akan menyesal memilih orang seperti kami. Anak dendang. Perempuan yang mengekas hidup di tengah malam. Kamu juga tak akan sanggup menepis ocehan orang-orang,” ucap Rabina di pertemuan kami berikutnya. ”Kamu berada di anjungan berukir megah. Sedangkan kami hanya orang kecil yang bermimpi di kaki lima.”

”Jangan berkata seperti itu, Rabina. Aku juga hanya seorang laki-laki biasa yang kini mencintaimu. Mencintaimu, Rabina!” ucapku memegang kedua tangannya. Menatap bola matanya dan berusaha meyakinkannya.

Wajah Rabina mengeruh. Memendung. Tak kuduga, dua garis air bening tetes dari sudut matanya. Bergulir. Jatuh menimpa jemariku. Aku mengusap rambutnya. Membenahi anak-anaknya yang berserakan. Lalu aku mencium keningnya. Lembut. Sepenuh rasa cinta.

”Aku sayang kamu, Rabina!”

Sejak saat itu, Rabina selalu menunggu kedatanganku di setiap ia berdendang. Kegelisahan tak dapat disembunyikannya bila aku belum datang ke pagurawan. Sejak saat itu pula kami mulai melewati hari-hari bersama, tidak hanya ketika ia berdendang saja. Tetapi, pada waktu-waktu tersisa, saat-saat senggang ia tidak ada jadwal undangan, kami akan menikmatinya berdua.

”Pinanglah. Pinanglah aku secepatnya!” ucapnya meminta.

Malam melilit. Aku masih di trotoar itu. Menyelai rokok lagi. Menikmati saluang yang masih berkumandang. Mendengar suara Rabina. Aku ingin ke sana. Ke lapik gurau tempat Rabina berada. Aku ingin mengatakan kepadanya, ”Aku mencintaimu, Rabina. Aku mencintaimu!” Namun, kalimat-kalimat Ibu sore tadi terus memburuku. Membelenggu. Aku ingin memberontak. Ingin berteriak.

Di langit malam, awan-awan diam. Cahaya bintang berkilauan memendar bias. Aku menatapnya. Lama. Lalu aku berjalan. Meninggalkan trotoar itu. Adakah yang lebih berkuasa daripada takdir Tuhan?

Payakumbuh, Agustus 2005

Catatan:

1) Orang-orang yang melagukan pantun-pantun dalam kesenian musik saluang. Biasanya dilakukan oleh perempuan.

2) Istilah bagi tempat kesenian musik saluang berlangsung.

3) Alat musik tiup terbuat dari bambu (kesenian musik tradisi Minangkabau).

4) Pantun-pantun yang dilagukan.

5) Istilah, tempat kesenian musik sedang digelar.

6), 8), 9), 10), 11), 12) Judul-judul lagu dalam kesenian musik saluang.

7) Para pencandu atau penikmat kesenian saluang.

13) Lagu pembuka dalam kesenian musik saluang.

14) Lagu penutup dalam kesenian musik saluang.